Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Jejak Suap di Hang Lekir V

Kasus dugaan suap panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menyeret Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi. Ditengarai menerima uang untuk "mengamankan" sejumlah perkara yang terkait dengan Lippo Group. Sempat empat kali hampir ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi.

2 Mei 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TINGKAH Nurhadi sempat membuat kesal 15 penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi yang menggeledah rumahnya di Jalan Hang Lekir V, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Rabu malam dua pekan lalu. Setelah tiga pria berseragam Brigade Mobil yang berjaga gagal menghalau penyidik masuk, Sekretaris Mahkamah Agung itu mengurung diri bersama istri dan anak perempuannya di dalam kamar.

Dua penyidik silih berganti mengetuk pintu kamar di lantai dua itu. Tapi Nurhadi tak menggubrisnya. Dari dalam kamar justru terdengar suara kloset diguyur berulang kali. Karena satu jam pintu kamar tak kunjung dibuka, penyidik menggedornya. Tak lama kemudian, pintu terbuka dan istri Nurhadi, Tin Zuraida, keluar setengah berlari dengan dalih hendak mengambil pakaian dalam. Kedua tangannya disilangkan di badan seperti tengah menutupi sesuatu. "Tingkahnya janggal," kata seorang sumber yang mengetahui penggeledahan tersebut.

Karena curiga, seorang penyidik perempuan memeriksa Tin di kamar lain. Ketika Tin digeledah, ditemukan banyak sobekan kertas basah di balik baju tidurnya. Penyidik lain bergegas masuk ke kamar Nurhadi. Di dalam kamar itu, mereka menemukan empat tas jinjing hitam di dekat lemari baju. Dua tas masih utuh berisi uang, sementara dua tas lagi sudah terbuka dan tak ada isinya. Tak jauh dari tas kosong, penyidik menemukan kertas pembungkus uang berceceran.

Sebagian penyidik menyisir setiap sudut rumah berlantai tiga itu. Di garasi, mereka menggeledah tiga mobil mewah Nurhadi dan tiga sepeda motor besar. Di dalam mobil Toyota Camry hitam, kendaraan sehari-hari Nurhadi, penyidik menemukan tas hitam penuh berisi uang. Setelah delapan jam menggeledah, petugas KPK meninggalkan rumah Nurhadi dengan membawa tiga tas berisi uang dan beberapa kardus dokumen. Beberapa jam kemudian, Ketua KPK Agus Rahardjo langsung meminta kantor Direktorat Jenderal Imigrasi mencegah Nurhadi ke luar negeri.

Wakil Ketua KPK Saut Situmorang tidak membantah cerita penggeledahan itu. Soal dugaan Nurhadi berupaya menghilangkan barang bukti dengan mengguyur kloset dan merobek-robek kertas, "Itu sedang didalami," ujar Saut, Jumat pekan lalu. "Ada indikasi ke sana." Kepala Biro Penerangan Masyarakat Kepolisian RI Brigadir Jenderal Agus Rianto membantah ada anggota Brimob menghalangi penggeledahan KPK di rumah Nurhadi. "Brimob itu justru untuk back up operasi KPK," katanya.

Penggeledahan dilakukan beberapa jam setelah KPK menangkap Panitera Sekretaris Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Edy Nasution dan perantara suap Doddy Aryanto Supeno. Suap ditengarai terkait dengan pengaturan perkara Grup Lippo di pengadilan negeri sampai Mahkamah Agung. Keduanya ditangkap di basement Hotel The Acacia, Jakarta, ketika baru selesai melakukan transaksi dan hendak kembali ke mobil masing-masing. Di tangan Edy ditemukan paper bag bergambar motif batik berisi uang suap Rp 50 juta. Keduanya sudah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan.

Menurut Agus Rahardjo, duit suap untuk Edy Nasution diduga bermotif pengaturan peninjauan kembali perkara perdata di Mahkamah Agung. Duit itu bagian dari komitmen Rp 500 juta untuk Edy. Selain menyerahkan Rp 50 juta, Doddy sudah memberikan Rp 100 juta untuk Edy pada Desember tahun lalu di Hotel The Acacia. "Di belakangnya ada kasus besar yang kerap disebut gunung es," ujar Agus.

Seorang sumber di KPK mengatakan perkara itu, salah satunya, terkait dengan pendaftaran peninjauan kembali PT First Media atas putusan Pengadilan Arbitrase Singapura yang memenangkan Grup Astro. Lippo melalui First Media harus membayar ganti rugi kepada Astro Group US$ 230 juta dan Rp 6 miliar. First Media menggugat ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sampai Mahkamah Agung, tapi ditolak. "Putusan arbitrase bersifat final, tapi karena ada dugaan permainan, PK bisa lolos sampai MA," katanya.

Setelah penangkapan, KPK bergerak cepat menggeledah empat lokasi. Selain menyisir rumah, penyidik menggeledah kantor Nurhadi di lantai 1 gedung Mahkamah Agung, Jalan Merdeka Utara, Jakarta Pusat; ruang kerja Edy di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat; dan kantor Paramount Enterprises Limited di Gading Serpong, Tangerang. Di kantor Edy, tim menemukan duit Rp 1 miliar di laci meja kerjanya. Asal-usul duit itu masih ditelusuri.

Tim KPK menggeledah kantor Paramount, yang dicurigai menjadi tempat pertemuan Nurhadi, Eddy Sindoro, Edy Nasution, dan Doddy untuk merancang "pengamanan" perkara itu. Nurhadi juga terdeteksi beberapa kali bertemu dengan Eddy Sindoro di kantor Paramount dalam tiga bulan terakhir. Selain dengan Eddy, kata petugas KPK, Nurhadi kerap bertemu dengan para petinggi Grup Lippo di beberapa tempat di Serpong.

Agus Rahardjo memastikan akan mengusut orang yang memerintah Doddy. "Dia itu perantara, nanti pasti ditelusuri siapa di belakangnya," ujarnya. Saut Situmorang memberi sinyal ada keterlibatan konglomerat dalam kasus itu. "Tapi nanti saja, lagi ditelusuri."

Kendati namanya tercatat dalam struktur Grup Paramount, KPK meyakini Doddy elite perusahaan mitra dekat Grup Lippo ini. Di Lippo, Doddy tercatat sebagai direktur di anak perusahaan, PT Kreasi Dunia Keluarga. Salah satu komisaris perusahaan ini Eddy Sindoro, yang juga chairman Paramount. Eddy punya sejarah panjang sebagai petinggi Grup Lippo. Ia, misalnya, pernah menjadi Presiden Direktur Bank Lippo.

Jejak Nurhadi, menurut seorang penegak hukum di KPK, terpantau dua pekan sebelum penangkapan Edy dan Doddy. Dari pemantauan yang dilakukan, Doddy diketahui pernah menenteng tas, yang diduga berisi uang, masuk ke rumah Nurhadi pada 12 April lalu. Belakangan, ada tas yang ditemukan di kamarnya yang mirip dengan yang dibawa Doddy. Tujuan pemberian uang itu sebagai upeti pengamanan sejumlah perkara di Mahkamah Agung. Adapun Edy, menurut sejumlah sumber, disebut-sebut menjadi salah satu orang kepercayaan Nurhadi.

Rabu pekan lalu, KPK mengumumkan nilai uang yang ditemukan di rumah Nurhadi. Jumlahnya mencapai Rp 1,7 miliar, dalam bentuk pecahan dolar Singapura, dolar Amerika, euro, yen, dan riyal. Seorang petinggi KPK mengatakan duit itu berasal dari Grup Lippo, tapi belum diketahui untuk penanganan perkara yang mana. Menurut Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarief, lembaganya berkeyakinan duit itu berkaitan dengan penanganan perkara. "Kami yakin itu bukan dari satu perkara saja," katanya.

Pengacara Edy Nasution, Soesilo Aribowo, belum mau menjelaskan kasus kliennya. Begitu juga tentang keterlibatan Nurhadi dalam kasus Edy. "Saya belum berbicara sama klien saya," ujarnya. Ditemui Senin pekan lalu, Doddy tak mau berkomentar saat ditanyai soal hubungannya dengan Nurhadi dan Lippo. "Maaf, ya, nanti saja."

Direktur Lippo Group Danang Kemayan Jati mengatakan rumor di kalangan tertentu yang mengaitkan Lippo dengan kasus operasi tangkap tangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat adalah tidak benar dan tidak didukung bukti nyata. "Kami imbau semua pihak menunggu hasil penyelidikan pihak berwenang sehingga kasus ini terang-benderang," kata Danang. Tempo mendatangi kantor Paramount untuk menemui Eddy Sindoro. Staf Komunikasi Korporat Paramount Sri Sulistiani mengatakan bosnya sedang tak ada di kantor. "Nanti saya sampaikan," ujarnya.

RADAR KPK sebenarnya sudah lama memantau gerak-gerik Nurhadi. Setahun terakhir, menurut seorang penegak hukum, banyak laporan tentang dugaan Nurhadi ikut mengintervensi penanganan perkara di Mahkamah Agung. Pada Oktober 2015, Komisi membuat surat perintah penyelidikan Nurhadi.

Seorang pegawai KPK mengatakan sedikitnya ada empat kali upaya penangkapan Nurhadi yang gagal. Upaya penangkapan terakhir terjadi pada 12 April lalu. Ketika itu, belasan penyidik KPK mengepung kediaman Nurhadi karena mendapat informasi Doddy masuk ke rumah itu sambil menenteng tas yang diduga berisi uang. Namun operasi ini gagal karena, setelah perantara suap itu masuk, belasan orang berseragam polisi yang berjaga langsung menutup pintu pagar rumah. "Risiko gagalnya lebih besar, jadi tim sebaiknya mundur," ujarnya. Brigadir Jenderal Agus Rianto membantah kabar bahwa polisi menghalangi tugas KPK.

Dua hari setelah itu, KPK mendeteksi Nurhadi melancong ke Singapura bersama 15 orang lain, termasuk istri, anak, menantu, dan cucunya. Nurhadi menyewa jet pribadi dari Bandar Udara Halim Perdanakusuma. Saut tidak membantah atau membenarkan informasi ini. "Mungkin saja," katanya.

Dari hasil penggeledahan, KPK mendapat bahan sejumlah perkara yang dikawal Nurhadi. Penyidik, misalnya, mengantongi matriks ratusan perkara yang ada di catatan dia. Sebagian di antaranya kasus-kasus Grup Lippo. Sejumlah petinggi KPK meyakini hasil penggeledahan di rumah dan kantor Nurhadi akan membuka kotak pandora makelar kasus di Mahkamah Agung. "Dampaknya untuk meminimalkan praktek mafia pengadilan," ujar Agus.

Seorang mantan hakim agung mengatakan Nurhadi memiliki "kuasa" untuk mengintervensi pejabat di pengadilan sampai hakim agung di Mahkamah Agung. Melalui kaki tangannya di pengadilan, Nurhadi bisa meloloskan permohonan kasasi atau peninjauan kembali yang sebenarnya tidak memenuhi syarat formal.

Di tingkat Mahkamah Agung, kata dia, selain bisa mengatur perkara di tingkat administrasi, Nurhadi diduga bisa mempengaruhi hakim sampai mengintervensi pejabat Mahkamah yang berwenang menentukan komposisi majelis. Hakim "favorit" yang ditentukan itu nantinya yang akan mengeksekusi pesanan Nurhadi. "Pengaruhnya sejak dulu kuat di MA," ujarnya.

Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Yudisial, Syarifuddin, mengatakan Badan Pengawas telah mengklarifikasi dugaan keterlibatan Nurhadi dalam kasus Edy dan penanganan kasus Grup Lippo di Mahkamah. Untuk sementara, Syarifuddin mengaku kesulitan menemukan keterlibatan Nurhadi. "Sebab, dia tidak mengurus perkara," ujarnya. Adapun Komisaris PT First Media Didik J. Rachbini mengaku tidak tahu soal kasus ini. "Akan saya cek ke bagian hukum," katanya.

Nurhadi belum bisa dimintai konfirmasi tentang tuduhan bahwa ia terlibat kasus Edy dan mengatur sejumlah perkara Lippo di Mahkamah Agung. Pekan lalu, Tempo beberapa kali mendatangi kantor dan kediamannya di Hang Lekir V, tapi tidak bisa bertemu dengan dia. Surat permohonan wawancara yang diterima Fauzi, penjaga rumahnya, belum direspons.

Pada Selasa pekan pertama Maret lalu, setelah Nurhadi diperiksa di KPK, Tempo sempat bertemu dengan dia dan menanyakan soal keterlibatannya dalam kasus suap dan pengaturan perkara di Mahkamah Agung. Namun tidak banyak jawaban yang dilontarkan Nurhadi. "Hati-hati kalau bertanya," ujarnya.

Anton Aprianto, Prihandoko, Muhamad Rizki, agoeng wijaya


Mafia Perkara Kantor Mahkamah

OPERASI tangkap tangan Panitera Sekretaris Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Edy Nasution menyeret Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi. Dalam empat penggeledahan yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi, ditemukan sejumlah dokumen yang menjadi petunjuk adanya permainan mafia kasus dalam puluhan perkara di Mahkamah Agung yang disebut-sebut melibatkan Nurhadi. Menurut pimpinan komisi antikorupsi, dari banyak perkara itu, beberapa di antaranya terkait dengan Grup Lippo.

Perkara putusan arbitrase Astro

Jalur Mahkamah Agung

Pihak beperkara
Astro Group melawan tiga anak usaha Lippo Group (PT First Media, PT Ayunda Prima Mitra, dan PT Direct Vision).

Putusan arbitrase
Pengadilan Arbitrase Singapura memerintahkan First Media membayar ganti rugi kepada Astro Group US$ 230 juta dan Rp 6 miliar. Perseteruan muncul karena gagalnya kongsi membentuk jaringan televisi berbayar Astro di Indonesia.

Posisi kasus
First Media sudah mengajukan gugatan pembatalan putusan Pengadilan Arbitrase Singapura itu. Namun Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Mahkamah Agung menolak gugatan itu karena tidak berwenang memeriksanya.

Upaya hukum terbaru
First Media mengajukan permohonan peninjauan kembali agar MA membatalkan putusan arbitrase yang memenangkan Astro pada Januari lalu.

Jalur Pengadilan Negeri Jakarta Pusat

Pendaftaran peninjauan kembali
First Media mengajukan permohonan peninjauan kembali dan lolos sampai ke MA. Padahal Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase, Pasal 60, menyebutkan putusan arbitrase bersifat final dan sudah dilimpahkan ke MA.

Kasus kepailitan Across Asia Limited

Jalur Mahkamah Agung

Pihak beperkara
Across Asia Limited sebagai pemohon melawan PT First Media, anak usaha Lippo Group.

Posisi kasus
Across Asia adalah perusahaan di Cayman Islands. Melalui perusahaan ini, Grup Lippo mengendalikan mayoritas saham First Media. Sengketa dimulai ketika First Media mengklaim Across Asia memiliki utang jatuh tempo dan dapat ditagih US$ 46,7 juta atau sekitar Rp 617 miliar. Gugatan pailit dilayangkan First Media agar Across Asia membayar utang.

Upaya hukum terbaru
Across Asia mengajukan permohonan peninjauan kembali agar kewajibannya membayar utang ke First Media dibatalkan. Dalilnya, menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan, Across Asia tidak bisa dipailitkan pengadilan Indonesia. Seharusnya pengadilan di Cayman Islands yang bisa memailitkan perusahaan itu.

Dalam kontra-memori peninjauan kembali, First Media meminta permohonan itu ditolak.

Jalur Pengadilan Negeri Jakarta Pusat

Posisi kasus
Pada 2012, First Media mengajukan permohonan arbitrase ke Badan Arbitrase Nasional Indonesia dan mewajibkan Across Asia membayar utangnya sebesar Rp 617 miliar ke First Media.

Upaya hukum terbaru
First Media mengajukan permohonan teguran (aanmaning) agar Across Asia segera membayar utangnya. Jika eksekusi ini dilakukan, permohonan peninjauan kembali Across Asia juga akan otomatis gugur.

Alur perkara peninjauan kembali

  • Pendaftaran
  • Berkas masuk pengadilan negeri
  • Diteliti panitera
  • Sekretaris ketua pengadilan menentukan hakim pemeriksa
  • Hakim pemeriksa memutuskan menerima atau menolak

    Pokok perkara

  • Berkas masuk ke Bagian Tata Usaha Sekretaris Direktorat di bawah Sekretaris MA
  • Ketua MA melakukan distribusi perkara
  • Kepala kamar menunjuk majelis hakim agung
  • Majelis hakim agung memutus perkara

    Kontroversi Birokrat Kaya

    Pria kelahiran Kudus, 19 Juni 1957, ini menjadi sorotan ketika menikahkan putrinya di Hotel Mulia Senayan pada pertengahan Maret 2014. Sebanyak 2.500 tamu yang datang diberi suvenir berupa iPod Shuffle seharga Rp 700 ribu. Selain itu, harga meja di ruang kerjanya ditaksir mencapai Rp 1 miliar.

  • Jabatan: Sekretaris MA atau pejabat eselon I
  • Karier di MA: Sejak 1987
  • Gaji: Rp 18 juta (gaji pokok dan remunerasi)

    Kekayaan

    Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (data terakhir pada November 2012)

    a. Total kekayaan: Rp 33,42 miliar

    b. Harta bergerak: Rp 11,28 miliar

  • Batu mulia: Rp 6,83 miliar
  • Barang-barang seni dan antik: Rp 1 miliar
  • Logam mulia: Rp 500 juta
  • Benda bergerak lainnya: Rp 1,15 miliar

    c. Mobil mewah:

  • Toyota Camry 2010: Rp 600 juta
  • Mini Cooper 2010: Rp 700 juta
  • Lexus 2010: Rp 1,9 miliar
  • Jaguar 2004: Rp 805 juta

    d. Giro dan setara kas: Rp 10,78 miliar

    e. Tanah dan bangunan: Rp 7,3 miliar

  • Ada 18 item tanah dan bangunan seluas puluhan ribu meter persegi di Jakarta Selatan, Kudus, Malang, Mojokerto, Kediri, dan Tulungagung, Jawa Timur.

    f. Sumber penghasilan:

  • Gaji sebagai Sekretaris MA
  • Nurhadi mengklaim punya usaha peternakan burung walet yang dirintis sejak 1981 di Mojokerto, Tulungagung, Kediri, dan Karawang.

    Temuan KPK saat penggeledahan

  • Uang Rp 1,7 miliar dalam tujuh mata uang ditemukan di kamar rumahnya di Hang Lekir V, Jakarta. Terdiri atas uang pecahan US$ 37.603, Sin$ 85.800, 170 ribu yen, 7.501 riyal, Rp 1.335, dan Rp 354,3 juta. Diduga duit itu terkait dengan perkara.
  • Tiga motor besar; salah satunya BMW.
  • Bukti sewa pesawat carter Nurhadi pada 14 April ke Singapura melalui Bandar Udara Halim Perdanakusuma.
  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus