Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Menjadi ’Vampir’ di Alor

25 Mei 2009 | 00.00 WIB

Menjadi ’Vampir’ di Alor
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

MALAM gulita di Alor, Nusa Tenggara Timur. Tak ada listrik di sini. Di kegelapan malam inilah Taniawati Supali dan timnya bekerja. Mereka mengunjungi rumah demi rumah penduduk. Satu demi satu, penduduk mengangsurkan tangan. Cusss…, ujung jari tangan mereka ditusuk dengan jarum. Lalu 20 milimeter darah mereka disedot dengan pipa khusus. Tabung-tabung kosong itu pun berisi darah.

Taniawati sudah pasti bukan vampir yang haus darah. Dia dokter ahli filariasis dari Departemen Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Bersama timnya, Taniawati sedang melakukan riset tentang penyakit kaki gajah yang sempat mewabah di Alor.

Sudah enam tahun Taniawati menjelajahi pedalaman Alor. Setahun sekali dia kembali ke kawasan itu di tengah jadwal mengajarnya di kampus Salemba, Jakarta. Biasanya, saat bertandang ke Alor, dia harus berperahu kayu untuk mencapai daerah penelitian. ”Total empat hari habis di perjalanan,” katanya.

Fasilitas di daerah pelosok tentu saja terbatas. ”Tak ada listrik, tak ada TV, apalagi sinyal telepon seluler,” ujar Taniawati. Walhasil, komunikasi dengan dunia luar baru bisa dilakukan bila dia sudah kembali ke Kupang.

Listrik adalah tantangan utama. Bayangkan saja, para peneliti harus mencucuk jari responden di tengah gelap buta. Maklum, cacing filaria (Brugia timori), yang mengalir di dalam darah penderita kaki gajah, hanya bergerak aktif pada malam hari, antara pukul 19.00 dan 01.00.

Tantangan menjadi makin berat jika peneliti bertemu dengan penduduk yang salah paham. ”Lo, kenapa malam-malam begini darah kami diambil?” kata Taniawati menirukan komplain penduduk.

Agar penduduk tenang, Taniawati selalu membawa mikroskop saat berkeliling kampung. ”Saya ajak mereka langsung melihat cacing di darah mereka dengan mikroskop, diterangi lampu senter,” katanya. Akhirnya, setelah menyaksikan cacing berkelugetan di bawah lensa mikroskop, penduduk jadi terdiam. Langkah selanjutnya pun menjadi lebih ringan.

Penyakit kaki gajah atau filariasis hingga saat ini masih menjadi endemi di ratusan kabupaten di Indonesia. Penyakit ini disebabkan oleh cacing jenis Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, dan Brugia timori, yang banyak ditemukan di wilayah Sumatera, Kalimantan, Jawa, Papua, Sulawesi, Maluku, Maluku Utara, dan Nusa Tenggara Timur.

Taniawati memusatkan riset pada cacing jenis Brugia timori, yang banyak terdapat di daerah timur Indonesia. ”Ini yang khas Indonesia,” kata Taniawati. Jenis ini sedikit berbeda dengan deretan jenis cacing penyebab filariasis yang dikeluarkan Badan Kesehatan Dunia (WHO). ”Secara umum cacing penyebab penyakit kaki gajah itu sama, tapi karakternya berbeda, sehingga perlu riset khusus,” katanya.

Riset Taniawati diharapkan bisa menjadi salah satu referensi upaya menekan kaki gajah, baik di Alor maupun di level internasional. Hasilnya sekarang sudah mulai tampak. Pada 2002, prevalensi filariasis di Alor hampir mencapai tingkat 20 persen. ”Namun sejak tiga tahun lalu telah turun menjadi di bawah satu persen,” katanya.

Taniawati bukan satu-satunya dosen Universitas Indonesia yang tekun meneliti penyakit endemik khas wilayah tropis. Puluhan dosen periset lain juga melakukannya, termasuk Inge Sutanto, yang meneliti penyakit malaria sejak 1990. Hampir dua dasawarsa Inge mengakrabi malaria.

Seperti halnya Taniawati, Inge harus mengunjungi berbagai pelosok Indonesia yang menjadi lokasi endemik malaria. ”Yang terakhir ini di Lampung,” kata guru besar parasitologi Fakultas Kedokteran UI itu.

Untuk malaria, memang telah ditemukan obatnya. Tapi penyakit yang disebabkan nyamuk Anopheles betina ini tetap saja masih luas menyinggahi Indonesia. Pada 2008, tercatat 1,65 juta kasus malaria terjadi di Indonesia.

Menurut Inge, yang penting dalam masalah malaria adalah kesehatan penduduk secara keseluruhan. ”Perlu riset multidisiplin, tidak cukup hanya dengan pengobatan semata,” katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus