Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Dari Pergulatan 'Sang Terkasih Yohanes'

Hassan Hanafi contoh lain pergumulan yang menarik dari seorang pemikir Islam. Dikenal terbuka pada Barat, ia mengaku "kiri" sekaligus "fundamentalis". Berikut petilan pergulatan batinnya, sebagaimana tertulis dalam otobiografinya.

8 November 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Siapa saya? Ikhwaniskah, sebagaimana tudingan kalangan progresif kiri? Atau komuniskah, sebagaimana cap kalangan Islam? Atau malah seorang Ikhwanis-komunis sebagaimana tuduhan pihak keamanan?

Januari 1968, Jean Paul Sartre datang ke Kairo. Umur filsuf Prancis itu sudah 63 tahun, tapi bagi siapa pun kalangan konservatif di Mesir, ia tetap membahayakan. Sartre dikenal agnostik, pemikirannya cenderung ateis.

Tapi itulah Mesir. Di sana, seorang Ikhwanul Muslimin, profesor filsafat, menggebu menerjemahkan karya utama Sartre, Being and Nothingness. Ia menerima kedatangan Sartre dengan hangat. Tapi tiga bulan kemudian, media massa menyimak: di Paris, filsuf Prancis tua itu memutuskan turun ke jalan, bergabung dengan mahasiswa kiri, memprotes pendudukan Prancis di negeri muslim Aljazair. Lahirlah Revolusi Mei 1968. "Papa's come back," sambut para mahasiswa.

Tapi, profesor filsafat Mesir itu? Ia Hassan Hanafi dan memang dikenal sebagai figur kontroversial. Ia antusias menulis strategi pengembangan Ikhwanul Muslimin, tapi bacaannya sering tak disukai kalangan Ikhwan sendiri.

Sebaliknya, di kalangan pemikir liberal muslim pun, ia agak dianggap terlalu berlebihan mengapresiasi Ikhwanul Muslim. Umumnya pemikir modern menganggap Ikhwanul gerakan konservatif. Tapi Hanafi justru melihat pembubaran Ikhwanul merupakan suatu kerugian besar. Sebab ia memandang Ikhwanul adalah gerakan reformasi yang lahir secara orisinal. "Ikhwanul Muslimin tidak akan pernah mati, karena mereka bagian dari indigenous dari masyarakat, baik sebagai paradigma pikir maupun sebagai basis massa...."

Posisi Hanafi unik. Itu sebabnya pertanyaan di atas dilontarkan sendiri oleh Hanafi dalam otobiografi populernya, Aku Bagian dari Fundamentalisme Islam (telah diterjemahkan oleh Penerbit Islamika). Di sini, fundamentalisme dalam pemikiran Hanafi mendapat pemaknaan lain. Sementara bagi orang semacam Imam Samudra fundamentalisme berarti seruan mendirikan negara Islam atau aplikasi syariat Islam yang cenderung kontra-modernitas, penglihatan Hanafi berbeda. Itulah gerakan pembebasan.

Hati nurani Mesir dalam pandangan Hanafi diekspresikan oleh dua kutub: gerakan sosialis dan Jamaah Islamiyah yang berobsesi negara Islam. Keduanya saling tarik-ulur. Hanafi tidak memihak satu pun, tapi meniti gelombang persaingan itu hati-hati.

"Keagamaan saya baru tumbuh di bawah bimbingan Ikhwanul Muslim," tuturnya. Pada 1952, saat umurnya baru 17 tahun, tatkala ia masih ma-hasiswa semester awal, ia masuk Ikhwan. Dalam gemblengan organisasi, ia merasakan manisnya sembahyang subuh bersama pada bulan Ramadan bersama para aktivis Ikhwan. Tapi di tempat yang sama ia juga tak mengerti mengapa, misalnya, kegemarannya bermain biola (Hanafi lahir dari keluarga pemusik) dipandang aneh bagi para Ikhwan lainnya.

Hanafi menentang pemahaman banyak Ikhwan, yang berkeyakinan bahwa sebaik-baiknya masa adalah masa lalu. Ia lebih suka ide-ide tentang perubahan, yang bergerak, melompat, menciptakan hal-hal baru ke depan. Sedari muda ia berangan membuat cetak biru kebangkitan Islam. Pemikir Prancis seperti Henry Bergson adalah favoritnya. Muhammad Abduh, yang sering jadi acuan utama Ikhwan, dikritiknya. "Saya mencintai Abduh, tapi lebih mencintai Islam," tulisnya.

Cakrawala intelektual Mesir saat itu dirasakan sempit. Pada 1956, ia memutuskan meneruskan sekolah ke Universitas Sorbonne, Paris. Dengan uang ala kadarnya—hanya jaminan beasiswa—malam pertama tiba di Paris ia tidur di stasiun kereta bawah tanah Monbernes bersama para gelandangan. Di Prancis, ia serius melahap "kaki-kaki" filsafat Prancis dan Jerman. Untuk membeli buku, ia rela hidup irit, mengurangi jatah uang makan. Akibatnya, ia sampai menderita kelumpuhan semu dan dirawat di rumah sakit.

Dalam studinya ia sangat berutang budi pada seorang reformis Katolik bernama Jean Guitton, guru besar filsafat di Sorbonne. Guitton adalah murid kesayangan Henri Bergson dan sahabat erat Paus Paulus VI. "Dia adalah profesor dan dosenku. Saya bahkan sering menyebutnya dengan panggilan Yesus. Ia sendiri memanggilku dengan panggilan "yang terkasih mahasiswaku" sebagaimana Yesus memanggil Yohanes dengan panggilan "yang terkasih Yohanes…," tulis Hanafi.

Paus sempat mengundang Hanafi untuk menghadiri putaran keempat Konferensi Lembaga Gereja di Vatikan pada 1964. Ia merenungkan pengalamannya "Saya lihat diri saya berada di tengah-tengah para kardinal yang berjubah khas di Gereja Santo Petrus sambil mereka menyuarakan dogma-dogma dan teks yang tidak mereka ketahui bagaimana ia tumbuh, berkembang, dan dibukukan…."

Dari Guitton, ia terutama belajar bagaimana mengkonvergensikan orientasi-orientasi pemikiran yang berlawanan. Soalnya, belajar filsafat ibarat masuk dalam hutan pemikiran. Bila tak ada kecenderungan kreatif, seseorang bisa menjadi hanya representator ucapan para filsuf. Dari Guitton, Hanafi banyak bergulat dengan traktat-traktat filsafat yang bertema "kembali kepada subjek " seperti pemikiran Husserl dan Heidegger. Dan Hanafi selalu membenturkan dengan pengalaman-pengalaman hidupnya. Ide-ide yang abstrak itu oleh Hanafi digumulkan ke tatanan realitas, spirit digerakkan dari personal ke sosial. Ia tak semata-mata menelan Guitton. "Hubungan saya dan beliau lebih mirip hubungan Hegel dan Feurbach," tulisnya. Maksudnya seperti Feurbach yang berusaha mengkonkritkan pemikiran idealisme sang guru, Hegel, Hanafi juga ingin menerjemahkan perspektif yang diberikan Guitton.

Pada 1966, kembali ke Mesir, ia mulai menuliskan proyek Tradisi dan Modernitas (at-Turas wa at-Tajdid) yang menjadi cikal bakal buku-buku terkenalnya. Tapi lima tahun kemudian, sebagai seorang "realis", naluri mengembaranya timbul lagi. Pada September 1971 ia-menerima tawaran menjadi dosen di Amerika. Di Amerika inilah ketika itu pemikiran teologi pembebasan Amerika Latin dengan tokohnya Don Helder Camara, Camilo Torres, marak. Hanafi antusias menyerap. Ia sadar, Islam sesungguhnya adalah agama dengan karakter kiri. "Di Amerika saya mulai berkenalan dengan ide agama revolusioner yang selama ini saya bangun secara tidak spontan...," tulisnya.

Ia melakukan perjalanan ke pelosok-pelosok Amerika. "Saya mengenal Amerika dari dekat. Saya pernah menjelajahi seluruh wilayah Amerika dari barat ke timur, dan dari selatan ke utara hingga Kanada, serta timur ke selatan hingga Meksiko," tutur Hanafi. Pada musim panas 1975, ia pulang ke Mesir. Ketika Revolusi Islam di Iran tahun 1979 menang, Hanafi mempublikasikan buku Iman Khomeini di Mesir. Tahun 1981, ia mendirikan majalah kiri Islam. Di sini dia menjelaskan dinamika pergulatan pemikiran kiri dan kanan dalam sejarah Mesir.

Pada 1982 ia menerima tawaran menjadi dosen di Maroko. "Sebagian besar mahasiswa dan dosen di sana berhaluan kiri, sehingga saya serasa hidup di tengah-tengah keluarga sendiri..," katanya. Agaknya di sinilah ia menemukan sebuah masyarakat Islam yang menurut dia masih memiliki pantulan zaman keemasan Cordoba—meski pernah mengalami kolonialisme." ... Saya melanglang buana menyusuri setiap pelosok Maroko, dari selatan hingga Marakesh, dan dari utara hingga Tanjah. Saya menyaksikan kecintaan intelektual Maroko akan kebebasan berpikir, juga pencarian seorang miskin Maroko akan sesuap kehidupan. Dua tahun di Maroko ini menjadi dua tahun yang terindah dalam hidup kami…."

Menurut Hanafi, setelah kejatuhan Andalusia, intelektual Maroko adalah para juru kunci ilmu peradaban Islam. "Di sini pula saya menemukan Islam natural yang masih alami dan belum tercemari dualisme halal dan haram sebagaimana Islam di dunia Arab Timur yang sudah banyak dipengaruhi khazanah Iran kuno…."

Betapapun telah mereguk pengalaman hidup di Eropa, Amerika, dan dunia maghribi, kehausan intelektualitas Hanafi masih membara. Masih ada yang kurang, yaitu Asia. Hasratnya ingin mengenal dunia Timur besar, dan itu tak cukup hanya dengan buku. Timur baginya menawarkan pemikiran lain, juga harus dimengerti untuk lebih mendapat gambaran yang baik tentang Arab sendiri. Maka ketika pada 1984 mendapat undangan mengajar di Jepang, ia langsung memboyong seluruh keluarganya ke Jepang: "Saya telah mengenal Barat dengan baik, saya kurang mengerti hal-hal ketimuran, lebih-lebih pasca-kebangkitan modern; dari revolusi besar Cina, restorasi Jepang, kebangkitan ekonomi Korea, kemenangan Vietnam atas Amerika, kemerdekaan India.... Saya terobsesi menyeimbangkan kesadaran saya akan dunia antara Barat dan Timur…."

Selama tinggal di Jepang ia mendapat pencerahan terutama bagaimana cara masyarakat Jepang memecah persoalan ketegangan tradisi-modernitas. Di Barat ia melihat ada keterputusan antara tradisi dan modernitas, sementara di Arab ada model ketersambungan serta pembaharuan, dan di Jepang, ... Saya melihat nilai-nilai asli berlaku untuk kehidupan personal, perayaan-perayaan, tempat peribadatan. Sementara nilai baru diterapkan pada hal pekerjaan, perusahaan, pabrik—dan administrasi.

Hanafi kagum bagaimana Jepang—tak seperti Arab—bisa mengatasi paradoks-paradoks sejarahnya. "... Jepang berhasil mengangkat dirinya dari satu tingkatan ke tingkatan lebih tinggi tanpa harus mempersoalkan paradoks dan pertentangan. Sedangkan kita saling membunuh selama dua ratus tahunan hanya mempermasalahkan nilai klasik dan kontemporer….

Musim panas 1987, Hanafi balik ke Mesir. Mulai tahun itulah kemudian mengalir buku-bukunya yang dianggap brilian—dan banyak dibaca di mana pun, termasuk memberikan inspirasi bagi kaum muda kita. Dari perjalanan Hanafi, kita bisa mencatat: pemikiran keagamaannya matang, itulah hasil pergulatan yang tidak semata-mata abstrak. Tidak tumbuh dari ruang vakum, tapi lewat sebuah perjalanan, pengelanaan—sebuah kehausan mengenal masyarakat di luar dunianya.

Seno Joko Suyono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus