Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Sigap Berkat Simulasi Lengkap

Aceh sudah dilengkapi fasilitas evakuasi. Prosedur keselamatan rentan dilupakan.

22 Desember 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Murid-murid Sekolah Dasar Negeri 2 Banda Aceh bergerak ke bawah meja untuk berlindung. Gempa berkekuatan 8 skala Richter mengancam. Murid-murid senior berusaha membantu adik-adik kelas mereka. Sirene peringatan bahaya melengking. Mereka pun berbondong-bondong bergerak menuju lantai dua sekolah, mencari tempat aman jikalau terjadi tsunami. Namun tak ada yang terluka dalam keriuhan yang terjadi pada 15 Desember lalu itu. Mereka hanya mengikuti simulasi bencana gempa dan tsunami.

Pada hari yang sama, SDN 65 Lampulo, Banda Aceh, juga menjalankan pelatihan tanggap bencana. Pada hari berikutnya, giliran Sekolah Menengah Pertama 1 Peukan Banda, Aceh Besar, yang menggelar simulasi. Faisal Ilyas, Koordinator Sekolah Siaga Bencana Aceh, mengatakan kegiatan simulasi dilakukan di sekolah yang dulu terimbas tsunami. "Untuk memberikan pengetahuan kepada siswa bagaimana tindakan yang dilakukan saat bencana datang," katanya.

Kepala SDN 2 Banda Aceh Nani Irawati mengatakan simulasi rutin digelar. Dua sekolah tetangga, SMP 1 dan SMA 1 Banda Aceh, juga melakukannya secara berkala. "Minimal setahun sekali," ujarnya. Sepuluh tahun lalu, sama seperti yang dialami sebagian besar wilayah pesisir barat Aceh, sekolah Nani diterjang air bah. Sebelum tsunami, sekolah itu memiliki 1.200 murid, tapi hanya 50 orang yang selamat dari bencana.

Akhir Oktober lalu, pemerintah Aceh melakukan simulasi besar-besaran. Kegiatan itu dipusatkan di Desa Blang Oi, Meuraxa, Banda Aceh. Raungan sirene mengiringi sebagian warga kampung yang berlarian menuju escape building atau gedung evakuasi di desa sebelah, Lambung dan Deah Glumpang, untuk menyelamatkan diri. Kepala Badan Penanggulangan Bencana Aceh Said Rasul mengatakan simulasi dilakukan untuk mengevaluasi prosedur operasi standar evakuasi. "Sekaligus uji coba peralatan sistem peringatan dini sirene tsunami," kata Said.

Namun gedung evakuasi berkapasitas lebih dari 3.000 orang itu hanya terisi sekitar 100 orang dalam simulasi tersebut. Elfa Yeni, warga Banda Aceh, mengatakan simulasi bencana semacam itu jarang dipraktekkan. Dalam setahun terakhir, baru sekali Elfa mendengar ada simulasi bencana dijalankan. "Ya, Oktober kemarin itu saja, tapi tidak terdengar sirenenya, padahal saya di pusat kota," ucapnya pada pertengahan Desember lalu.

Menurut Elfa, simulasi bencana di sekolah juga masih sedikit. Padahal, kata dia, sekolah adalah tempat ideal bagi anak untuk mengenal dan belajar tentang bencana. Ibu dua anak itu menyebutkan kawan-kawannya yang menyekolahkan anak mereka di tempat berbeda punya kisah serupa. "Tidak ada simulasi apa-apa, padahal itu sekolah negeri," ujar Elfa, yang bekerja dalam program mitigasi bencana di Padang pada 2010.

Anak pertama Elfa duduk di kelas IV sekolah dasar. Sedangkan anak keduanya masih di bangku taman kanak-kanak. Gedung sekolah dasar anaknya memiliki dua lantai dan menampung 900 murid. Bangunan itu sempat terendam dan rusak diterjang tsunami. "Tanpa pengetahuan tentang cara evakuasi, anak-anak di sekolah rentan menjadi korban," tuturnya.

Kuntoro Mangkusubroto, mantan Kepala Badan Pelaksana Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh-Nias, mengatakan pembangunan fisik Aceh berjalan baik. Tidak ada konflik horizontal di masyarakat. Masalahnya, Aceh ternyata masih tidak siap jika bencana hebat seperti yang terjadi sepuluh tahun lalu kembali menghantam. "Ini terkait dengan konsep dan perilaku orangnya," kata Kuntoro ketika ditemui di kantornya, akhir November lalu.

Peristiwa gempa besar yang kembali menggoyang Aceh pada 2013 menunjukkan warga Aceh masih gagap menjalankan prosedur evakuasi. Saat itu sudah ada empat escape building kokoh yang tahan gempa hingga 10 skala Richter. Gedung-gedung itu terletak di Desa Lambung, Deah Glumpang, Gampong Pie, dan Deah Teungoh. Gedung evakuasi di Gampong Pie juga menjadi kantor Pusat Riset Tsunami dan Mitigasi Kebencanaan (TDMRC) Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.

Gedung-gedung itu dilengkapi helipad di atap dan sanggup menampung hingga 3.000 orang. Gedung setinggi 18 meter itu juga didesain tahan menghadapi tsunami. Warga sudah dilatih menyelamatkan diri ke gedung itu jika terjadi bencana. "Tapi apa yang terjadi tahun lalu? Gedungnya kosong! Mereka lari ke mana-mana, mengikuti orang yang ada di depannya," ujar Kuntoro.

Kuntoro mengatakan daerah rawan bencana sebenarnya telah memiliki panduan evakuasi. "Semua lengkap dibikinkan. Mau apa pun saya bilang itu ada karena, jika terjadi sesuatu, kita harus bisa meminimalisasi korban," katanya. Latihan evakuasi, termasuk di sekolah, sudah dipraktekkan. Buku-buku pelajaran dilengkapi prosedur penyelamatan. Namun banyak yang tak memperhatikan prosedur evakuasi. Apalagi tsunami tergolong bencana langka yang terjadi sekali dalam beberapa ratus tahun. Kondisi itu membuat masyarakat tidak acuh pada mitigasi bencana. "Kalau ditanya apa siap menghadapi gempa dan tsunami, ya, enggak ada. Ilmu tentang panik ini tidak ada," ucap Kuntoro.

Pembangunan fasilitas penanggulangan bencana tidak otomatis meningkatkan kesadaran dan kesiagaan masyarakat Aceh. Kepala TDMRC Khairul Munadi mengatakan pemerintah perlu membuat program dan sosialisasi pendidikan kebencanaan. Simulasi bencana perlu dilakukan secara berkala. "Bukan bersifat seremonial belaka," kata Khairul.

Dinil Pushpalal, Direktur Asosiasi Studi Keamanan Manusia Jepang, mengatakan latihan tanggap bencana harus sering dilakukan. Masyarakat juga harus dibiasakan menyimpan dan mengatur barang-barang penting yang diperlukan saat bencana. "Anda harus bisa mengelola hidup di daerah rawan bencana, jangan cuma pasrah," ujarnya dalam "International Workshop and Expo on Sumatra Tsunami Disaster and Recovery" di Universitas Syiah Kuala, Oktober lalu.

Jepang menjadi pembanding yang baik dalam mitigasi bencana. Rutinitas pelatihan bencana membuat warga Jepang siap menghadapi situasi krisis. Maria Dewi, mahasiswi program doktor di Department of Urban Engineering Universitas Tokyo, mengatakan simulasi kebencanaan di Jepang sudah diperkenalkan sejak usia dini. Sekolah adalah basis pelatihan kebencanaan yang efektif. "Anak-anak sudah dibiasakan ikut disaster drill," ucapnya dalam surat elektronik kepada Tempo, 10 Desember lalu.

Simulasi tanggap bencana di Jepang mencakup gempa, tsunami, dan kebakaran. Pelatihan dilakukan beberapa kali dalam setahun. Warga Jepang mengasah pengetahuan tentang prosedur evakuasi dan cara memakai alat penyelamat, seperti tabung pemadam kebakaran. "Setiap orang harus tahu ke mana arah evakuasi," ujar Maria.

Dibanding sekolah di Aceh, menurut Elfa Yeni, sekolah di Padang lebih baik dalam memberikan pelatihan bencana. Setiap tiga bulan, orang tua murid diberi tahu tentang simulasi bencana. Elfa pernah menawarkan membuat simulasi bencana sederhana di sekolah.

Dua kali tawarannya ditolak. "Mereka beralasan tidak punya dana," katanya. Padahal pelatihan bisa dilakukan dengan mengajak para orang tua murid. Dengan melakukan simulasi bersama, komunikasi anak dan orang tua bisa lebih lancar. Simulasi bisa dirancang seperti permainan sehingga menarik untuk anak-anak. "Orang tua cukup membawa bekal untuk anak-anak waktu latihan."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus