Nono Anwar Makarim*)
*) Ketua Dewan Pelaksana Yayasan Aksara
KAMPANYE anti-komunis ketika komunisme sudah bubar sangat mengherankan. Sama mengherankannya seandainya ada kampanye anti-dokar di Jalan Sudirman atau anti-harimau di Ratu Plaza. Mengapa sekarang? PKI bubar 35 tahun yang lalu. Dalam waktu satu minggu, partai komunis terbesar di luar blok sosialis itu musnah. Pemimpin dan anggotanya dilikuidasi dalam suatu genosida yang dimensinya menimbulkan pertanyaan mengenai peradaban bangsa Indonesia.
Dalam konteks global, Uni Soviet, sipir tirai besi, rontok menjadi republik-republik kecil. Eropa Timur menanggalkan perekat ideologi sosialisnya dan pecah menjadi serangkaian negara suku. Di Cina, yang komunis hanya partainya. Perekonomiannya merupakan bagian dari pasar kapitalis. Sebentar lagi Cina akan masuk WTO. Vietnam, Kamboja, dan Laos sibuk dengan dirinya sendiri. Perang Dingin sudah selesai. Suka tidak suka, yang menang adalah Amerika.
Indonesia sudah tiga dasawarsa bergelimang dalam kapitalisme birokrasi. DPR dipimpin seorang bekas Ketua HMI, MPR dipimpin seorang mantan Ketua Muhammadiyah, sedangkan Presiden berakar politik pada pesantren dan paguyuban klerikal para kiai. TNI sibuk mengonsolidasi kembali kedudukannya setelah agak lama dibuat koma oleh referendum Timor Timur. Untuk tujuan apa Aliansi Anti-Komunis dilahirkan? Buat apa mereka begitu agresif mau melakukan sweeping atas buku-buku "kiri", membakar buku-buku "kiri", dan akhirnya memburu orang-orang "kiri"? Zamannya keliru, permasalahannya keliru, sasarannya keliru, caranya paling keliru.
Agresif
Orang agresif bila takut. Suku-suku beragama Islam di Kalimantan Barat saling menyerang karena takut mata pencariannya diambil paksa. Suku Dayak bermandi darah lawannya karena dibebani banyak ketakutan: ketakutan akan racun di sungainya yang dicemari tambang-tambang, ketakutan hutannya diambil oleh pemegang hak pengusahaan hutan, ketakutan karena industri hutan menghalau semua yang hidup di belantara, dan ketakutan atas para pendatang yang merebut ladangnya. Di Maluku begitu, di Aceh begitu, di Irian begitu juga. Hapuskan ketakutan, niscaya damai akan datang. Agresi berfungsi sebagai pelindung, menyerang untuk bela diri, ofensi sebagai defensi.
Takut Siapa?
Aliansi Anti-Komunis (AAK) terkesan agresif sekali. Sweeping buku dulu, lalu buku dibakar. Setelah itu, orang-orangnya di-sweeping. Barangkali dibakar juga. Mendengar omongnya saja kita sudah merinding. Apa yang ditakuti AAK? Apakah takut kejayaan Islam terancam di dalam negeri? Saya kira tidak. Lembaga-lembaga tertinggi negara dipimpin para tokoh Islam. Poros Tengah, koalisi partai-partai Islam, adalah kelompok politik yang paling aktif dan sesekali sangat kreatif. Tidak pernah Islam sebagai budaya begitu menggelora di tanah air kita seperti sekarang.
Ataukah AAK takut Amerika yang main kuasa di mana-mana? Saya kira tidak. Kalau takut kepada Amerika, tentunya aliansi mereka justru akan mendekat kepada musuh-musuh Amerika. Presiden Khatami mendekat kepada Fidel Castro. Teknologi persenjataan negara-negara lawan Israel di Timur Tengah dipasok oleh Rusia, Cina, dan Korea Utara?semuanya negara yang berbau "kiri". Israel, musuh mereka, dibantu mati-matian oleh Amerika.
Kalau takut kepada Amerika, tentunya yang harus dipeluk bukan hanya negara-negara "kiri" yang pernah terlibat Perang Dingin melawan Amerika, tapi juga literatur perlawanannya. Kalau benci kepada hegemonisme AS, kalau takut kepada neokolonialisme Barat, buku-buku "kiri" justru mesti dipelihara. Tiada analisis tentang imperialisme yang lebih jernih dari analisis Marxis. Tiada teori ketergantungan yang lebih menggiurkan dari teori yang diciptakan oleh sarjana dependencia yang semuanya berhaluan "kiri".
Mungkin juga AAK gemas menyaksikan gumpalan-gumpalan aktivis yang sangat vokal memperjuangkan 1.001 kebebasan melalui ratusan LSM. Mengasosiasikan "kebebasan" dengan "komunisme" dan memberikan cap "komunis" kepada para pejuang kebebasan menunjukkan kekaguman yang berlebihan kepada ajaran komunisme. Komunisme tidak bangkit kembali. PKI tidak muncul lagi. Yang ada adalah perjuangan merebut kebebasan. Komunisme memperjuangkan kediktatoran, bukan kebebasan. Penindasan sistemis kita temukan di dunia komunis. Gulag ada di negara komunis; killing fields Kamboja dibangun di atas landasan teori komunis.
Konspirasi
Setelah peristiwa Timor Timur, kita punya kebiasaan baru: semua kehancuran, kebobrokan, kejahatan, kemacetan, pokoknya segala hal yang tidak menyenangkan, didalangi TNI. AAK didalangi TNI. Mungkin benar, mungkin juga salah. Ia tidak menjawab pertanyaan "mengapa?" Mengapa TNI yang sedang mematri porosnya dengan PDI-P menciptakan suatu gerakan yang menyerang langsung ke jantung hati konsepsi perjuangan Sukarno, ayah Megawati?
Oh, bukan TNI! Golkar yang mau membalas dendam kepada mahasiswa yang menuntut pembubaran Golkar; mereka yang berada di belakang AAK. Mungkin benar, mungkin salah. Banyak pertanyaan yang tak terjawab olehnya. Dibandingkan dengan partai politik yang lain, Golkar tampak mempunyai atribut kepartaian yang paling lengkap. Tapi ia juga mempunyai stigma masa lalu yang paling parah: ia dibesarkan oleh ABRI yang dibenci banyak pihak. Orang masih ingat bahwa setiap kali muncul pejuang kebebasan, ABRI langsung menuding "PKI". Ketua PRD itu "PKI", Munir itu "PKI", Muchtar Pakpahan adalah kader "kiri". Sedemikian rupa menggelikannya refleks main-tuding-kiri ini di masa lalu sampai hilang total kredibilitasnya. Bodoh sekali Golkar apabila berupaya memainkan kartu kumal ini. Lagi pula buat apa? Golkar sedang asyik membangun suatu koalisi besar untuk bersama PDI-P memerintah Indonesia, atau berfungsi sebagai oposisi yang tangguh. Mengingat-ingatkan orang pada masa 35 tahun lalu hanya akan mempertebal stigma Golkar.
Sedari dulu saya ragu akan kemujaraban analisis konspirasional. Dugaan adanya konspirasi mungkin benar, mungkin juga salah. Tapi ia jarang menjawab pertanyaan "mengapa?"
Mengapa?
Mungkinkah AAK takut kehilangan relevansi politiknya? Atau cemas akan kehabisan "isu" guna merebut kembali momentum pergerakan yang pernah digenggamnya di masa lalu? Mungkinkah para pemimpinnya terbelenggu alam pikiran 35 tahun lalu ketika anti-komunisme berhasil menggalang front persatuan yang lebar?
Kampanye bakar buku "kiri" merupakan teka-teki yang sulit diterka. Biar waktu memproklamasikan maknanya. Masalah pokok yang kita hadapi sekarang adalah bagaimana menjalin pengertian dengan teman-teman di AAK bahwa remang-remang yang disebabkan oleh asap buku yang dibakar bukan saat menjelang subuh, melainkan kemenangan gelap atas terang. Dalam sejarah, pembakaran buku selalu menandakan kematian peradaban. Dari abunya tak pernah lahir kultur baru.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini