Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebuah buku dan beribu kata. Dapatkah dan perlukah kita segera memahami pemikiran dan isi hati seorang Imam Samudra? Melalui buku setebal 276 halaman buku berjudul Aku Melawan Teroris yang ditulis oleh pelaku bom Bali ini memberikan apa yang disebutnya sebagai Biografi Setengah Hati, karena, menurut Imam, "Tidak layak aku menulis otobiografi."
Layak atau tidak, sebetulnya yang penting apakah jalan pemikiran dan latar belakang Imam Samudra alias Abdul Aziz ini bisa menjelaskan seluruh perilakunya yang membuat dirinya kemudian dikenal sebagai teroris (oleh mereka yang mengutuknya) atau "pejuang" (oleh mereka yang mendukungnya)?
Mungkin ada beberapa hal yang membedakan buku ini dengan biografi tokoh sejarah. Buku ini berkisah tentang sebuah kamar belajar yang memampangkan peta Afganistan. Tentu saja ini bukan sebuah pertanda cinta geografi, tetapi menunjukkan sebuah tekad yang pernah tumbuh di sana. Di meja belajarnya terdapat tumpukan buku-buku, di antaranya berjudul Ayatur Rahman fie Jihadi Afghanistan (Tanda-tanda kekuasaan Allah dalam Jihad di Afganistan) karya Dr. Abdullah Azzam yang mengupas konsep jihad dan kisah peperangan di Afganistan.
Abdul Aziz?kelak lebih dikenal sebagai Imam Samudra?melumat kata demi kata itu. Ia baru berusia 16 tahun. "Aku hanya bisa membayangkan, menghayati, dan kemudian melamun," katanya. Selesai membacanya, tumbuhlah gairah Imam remaja untuk bisa berjihad di Afganistan. Sepulang ke Tanah Air, ia memegang apa yang dia artikan sebagai jihad dengan menebar bom. Bom Bali yang meledak pada 12 Ok-tober 2002 dilakukan dengan kesadaran penuh dan diakuinya sebagai simbol perang melawan AS dan Israel.
Untuk beberapa bab, Imam mengabdikan tulisan biografi setengah hati itu dengan berbagai sejarah peperangan keterlibatan AS dianggap sebagai salah satu pendorong utama dari perbuatannya (dan kawan-kawannya). Harap diingat, karena ini adalah sebuah kisah kesaksian satu orang, maka tentu kita bukan berhadapan dengan setumpuk fakta dan investigasi, melainkan sebuah kesaksian, tekad yang bulat yang tak terbantahkan, sehingga tak ada lagi ruang untuk mempertanyakan, melemparkan keraguan, apalagi mengajak sebuah perdebatan.
Ini adalah sebuah keyakinan yang bukan main?jika tak membuat hati gentar?dari seorang pria (lahir di Banten, 14 Januari 1971) yang dengan romantis mengisahkan masa kecilnya dengan sang kakek. Sekilas, masa kecilnya tak jauh berbeda dengan anak-anak desa pada umumnya. Dia mengenyam pendidikan Ibtidaiyah pada siang hari sepulang dari Sekolah Dasar, lalu dia melalui masa "sekuler"?demikian pengakuannya?dengan menonton televisi di rumah kawan. Pada halaman 26 buku itu, Imam mengaku "buldoser" pendidikan sekuler itu telah menggusur minat pendidikan agamanya karena dia harus ikut lomba matematika, catur, puisi, mengarang. Ketika remaja, Pelabuhan Merak menjadi tempat mangkal serta membolos dari madrasah. Tetapi Imam merasa batinnya terganggu. Dia mulai merasakan keindahan Islam serta bulan Ramadan dan satu-satunya jalan menuju kemuliaan hidup di dunia dan akhirat adalah Islam. Dia menyesali masa lalunya ketika dia bergaul dan bebas bersalaman dengan kaum putri.
Tahun 1990 adalah awal dari penjelajahan Imam ke masjid Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia. Bersama Jabir, temannya (meninggal dalam peristiwa bom Antapani, Bandung) mereka berangkat ke Afganistan berbekal tabungan Rp 300 ribu.
"Satu babak kehidupan baru yang amat membahagiakan. Musik kami adalah rentetan peluru, ledakan mortar, dentuman zigoyak dan da-scha-ka (senjata antiserangan udara). Nyanyian kami adalah nasyid-nasyid pembangkit semangat jihad. Senandung kami adalah lantunan ayat Al-Quran yang tak pernah berhenti selama 24 jam. Tiada suara wanita, tiada tangis anak kecil, apalagi musik-musik jahiliyah, panggilan setan" (halaman 46).
Afganistan tengah musim salju. Seusai perang, Imam Samudra pulang dengan dua nama yang dianggapnya sebagai musuh utama: Amerika dan Israel.
Setelah kata-kata ini, setelah "biografi setengah hati" ini, setelah 276 halaman, apakah pembaca kemudian berhasil memahami gelombang pemikiran Imam Samudra yang mengesahkan pengeboman di Bali, yang mematikan ratusan jiwa? Jika kita tak paham, jika Anda tak paham, itu bukan karena kita tak paham bahasa Indonesia.
Rommy Fibri/LSC
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo