JA'FAR Umar Thalib tidak menyangka perjalanannya dari Yogyakarta menuju Makassar, awal Mei lalu, harus berakhir di Jakarta?di sel sempit tahanan polisi. Ditemani enam pengawalnya, Panglima Laskar Jihad itu dengan santai menikmati penerbangan pesawat Pelita. Tapi saat transit di Bandar Udara Juanda, Surabaya, ia dirangsek sekitar 20 polisi yang rupanya telah menguntitnya dari Yogyakarta. Lelaki bersorot mata tajam dan berjenggot panjang itu tak berkutik. Ia pun pasrah ketika digiring ke Jakarta dan ditahan di Markas Besar Polri.
Nama Laskar Jihad menjadi terkenal akhir-akhir ini. Pasukan itu merupakan "sayap militer" Forum Komunikasi Ahlussunah Wal Jamaah?sebuah federasi sejumlah organisasi Islam yang gigih membela saudara sesama muslim mereka dalam konflik agama di Maluku. Mereka merekrut sukarelawan (kini anggotanya berjumlah 13 ribu orang) dan mencari dana di Jawa untuk kemudian dikirim ke Maluku, tempat konflik berdarah yang dalam dua tahun terakhir memakan puluhan ribu nyawa.
Tak pelak, penangkapan Ja'far segera menebarkan keresahan di kalangan anggota Laskar Jihad. Pekan lalu, ratusan anggota Laskar Jihad datang ke tempat panglimanya disekap. Dipimpin oleh Ayip Syafruddin, Ketua Forum Komunikasi Ahlussunah Wal Jamaah, mereka bermaksud menjenguk Ja'far Umar. Ketegangan antara anggota pasukan berjubah putih itu dan polisi sempat terjadi. Namun, aparat tidak mau kompromi. Cuma 25 orang yang akhirnya diizinkan masuk. Polisi juga menyita sebuah rompi antipeluru dan 26 tongkat dari mobil Carry yang mereka kendarai.
Di Ambon, ratusan anggota Laskar Jihad berdemonstrasi selama tiga hari berturut-turut. Dipimpin oleh Kiai Haji Ali Fauzi, mereka berkumpul di depan Masjid An Nur, Desa Batumerah, di pinggiran kota itu. Menurut salah satu tokoh Laskar Jihad di sana, penangkapan Ja'far direkayasa dan sarat dengan muatan politik. Dia menyerukan agar Mabes Polri segera membebaskan Ja'far.
Polisi sendiri memiliki dalih cukup untuk menjerat Ja'far. Selain disangka memusuhi agama lain (Pasal 156 a KHUP), Ja'far dituduh membunuh (Pasal 340 KHUP), bahkan pembunuhan berencana: penganiayaan berat yang menyebabkan kematian (Pasal 355 KUHP).
Tuduhan pertama dikaitkan dengan aktivitas Laskar Jihad di Maluku. Dari sisi ini, banyak pihak berharap konflik di Maluku mereda atau lebih mudah diatasi. Tak hanya tokoh Islam yang ditangkap. Pada pekan yang sama, polisi juga mengirim Aleks Manuputty, Ketua Front Maluku, musuh Laskar Jihad, ke tahanan polisi di Jakarta. Menurut Kapuspen Polri Inspektur Jenderal Didi Widayadi, sebetulnya Aleks ditangkap di Ambon pada 30 April, tapi baru pekan lalu diboyong ke Jakarta. Aleks dituduh melakukan makar (Pasal 106 KUHP). Itu gara-gara ia melakukan aksi pengibaran bendera Republik Maluku Selatan?sebuah gerakan separatis?di Desa Kudamati, Ambon, 25 April lalu.
Walau terlambat, penangkapan kedua jagoan itu, kata John Mailoa, Wakil Ketua DPRD Maluku, akan berdampak positif bagi perdamaian di Maluku. Soalnya, banyak sekali kasus Maluku yang dikait-kaitan dengan mereka. Dari hasil pemeriksaan dua tokoh itu, menurut John, seharusnya polisi bisa menguak tabir tragedi Maluku.
Gubernur Maluku, Saleh Latuconsina?seorang muslim?juga sependapat. Ia mengaku sudah lama meminta agar Laskar Jihad segera ditarik dari daerahnya. Alasannya, kehadiran mereka telah meresahkan warga lain. Sebagian warga muslim di sana, kata Latuconsina, sebetulnya sudah ingin berdamai, tapi selalu dihalang-halang Laskar Jihad.
Presiden Abdurrahman Wahid pun pernah mengecam aksi Laskar Jihad di Maluku. Pada April tahun lalu, Laskar Jihad membalas kecaman itu dengan mengerahkan demonstrasi besar di Jakarta: berserban putih, menghunus pedang telanjang, mereka berpawai di Jakarta.
Ja'far Umar bahkan kemudian menggelar demonstrasi pasukannya di depan Istana. Ketika diberi kesempatan berdialog dengan Presiden, Ja'far melontarkan kritik pedas. Ia mengatakan, sebelum dan sesudah menjadi presiden, Abdurrahman "selalu berpihak pada kaum Nasrani".
Kendati Presiden melarang, Ja'far akhirnya tetap mengirim ribuan pasukannya ke Maluku. Anehnya, aparat keamanan seolah membiarkan saja. Rupanya, menurut Umar Abduh, pengamat gerakan keagamaan dari LIPI, saat itu aparat keamanan membutuhkan bantuan Laskar Jihad untuk memerangi gerakan RMS.
Apakah karena melawan Presiden itu ia ditahan? Adhie Massardi, juru bicara Presiden, membantah adanya kaitan di situ. Penangkapan Ja'far, kata Adhie, lebih karena pertimbangan untuk menghentikan kekerasan di Indonesia, khususnya Maluku. Ia juga membantah adanya perintah Presiden untuk melakukan penangkapan. Kendati tiada perintah Presiden, kata Adhie, kalau terbukti melakukan kekerasan, akan ditangkap.
Namun, Ja'far tak kurang pembela pula. Hartono Mardjono, Koordinator Penasihat Hukum Ja'far Umar Thalib dan anggota Fraksi Partai Bulan Bintang di DPR, heran dengan tuduhan polisi yang mengatakan Ja'far memusuhi agama lain. Ja'far dan pasukannya, kata Hartono, datang ke Maluku pada April tahun lalu. Kata Hartono, daerah itu sudah dilanda konflik antara umat Islam dan Kristen. Laskar Jihad hanya ingin membantu saudara-saudara sesama muslim. Mereka juga hendak memerangi kelompok yang ingin mendirikan Republik Maluku Selatan (RMS). Jadi, "Seharusnya Ja'far Umar mendapatkan bintang jasa," ujarnya.
Habib Husein Al Habsy, Presiden Ikhwanul Muslimin, menilai Ja'far hanya dijadikan tumbal dari tawar-menawar dengan negara-negara Barat dan pemerintahan Abdurrahman Wahid. "Kalau ia tidak ditangkap, bantuan asing sulit mengucur." Kemungkinan adanya tekanan dari negara Barat ini juga diungkapkan oleh Hartono Mardjono.
Dan yang tak kurang problematis adalah tuduhan kedua polisi bahwa Ja'far "telah melakukan pembunuhan berencana". Tuduhan ini dikaitkan dengan bagaimana ia memimpin "pengadilan jalanan": penerapan hukuman rajam bagi Abdul Rohim, salah seorang anggota Laskar Jihad. Lelaki berusia 27 tahun yang mengakui telah berzina itu ditanam setengah badan, lalu dilempari batu sampai tewas.
Disaksikan ratusan penduduk Kampung Ahuru, Ambon, eksekusi itu terjadi 27 Maret silam. Mula-mula, sebuah khotbah disampaikan oleh Ja'far Umar Thalib. Lalu bekas relawan muslim yang dikirim ke Afganistan itu bertanya pada Abdul Rohim, "Apakah kamu siap?" Si Terpidana menjawab: "Insya Allah ridlo." Seorang tokoh yang lain sempat membisikkan saran agar ia mencabut pengakuannya, tapi Abdul Rohim menolak. Maka, hukuman pun dijalankan. Teriakan Allahu akbar menggema, batu-batu dilemparkan, dan jeritan memilukan terdengar.
Bagi sang Panglima, hukuman rajam itu merupakan bagian dari penerapan syariat Islam di Ambon. Dan itu dianggap sah dilakukan di daerah yang telah lama dibalut konflik antaragama tersebut. Sebab, kata Ja'far, di sana sudah tidak ada lagi hukum. Aparat sudah tak berkutik dan masyarakat selalu diliputi ketakutan. Yang lebih penting lagi, ujar lelaki berusia 40 tahun itu, "Penerapan syariat Islam itu sudah disepakati masyarakat, bukan pemaksaan."
Kesepakatan tersebut, menurut Ayip Syafruddin, telah ditumpahkan dalam sebuah ikrar yang dibacakan di Masjid Al Fatah di Ambon, 8 Januari lalu. Selain berlaku buat anggota Laskar Jihad, penerapan syariat Islam tersebut juga mengikat bagi masyarakat muslim di Ambon. Ayip mengakui, penerapan hukum Islam belum diajukan ke DPR. Pihak DPRD setempat pun tidak mungkin setuju karena sebagian besar anggotanya beragama Kristen. Tapi, tutur pemimpin Ahlussunah Wal Jamaah itu, orang yang melaksanakan syariat Islam tidak bisa diadili. Soalnya, orang yang mematuhi hukum adat pun, kata Ayip, diperbolehkan, malah dilindungi.
Pengacara Hartono Mardjono juga mempertanyakannya. Hartono mengaku heran orang yang menjalankan ajaran agamanya justru disalahkan. Kalau pendekatan legal-formal yang dipakai polisi diterapkan, menurut Hartono, banyak orang yang mesti ditangkap. Orang yang mengkhitankan anaknya, katanya, juga bisa dianggap melakukan penganiayaan.
Hukuman rajam memang belum menjadi hukum positif di Maluku, juga di Indonesia. Tapi kalau soal agama dibawa ke polisi, urusannya bisa lain. Karena itu, Din Syamsuddin, Sekretaris Majelis Ulama Indonesia, meminta agar polisi berhati-hati dalam masalah ini.
Dan di tengah situasi politik yang memanas, perkara Ja'far memang bisa menjadi bahan bakar potensial untuk konflik lebih luas.
Gendur S., Agus S. Riyanto, Purwani Diyah Prabandari, Friets Kerlely (Ambon)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini