Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berdamai dengan Bencana
Tsunami mengubah kehidupan di Aceh. Masih banyak yang membangun rumah dekat laut.
Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh, masih ramai meski salat Jumat telah lama usai. Di antara pilar-pilarnya yang berwarna putih, belasan lelaki duduk bersandar sembari membaca, mendaras doa, atau mengobrol perlahan. Di teras masjid, banyak orang berdiri di bawah atap berlindung sejenak dari sengatan matahari sebelum akhirnya melangkah pergi. Halaman masjid tampak bersih dengan rumput yang terpotong rapi. Menara putih masjid tegak menjulang. Tak tampak jejak bencana alam terburuk di Indonesia pernah menyentuh Baiturrahman.
Gempa tektonik berkuatan 9,2 skala Richter pada 26 Desember 2004 memicu tsunami yang menerjang pesisir barat Aceh. Ratusan ribu orang tewas. Puluhan ribu rumah termasuk permukiman di sekitar Baiturrahman hancur. Namun masjid itu tegak berdiri meski diterpa air, lumpur, dan puing bangunan. Warga Banda Aceh berduyun-duyun ke sana untuk berlindung. "Masjid ini menyelamatkan banyak nyawa," kata Zaidan, warga Banda Aceh yang menemani mengelilingi Baiturrahman, akhir Oktober lalu.
Bencana gempa dan tsunami itu telah mengubah kehidupan di Aceh. Pembangunan infrastruktur berlangsung cepat dalam tempo sepuluh tahun. Kegiatan ekonomi pun berangsur pulih. Kota dibangun ulang karena banyak wilayah yang tersapu tsunami sudah tak layak huni lagi. Jalan dan fasilitas umum seperti sekolah dibangun kembali. Aceh bahkan memiliki bandar udara internasional. Konflik pemerintah dengan Gerakan Aceh Merdeka yang berlangsung sejak 1976 pun berhenti. "Sesuatu yang tak terbayangkan sebelumnya," kata Kuntoro Mangkusubroto, mantan Kepala Badan Pelaksana Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh-Nias, akhir November lalu.
Aceh juga memiliki sistem evakuasi baru yang dirancang agar masyarakat mudah menyelamatkan diri jika terjadi bencana. Di Banda Aceh, misalnya, papan petunjuk arah evakuasi dipasang di jalan-jalan raya. Beberapa bagian putaran jalan protokol ditutup oleh pembatas berwarna oranye setinggi satu meter. Pembatas itu baru dibuka saat kejadian genting agar akses transportasi dalam proses evakuasi lebih lebar.
Banda Aceh memiliki empat gedung evakuasi (escape building). Gedung empat lantai setinggi 18 meter itu ada di Desa Lambung, Deah Glumpang, Deah Teungoh, dan Gampong Pie. Bangunan dengan desain ruang terbuka itu didesain sanggup menahan guncangan gempa hingga 10 skala Richter. Di Meulaboh, gedung pertokoan pun dirancang sebagai tempat evakuasi.
Saluran pembuangan dibuat lebih lebar untuk menampung dan mengalirkan lebih banyak air limpasan. Jalan dibangun lebih lebar untuk mempermudah evakuasi. Di Kota Lhoknga, 17 kilometer sebelah selatan Banda Aceh, sudah dibangun jalan-jalan beraspal mulus. Jalur lintas barat dari Lhoknga menuju Lhoong hingga Calang sungguh nyaman dan tak banyak kendaraan yang lalu-lalang.
Di pesisir pantai barat Aceh, jalan raya Banda Aceh-Meulaboh yang rusak parah diterjang tsunami sudah diperbaiki. Jalan mulus dengan lebar 12 meter itu bisa dinikmati pengendara dari akses Jalan Teuku Umar-Cut Nyak Dhien, ataupun dari arah Ulee Lheue. Menyusuri jalan sepanjang 245 kilometer, pengendara akan dimanjakan oleh pemandangan bukit hijau dan persawahan. Rumah penduduk yang dibangun lembaga donor bergerombol di beberapa perkampungan sepanjang jalan Banda Aceh-Meulaboh.
Aktivitas transportasi dan bongkar-muat barang di pelabuhan berjalan ramai. Pelabuhan Lampulo, Banda Aceh, setiap hari ramai disinggahi kapal. Nelayan menurunkan muatan ikan dan mengambil es. Padahal dulu Lampulo termasuk daerah yang rusak parah diterjang tsunami. Sebuah kapal bahkan terseret gelombang ke arah permukiman dan tersangkut di atas rumah. Perahu yang dijadikan sekoci darurat oleh sekitar 30 orang itu kini menjadi monumen peringatan bencana populer di sana.
Pelabuhan Meulaboh yang hancur dibangun kembali dengan bantuan pemerintah Singapura. Di sana kerap bersandar kapal yang menghubungkan Meulaboh dengan Pulau Simeulue. Pelabuhan Calang, 97 kilometer sebelah barat laut Meulaboh, juga diperbaiki dan terlihat bersih. Berbeda dengan Meulaboh, pelabuhan Calang lebih sepi.
Perumahan menjadi proyek yang paling menguras perhatian. Ada lebih dari setengah juta pengungsi yang menginginkan rumah dan tanahnya kembali. Kuntoro mengatakan membangun permukiman baru dan mengurus sengketa tanah dilakukan dengan sangat hati-hati. Karena banyak dokumen properti yang hilang, rencana pembangunan diputuskan lewat musyarawah warga desa. Kuntoro meminta keputusan harus disepakati semua orang. "Sebelum semua teken, saya tak akan membuatkannya," kata Kuntoro, yang memimpin BRR selama empat tahun.
Kuntoro juga berusaha mengatur lembaga-lembaga internasional yang bersemangat membantu namun memiliki misi berbeda. Mereka diminta mengisi formulir yang memuat data pembangunan, dana, dan berapa banyak pekerja yang dilibatkan. Kuntoro mengutamakan pembangunan berbasis pedesaan untuk daerah perkotaan.
Ia pun menyusun ulang master plan alias rencana induk pembangunan Aceh. Rencana induk yang disiapkan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional dinilai banyak mengandung kesalahan. "Mereka bikin master plan dua bulan cuma dari helikopter, lalu ambil kesimpulan rumah yang perlu dibangun 90 ribu," kata Kuntoro. "Saya bikin sendiri, akhirnya yang terbangun 142 ribu rumah."
Agar tak menimbulkan kecemburuan sosial, Kuntoro mematok luas bangunan 42-64 meter persegi. Tak ada standar baku dalam hal bentuk dan bahan bangunan. "Mau rumah panggung, pakai kayu, tembok semua, atapnya asbes atau yang lain, terserah," katanya. Namun rumah-rumah baru itu dirancang hanya tahan gempa hingga kekuatan 7 skala Richter. Teknologi tahan gempa yang lebih mutakhir sangat mahal. "Untuk ketahanan sampai skala delapan saja, harga rumahnya bisa melonjak tiga kali lipat," kata Kuntoro.
Punya pengalaman buruk dengan tsunami ternyata tak membuat warga Aceh kapok membangun rumah di dekat laut. Padahal wilayah pesisir jelas paling rentan disapu tsunami. Kuntoro sempat ragu mengizinkan warga Aceh kembali membangun rumah di tempatnya semula. Namun mereka kukuh ingin kembali. Kuntoro mengatakan masyarakat cepat sekali berdamai dengan laut dan mulai melupakan penderitaannya. "Izinkan kami membangun kembali di situ. Kalau ada apa-apa, itu urusan kami dengan Allah," kata Kuntoro mengulang ucapan masyarakat kepadanya.
Masyarakat Aceh tampaknya pasrah dan menganggap bencana adalah takdir yang harus diterima. Bakri Beck, mantan Deputi Rekonstruksi dan Rehabilitasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana, khawatir dengan masyarakat yang masih berkeras membangun rumah di dekat laut. Jika tsunami sebesar 2004 datang lagi, rumah mereka sudah pasti tersapu habis.
Menurut Bakri, wilayah dengan jarak dua kilometer dari garis pantai sebaiknya memang tak dijadikan tempat bermukim. Untuk membangun permukiman di wilayah pesisir rawan bencana, desain tata ruang, pembuatan sabuk hijau dari pohon bakau, dan struktur bangunan yang tahan gempa masuk daftar utama. "Jika lahan dekat laut ingin digunakan sebaiknya untuk tempat usaha saja," kata dia.
Kepala Pusat Riset dan Mitigasi Kebencanaan Universitas Syiah Kuala Khairul Munadi mengatakan penetapan wilayah sempadan pantai yang ideal atau buffer zone di Aceh hanya berlaku secara teoretis. Kultur masyarakat pesisir sudah lama terbentuk di Aceh. Sejak 1980-an, pesisir Banda Aceh dan Aceh Besar adalah daerah yang diubah menjadi tambak ikan. "Masyarakat nelayan turun-temurun tinggal di sana, potensi ekonomi dan sosiokultural sulit dilepaskan," kata Khairul.
Membujuk masyarakat pergi meninggalkan pantai yang menjadi sumber hidupnya adalah usaha yang sulit. Pemerintah, menurut Khairul, perlu melakukan pendekatan persuasif, memberi kompensasi finansial dan rehabilitasi kondisi sosial ekonomi masyarakat yang direlokasi. Regulasi tata ruang buffer zone juga harus ditegakkan dengan konsisten. Namun pemerintah lokal ternyata belum sanggup melakukannya. "Jumlah unit rumah yang dibangun kembali di pesisir pantai, terutama sejak menjelang berakhirnya masa rehabilitasi dan rekonstruksi 2005-2009, meningkat signifikan," ujar Khairul.
Sistem pengaman dari bencana juga tak seluruhnya dibangun. Saat merancang rekonstruksi Aceh, Kuntoro belum memasukkan detail struktur penyelamat seperti sabuk hijau mangrove dan pemecah ombak. Tinggi dan desain bangunan tahan bencana juga tak ada. Belakangan dia akhirnya menambah tanggul pemecah gelombang di beberapa tempat. Menurut dia, tak mungkin membangun sistem pengaman di sepanjang pesisir yang dulu tersapu tsunami sepanjang 800 kilometer, termasuk di Pulau Nias dan Pulau Simeulue. "Kalau tsunami 15-20 meter, tak akan ada yang tahan, nyerah saja," kata Kuntoro.
Danny Hilman, ahli geologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, mengatakan gempa dan tsunami di wilayah barat Indonesia masih bisa terjadi. Sejak 2000, tercatat ada ratusan gempa kecil dan setidaknya 14 gempa dengan kekuatan lebih dari 7 skala Richter yang mengguncang wilayah barat Sumatera. Lokasi-lokasi gempa akibat gerakan lempeng kontinen itu beririsan. "Lempeng yang bergeser akan mempengaruhi posisi lempeng di sebelahnya sehingga berpotensi gempa lagi," kata dia.
Dari ratusan gempa yang tercatat, ada pola yang bisa dipakai memprediksi wilayah mana yang berpotensi dihantam gempa. Wilayah dengan pola sebaran titik gempa jarang malah berpotensi diguncang gempa lebih kuat. Wilayah itu ada di sebelah barat Pulau Nias dan Simeulue, Kepulauan Mentawai, serta di Samudra Hindia di sebelah selatan Pulau Jawa.
Riset menunjukkan Aceh pernah diterjang tsunami purba dahsyat 1.700 dan 2.400 tahun silam. Setengah milenium lalu Aceh kembali dilibas tsunami. Periode kejadiannya diperkirakan 600 tahunan. Riset menunjukkan tsunami pernah muncul pada 1907, 1861, dan 1797. Ada lagi bencana yang diakibatkan letusan Gunung Seulawah pada 1839.
Periode kejadian bencana yang panjang itu tak menjamin Aceh aman dalam 600 tahun ke depan. Eko Yulianto, ilmuwan Pusat Penelitian Geoteknologi, mengatakan tsunami besar seperti yang terjadi pada 2004 adalah sebuah perulangan lama. "Ada juga bukti tsunami kecil terjadi di antara itu, yakni 5-6 kejadian," kata Eko.
Ia mengatakan perbedaan antara tsunami purba dan modern adalah jumlah korban yang timbul. Banyaknya korban yang tewas pada 2004, menurut Eko, merupakan kesalahan manusia sendiri. "Tsunami adalah kodrat bumi, ada atau tidak ada manusia dia akan tetap terjadi," ujarnya. Kondisi pesisir Aceh yang kini kembali dipadati manusia membuat risiko jatuhnya korban akibat bencana tetap tinggi. "Jangankan yang sebesar 2004, yang kecil-kecil saja korbannya pasti akan banyak," ujarnya.
Wilayah pesisir jelas berisiko tinggi diempas tsunami. Pada 2004, air laut menerobos ke daratan Aceh hingga sejauh lima kilometer. Namun Kuntoro tetap mengizinkan masyarakat membangun rumahnya di sana. "Apakah tanah sepanjang itu harus dikosongkan? Itu tak masuk akal," ujarnya. Ikatan emosional masyarakat dengan tanahnya terlalu besar sehingga sulit diputus. Memulihkan trauma masyarakat terhadap laut justru menjadi hal yang lebih penting. Setahun setelah tsunami, masyarakat Aceh sudah berani minta izin membangun rumahnya kembali. "Ini menunjukkan mereka berdamai dengan air," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo