Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MUSIM berburu jentik tiba. Saban pekan Rizky Wisnubaroto, mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, menempuh ratusan kilometer Jakarta-Bayah, Kabupaten Lebak, Banten, untuk mendapatkan sang jentik. Rizky dan kawan-kawan mesti menjelajah dari rumah ke rumah. Mereka memelototi semua yang berongga: jambangan bunga, selokan, tandon air, panci, dan sebagainya. ”Pokoknya, enggak boleh kelewatan,” kata pemuda 21 tahun ini.
Kegiatan ini kerap memancing kecurigaan penduduk. Mau apa, nih, gerombolan anak muda dari kota besar mengintip selokan, panci, penggorengan, sagala rupi? ”Sering timbul keributan. Apalagi kami tak bisa berbahasa Sunda,” kata Rizky. Keributan baru reda setelah tim Rizky, dengan bantuan penerjemah, menjelaskan duduk perkara perburuan jentik. ”Kami meneliti habitat dan cara hidup Aedes aegypti, nyamuk penyebab demam berdarah,” kata mahasiswa tahun kedua di Fakultas Kedokteran UI ini.
Perkampungan miskin di Bayah memang menjadi salah satu titik panas penyebaran demam berdarah dengue. Dua tahun lalu, jumlah penderita demam berdarah di kawasan itu tercatat 123 orang. Tahun berikutnya, 2008, jumlah penderita meningkat hampir dua kali lipat. ”Saya melakukan survei entomologi vektor, pembawa virus dengue, di sana,” kata Rizky dalam perbincangan dengan Tempo dua pekan lalu. Survei ini adalah tugas mata kuliah wajib bagi calon dokter di Universitas Indonesia.
Fokus penelitian tim Rizky adalah perilaku dan karakteristik nyamuk Aedes aegypti. Misalnya, apakah mereka bertelur di tempat terang atau di tempat gelap, di air keruh atau bening, dan di mana pula ratusan jentik diletakkan. Pemetaan karakteristik ini, Rizky berharap, bisa menjadi acuan untuk menekan penyebaran demam berdarah di Bayah.
Benar, meneliti jentik bukanlah riset istimewa. Riset semacam ini sudah banyak dilakukan di perkampungan di Jakarta. Namun penelitian Rizky tergolong sulit mengingat adanya kendala geografis. Jarak Jakarta-Bayah tak kurang dari 230 kilometer, dengan jalan yang jauh dari mulus. Sampai di kampung, Rizky pun harus memeriksa 100 rumah yang menjadi sampel penelitian. Jarak antar-rumah bisa berkilo-kilometer. ”Jalan kaki, lo,” kata Rizky sambil tertawa. ”Waktu libur dikorbankan, deh.”
Awal Maret lalu, riset rampung. Hasil analisis survei menunjukkan nyamuk demam berdarah di Bayah amat cuek. Mereka tidak pilih-pilih tempat bertelur. Segala tempat yang menyimpan air, bening atau keruh, wadah dengan permukaan licin atau kasar, dijadikan tempat menyimpan telur. Padahal, ”Selama ini diyakini bahwa Aedes aegypti hanya bertelur di air yang bening,” kata Rizky. Temuan itulah yang mungkin bisa menjelaskan mengapa penyebaran demam berdarah di Bayah begitu luas.
Nah, adakah Aedes aegypti di Bayah sudah berevolusi? Tentu pertanyaan ini membutuhkan riset yang jauh lebih serius. Namun setidaknya, menurut Rizky, sikap yang tidak pilih-pilih medium air ini adalah jurus adaptasi. Bayah adalah daerah dengan air payau. Fasilitas air bersih tersedia amat terbatas. Akibatnya, penduduk banyak menyimpan air di aneka rupa wadah. Nyamuk pun tak leluasa memilih air tempat berbiak.
Kerja keras tim Rizky tidak sia-sia. Abstrak penelitiannya diterima panitia Kongres Internasional Ilmu Kedokteran di University Medical Center Groningen, Belanda. Awal Juni ini, Rizky akan mempresentasikan hasil risetnya di hadapan mahasiswa kedokteran dari seluruh dunia dalam kongres tersebut.
Indonesia tak hanya diwakili Rizky. Pada kongres yang sama akan datang Steven Wijata, rekan sefakultasnya di kampus Salemba. Steven akan menyajikan hasil penelitian mengenai alat pendeteksi dini penyakit kanker.
Gagasan Steven, mahasiswa tahun ketiga, berangkat dari sulitnya pendeteksian kanker di Indonesia. Peralatan komplet hanya dimiliki rumah sakit besar. Rumah sakit kecil, apalagi puskesmas, tidak memilikinya. ”Mesin-mesin itu rumit pula. Tidak semua orang bisa mengoperasikannya,” kata Steven, pemuda kelahiran Cirebon berusia 21 tahun.
Padahal deteksi kanker sedini mungkin akan sangat membantu dokter dalam menangani si penderita. Tanpa deteksi yang cermat dan dini, kanker semakin susah dikendalikan. Steven kemudian memutar otak. Spektroskop optik menjadi pilihannya. Sinar berdaya rendah dari spektroskop ini dapat berinteraksi dengan molekul hingga memberikan pantulan khusus. Sel-sel kanker dengan spesifik memberikan pantulan yang berbeda dibanding sel normal. ”Hasil penyinaran itu nanti akan muncul dalam bentuk angka yang dapat dengan mudah dibaca,” ujar Steven.
Alat ini cukup mengesankan; begitu praktis digunakan sehingga tak perlu keahlian yang luar biasa untuk mengoperasikannya. ”Mudah-mudahan kelak bisa tersedia di semua rumah sakit dan puskesmas,” kata Steven.
Memang detektor kanker buatan Steven baru mampu melakukan endusan awal. Pemeriksaan lebih lanjut, dengan peralatan dan tes laboratorium yang memadai, tetap dibutuhkan. ”Setidaknya dokter dapat mengetahui sejak dini bahwa ada kanker dan selanjutnya merujuk sang pasien ke rumah sakit kanker untuk penanganan lebih lanjut,” ujarnya.
Steven dan Rizky adalah tunas-tunas peneliti yang disemai Universitas Indonesia. Kampus ini memang berupaya menata diri menjadi universitas riset. ”Kami ingin melahirkan peneliti kelas dunia,” kata Pratiwi Sudarmono, Wakil Dekan Fakultas Kedokteran UI.
Sungguh upaya yang tidak mudah. ”Pertama, peneliti yang mau tekun jumlahnya sedikit,” kata dokter yang pernah dicalonkan sebagai astronaut perempuan Asia pertama itu. Dan mereka harus melakukan seleksi yang superketat. Maksudnya, ”Penelitian yang sangat penting, dapat memecahkan masalah kesehatan di Indonesia, dan tidak dilakukan orang lain di dunia,” kata Pratiwi. ”Kalau mau meneliti kanker, harus yang khas Indonesia.”
Riset tentang penyakit khas daerah tropis pun banyak digelar. Misalnya demam berdarah, malaria, dan flu burung. Penelitian ini melibatkan pula pusat riset di berbagai kampus.
Sejak 2003, seluruh kegiatan penelitian itu bernaung di bawah satu lembaga bernama Unit Riset Kedokteran. Jenis penelitian yang dikembangkan di sini adalah kesehatan komunitas. ”Upaya ditekankan pada pencegahan-pencegahan dan promosi kesehatan,” kata Eva Suarthana, salah satu dokter di unit ini. Dengan memetakan masalah kesehatan di level komunitas, diharapkan strategi pencegahan bakal lebih efisien.
Terobosan lain: menerapkan modul riset untuk mahasiswa program sarjana dan pascasarjana. Pada modul ini, mahasiswa dikenalkan dengan aspek-aspek penelitian, dari etika riset, penyusunan proposal, teknis proyek penelitian, hingga publikasi hasil riset di berbagai jurnal. ”Sekarang setiap calon doktor FKUI, sebelum lulus, harus mempublikasikan penelitiannya ke jurnal internasional,” kata Pratiwi.
Berbagai paket insentif pun diterapkan demi mendukung tersemainya budaya meneliti. Tahun ini, Fakultas Kedokteran UI mengalokasikan Rp 2 miliar untuk riset-riset unggulan di lingkup fakultas.
Insentif juga diberikan kepada peneliti penghasil temuan yang dipatenkan. Mereka yang melakukan presentasi di forum internasional tak ketinggalan diberi paket insentif, termasuk riset jentik Bayah yang menjangkau Belanda tadi. Para dosen diberi tambahan ”baterai” dengan dikirim mengikuti kursus ke luar negeri. ”Gaji dosen peneliti pun bisa jadi lebih tinggi dari gaji dekan,” kata Pratiwi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo