Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Hayden dan Para Teroris

8 November 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Haidar Bagir
  • Kandidat doktor di bidang filsafat Islam

    Seraya mengungkapkan kesedihan yang mendalam atas tragedi yang terjadi hari ini di Jakarta, saya juga berpikir mengenai pentingnya mengungkapkan concern saya terhadap orang-orang yang melakukan aksi (teror) ini. Yang amat menyedihkan bagi saya adalah bahwa, betapapun sesatnya aksi itu, orang-orang ini akan secara tulus merasa telah melakukan sesuatu yang benar dengan meledakkan bom itu, bahwa bertindak berdasar kemarahan dan nafsu balas dendam adalah apa yang Tuhan maui untuk mereka kerjakan. ? Kemarahan adalah suatu perasaan yang kita alami ketika kita merasa frustrasi dan tak berdaya, ketika kita merasa bahwa dunia kita telah keluar dari kendali kita, ketika tak seorang pun mendengar kita."

    Itulah cuplikan catatan harian Torey Hayden, seorang pendidik anak berkebutuhan khusus (children with special needs) dan penulis buku terlaris Sheila serta beberapa buku tentang anak-anak berkebutuhan khusus lainnya, menanggapi tragedi peledakan bom di depan Kedutaan Besar Australia kurang dari dua bulan lalu. Hayden, seorang Amerika berkewarganegaraan Ing-gris, sedang menyampaikan ceramahnya di gedung Departemen Pendidikan Nasional, Senayan, ketika bom itu meledak tak jauh dari tempatnya memberikan ceramah. Padahal, sebelum berangkat ke Jakarta, keluarga dan para sahabatnya telah memperingatkan agar dia tak berangkat karena, menurut mereka, Indonesia dipenuhi "para teroris".

    Maka, meski masih terasa mengejutkan, tak terlalu aneh ketika kemudian Hayden menamsilkan psikologi para teroris ini dengan anak-anak berkebutuhan khusus yang menjadi concern hidupnya. "Saya sering ditanya tentang cara menangani temper tantrum dan ledakan penuh dendam anak-anak berkebutuhan khusus?, tentang sering sulitnya anak-anak berkebutuhan khusus untuk mengendalikan kemarahan mereka, bagaimana kebutuhan khusus mereka menjadikan mereka tak fasih dan tanpa daya untuk mengkomunikasikan apa yang mereka butuhkan."

    Meski khas pendidik, apa yang didiagnosis Hayden sesungguhnya sudah hampir-hampir merupakan kesepakatan di kalangan para psikolog, sosiolog, atau para ahli tentang terorisme pada umumnya. Penelitian pada umumnya menunjukkan bahwa para teroris ini berangkat dari kondisi kehidupan serba penuh kemarahan dan dendam seperti itu. Simaklah, misalnya, penuturan Abd Shomad Moussaoui (Musawi) tentang saudaranya, Zacarias Moussaoui, sang "pembajak kedua puluh" pesawat yang ditabrakkan ke menara kembar WTC dalam The Making of a Terrorist. Zacarias mengalami masa kanak-kanak yang suram di Prancis ketika kedua orang tuanya (imigran dari Maroko) bercerai. Ia berpindah dari satu kota ke kota lain. Betapapun berprestasi di sekolah dan dalam kehidupan sosial, makin lama ia makin teralienasi dari kehidupan Prancis. Penyebabnya, menurut Zacarias sendiri, "Orang Prancis semuanya rasis!" Dan, dalam alienasinya, dia tak punya kanal untuk menyalurkan kemarahan. Dalam pandangan orang-orang seperti dia, seluruh dunia telah berkomplot untuk mengucilkan mereka, termasuk lewat media massa yang memegang hegemoni informasi dunia. Tak seperti Sardar, yang pikiran-pikirannya diterima oleh berbagai penerbit buku terkemuka dan menghiasi media massa besar dunia, atau Hanafi yang diundang berbicara ke berbagai negara, seolah tak ada telinga yang mau mendengar jeritan mereka.

    Maka, dibumbui oleh pendidikan Islam radikal yang diterimanya di sebuah masjid di negeri itu, pengalaman pahit kehidupannya itu pun menjadi bahan bakar pendorong keterlibatannya dalam mission sacree perlawanan Islam terhadap Barat yang kafir. Ungkapan Kamel Daoudi, seorang Arab-Aljazair dari kalangan kelas menengah berpendidikan Prancis dan anggota kelompok Islam bersenjata antipemerintah Aljazair, yang ditulisnya dari penjara, kiranya bisa mengungkapkan kemarahan orang-orang seperti ini:

    "Perang Aljazair (melibatkan kelompok FIS yang menang pemilu tapi ditindas), Perang Teluk, Kosovo, Afganistan, Palestina, Libanon?semua kejadian ini telah memperkuatkan keyakinan saya bahwa masyarakat Judeo-Kristen yang berada di bawah pengaruh ateisme memang memiliki kebencian membabi-buta kepada umat Muhammad. ? Untuk alasan-alasan ini dan karena semua kejadian yang telah meninggalkan luka yang tak tersembuhkan ini, saya pun bergabung dengan kekuatan-kekuatan (perlawanan) itu?."

    Kisah penuh dendam, tentang kemarahan yang tak mendapatkan salurannya, seperti ini pun hampir-hampir menjadi klasik. Tak terbatas pada para teroris yang terlilit kehidupan masa lampau yang sumpek seperti Moussaoui atau Imam Samudra, melainkan juga pada mereka yang sesungguhnya menikmati kehidupan yang?menurut ukuran yang lazim?bahagia. Apakah ia Usamah bin Ladin yang berkelimpahan, ataukah para anggota kelompok Takfir wal-Hijrah pembunuh Anwar Sadat yang?seperti diteliti oleh ilmuwan sosial kiri Mesir, Sa'ad Eddin Ebrahim?sesungguhnya berasal dari keluarga yang harmonis.

    Maka, kata Hayden lagi, seperti seharusnya kita bersikap terhadap anak berkebutuhan khusus, "Adalah sudah waktunya bagi kita untuk berhenti merespons kemarahan dengan kemarahan. Inilah waktunya untuk mendengar. Meski mungkin apa yang dikatakan tak bisa diterima?. Kemarahan lahir dari rasa frustrasi, dari ketakpunyaan suara (voicelessness), dari keadaan terus diceramahi tapi tak pernah didengar?."

    Reaksi banyak dari kita terhadap pandangan Hayden barangkali adalah terperangah, boleh jadi juga kesal, dan segera tak setuju. Tapi, saya kira, yang dimaksud Hayden bukanlah bahwa para teroris itu boleh dibiarkan melenggang dengan perbuatan tak manusiawi mereka, sambil kita manjakan mereka dengan kasih sayang penuh perhatian. Saya yakin, seperti kita semua, Hayden sepenuhnya tahu bahwa tindakan seperti ini harus mendapatkan ganjaran yang setimpal. Hayden saya kira hanya sedang berbicara tentang kebutuhan akan dialog yang tulus di antara berbagai kelompok manusia, dan bahwa pintu dialog seperti ini bahkan tak boleh ditutup bagi kelompok-kelompok yang secara sesat menganggap teror sebagai cara yang sah untuk menyelesaikan apa yang mereka lihat sebagai ketidakadilan itu. Sebelum lebih banyak lagi tindakan teror seperti ini pecah di tengah-tengah kita di masa-masa yang akan datang.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus