Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Johnny Hidayat dikenal sebagai seorang kartunis yang kerap mengkritik polisi.
Polisi menjadi bulan-bulanan kartun Johnny Hidayat, meski pandangannya tentang polisi berimbang.
Seperti apa kartun-kartun polisi karya Johnny Hidayat sejak era Orde Baru hingga Pasca-Reformasi.
DALAM suatu wawancara dengan Johnny Hidayat A.R. (1942-2013), saya mencatat pengakuan bahwa beliau pernah mendapat penghargaan dari pihak kepolisian karena kartun-kartunnya sering mengkritik polisi. Pengamat humor Darminto M. Sudarmo (1956-2021) dalam pengantar kumpulan kartun Jon Domino: Obat Stress 3 menyebutkan, “Kalau dalam kartun politik ada cukup banyak nama berderet pada tataran maestro, dalam tataran kartun sosial (gag cartoon), saya kok hanya melihat sedikit nama, dari yang sedikit itu salah satunya adalah Johnny Hidayat A.R.” (2020, vii).
Selain kumpulan kartun di atas, Institut Humor Indonesia Kini (IHIK3) juga telah menerbitkan Jon Gokil: Obat Stress 2 (2017) dan Jon Slebor: Obat Stress 1 (edisi 2, 2018). Dari 450 kartun Johnny Hidayat dalam ketiga kumpulan tersebut, memang tertunjukkan fungsi kartun sosial bukan sekadar sebagai pemancing atau peledak tawa, melainkan juga kritik sosial. Artinya, polisi bukanlah satu-satunya sasaran humor Johnny Hidayat. Setidaknya 15 kartun yang bermain dengan sosok polisi dapat ditarik keluar dari ketiga kumpulan tersebut. Ternyata yang bisa disebut pandangan negatif terhadap polisi cukup minimal.
Betapapun, jika dibaca secara kronologis, kartun pertama yang bisa ditemukan tentang polisi bagaikan merangkum kesan umum negatif, seperti kartun dari 1972 berikut ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dimuat di Majalah Vista, 1972. IHIK3/Remaster/Erwin Prima Arya, 2018
Mimpi sebagai pemenuhan hasrat
Tidak ada kasus khusus, hanya mimpi, tapi mimpi dalam teori Sigmund Freud dapat berarti pemenuhan kehendak. Lalu ketika teori Freud lain menyebutkan sifat humor sebagai bentuk agresi yang berfungsi sebagai katarsis, ungkapan “mimpi ngrebus polisi” menjadi kondensasi segenap kesan yang dibentuk oleh pengalaman. Dalam konteks media Orde Baru pada 1970-an, yang terpapar tentang polisi tidak akan mungkin terlalu buruk, sehingga dapat diandaikan seorang kartunis menyerap pengetahuannya dari jalanan.
Dalam hal ini kartun-kartun Johnny menjadi penyeimbang dari keterbatasan informasi semasa Orde Baru, karena para penggemar kartunnya hanya akan bisa terpingkal-pingkal atas permainan logika terhadap polisi yang mereka dengar, lihat, dan kenali—yang memang tidak akan mereka dapatkan dari media massa. Maka menjadi menarik untuk menengok bagaimanakah kiranya kartun-kartun Johnny tentang polisi akan menjadi representasi kenyataannya.
Kartun kedua, pada kesan pertama, seperti menampik citra negatif polisi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dimuat di Majalah Vista, 1972. IHIK3/Remaster/Erwin Prima Arya, 2018
Resolusi-keganjilan: menolak atau kurang?
Jon Slebor, pengemudi truk, berusaha menyuap polisi karena muatannya berlebihan. Dalam hal penyuapan, jelas penyuap melanggar hukum. Apakah pandangan terhadap polisi di sini dianggap positif? Sudah jelas polisi itu menolak, tapi kalimatnya juga bisa berarti uang Rp 100 (sekitar Rp 3.000 dengan kurs saat ini) masih kurang. Tergolong jenis humor resolusi-keganjilan, ini dianggap lucu karena senyum yang datang belakangan bersama kesadaran. Betapapun, kartun ini lebih pasti mengungkap penyuapannya dan menjadi kritik kepada khalayak.
Kartun ketiga berikut ini memang seperti hanya melucu, tanpa beban makna ideologis, tapi memperlihatkan apa yang diharapkan dari polisi pada umumnya: menangkap penjahat. Seperti juga yang terjadi pada kartun berikutnya, bahwa semestinyalah polisi menjadi sahabat khalayak.
Dimuat di Majalah Vista, 1972. IHIK3/Remaster/Erwin Prima Arya, 2018
Harapan rakyat, menangkap penjahat
Dimuat di Majalah Vista, 1977. IHIK3/Remaster/Erwin Prima Arya, 2018
Polisi yang diharapkan: sahabat khalayak
Dimuat di Majalah Vista, 1971. IHIK3/Remaster/Erwin Prima Arya, 2018
Polisi dan sepeda motor Jepang pasca-1965
Kedua polisi pada kartun kelima menemukan sepeda motor ringsek. Bahwa mereka tidak melihat Joni tergantung di lampu, ini menjadi bahan tawa. Dalam konteks tumbuhnya budaya urban, adanya sepeda motor merek Honda terhubungkan dengan pembukaan pintu bagi investasi asing pasca-1965. Terdorongnya gaya hidup ngebut di jalanan berkat produksi sepeda motor merek Jepang sungguh merepotkan polisi—yang sudah mengenali siapa saja setan jalanan masa itu; dan polisi pun menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.
Dimuat di Majalah Vista, 1977. IHIK3/Remaster/Erwin Prima Arya, 2018
Naif atau pura-pura naif? Representasi yang gawat
Dalam kartun keenam, polisi ini menguasai wacana, tempat ia berputar-putar di dalamnya. Tak masalah jika dengan begitu ini menjadi terdengar naif. Antara memang naif dan pura-pura naif, dari sanalah sumber tawanya—yang tak menjadi masalah dalam kartun. Tapi masalah besar jika kartun ini dianggap sebagai representasi realitas itu sendiri. Representasi memang bukan cerminan langsung, melainkan padan konstruktif yang sama saja gawatnya.
Dimuat di Majalah Vista, 1971. IHIK3/Remaster/Erwin Prima Arya, 2018
Positif-negatif polisi: spiritualitas canda
Adapun kartun ketujuh tentang polisi yang cerdik ini memberi gambaran tentang betapa akrab sebetulnya sosok polisi dengan khalayak. Menjadi positif atau negatif, polisi, betapapun kritis, tetap berada dalam spiritualitas canda, seperti juga kartun kedelapan berikut ini.
Dimuat di Majalah Vista, 1977. IHIK3/Remaster/Erwin Prima Arya, 2018
Polisi yang serius: pandangan berimbang
Kartun tentang polisi yang menjalankan tugasnya dengan serius ini menegaskan pandangan berimbang khalayak bahwa praktik positif polisi memang sudah semestinya dilakukan. Kartun kesembilan dan kesepuluh masih sama, bahwa tugas polisi sungguh sudah dimaklumi, sehingga dapat dikembangkan spekulasi bahwa praktik negatif polisi sebetulnya tidak mungkin berlangsung dalam khalayak yang positif. Negatif-positifnya polisi adalah konstruksi khalayaknya, hubungan polisi dan khalayak sebagai hubungan dialektik. Makin baik “negatifnya”, makin rusak keduanya.
Dimuat di Majalah Vista, 1971. IHIK3/Remaster/Erwin Prima Arya, 2018
Polisi dalam konstruksi khalayak: dialektika positif-negatif
Dimuat di Majalah Vista, 1971. IHIK3/Remaster/Erwin Prima Arya, 2018
Praktik positif yang sudah semestinya
Dalam kartun kesebelas berikut ini, humor yang menyangkut tembakan luput, meski tampak wajar sebagai umpan punchline atawa kata-kata akhir yang memicu tawa. Kewajaran atas luputnya tembakan justru menjadi kritik terselubung, tapi tetap keras, atas profesionalisme polisi. Kasus profesionalisme yang sama juga berlaku bagi kartun kedua belas.
Dimuat di Majalah Vista, 1978. IHIK3/Remaster/Erwin Prima Arya, 2018
Polisi dan profesionalisme: tembakan yang luput
Kartun karya Jonnhy Hidayat AR yang dimuat di Majalah Vista, 1972. IHIK3/Remaster/Erwin Prima Arya, 2018
Kelucuan seperti ini juga merujuk pada profesionalisme polisi
Kartun ketiga belas, masih berkutat pada masalah penyuapan, tentu menunjukkan sikap positif polisi. Namun terungkap juga di sini potensi nepotisme dalam korupsi yang menjadi ancaman terkait dengan kelindan tak teruraikan di antara khalayak. Alih-alih kritik terhadap polisi, kartun ini menjadi kritik sosial atas akal sehat khalayak, yang dalam wacana kritis jauh dari sehat.
Kesehatan akal, memang, berbanding terbalik dengan akal sehat (common sense), cara “berpikir” yang bertolak dari penerimaan segala paham dominan sebagai “dengan sendirinya benar”, meski bertentangan dengan kesehatan akal. Jalan “damai” dalam pelanggaran lalu lintas sudah berkategori akal sehat, nyaris secara absolut. Seperti ditunjukkan, polisi di sini dengan tegas—diandaikan akan—menolaknya.
Dimuat di Majalah Vista, 1977. IHIK3/Remaster/Erwin Prima Arya, 2018
Menolak suap, menunjuk nepotisme
Kartun berikutnya, yang keempat belas, memperlihatkan sudut pandang penghakiman oleh khalayak, dengan mengesampingkan peran polisi, antara lain karena yang harus menjadi tugasnya dianggap gagal: mobil berkemungkinan menabrak penjaja koran. Masalahnya, apakah menjual koran di jalanan sendiri bukan pelanggaran? Wacana kartun Johnny terbuka bagi perbincangan konstruksi sosial yang melahirkan humor itu. Segenap kata dan tanda bermakna menantang pembongkaran, dari koran sampai granat.
Dimuat di Majalah Vista, 1978. IHIK3/Remaster/Erwin Prima Arya, 2018
Mengesampingkan peran polisi
Dimuat di Majalah Vista, 1978. IHIK3/Remaster/Erwin Prima Arya, 2018
Kartun sebagai representasi realitas sosial
Kartun kelima belas atau yang terakhir memberi dilema bahwa lampu merah harus dilanggar, karena jika ketentuan harus berhenti diikuti, risikonya adalah ditodong. Kartun seperti ini menjadi representasi yang tidak kelewat berliku dari realitas sosial pada masanya.
Lima belas kartun tentang polisi, dari pilihan acak atas kartun-kartun Johnny Hidayat A.R. pada 1970-an lebih memperlihatkan pandangan bahwa polisi mempunyai tugas mulia dan dalam menjalankan tugasnya menghadapi tantangan serta godaan. Tidaklah terduga bagi saya, alih-alih menjadi bulan-bulanan canda untuk ditertawakan, sebetulnya yang diterima polisi adalah suatu kepedulian.
Menjadi pertanyaan tentu, bagaimana caranya kartun-kartun ini menjadi kritis, jika dari 15 hanya satu yang langsung memandang polisi secara negatif—itu pun tanpa kasus. Namun pandangan kritis itu dapat ditemukan dalam semacam pembuktian terbalik: setiap kali polisi menolak suap dalam kartun, hanya membuktikan bahwa praktik ini sebetulnya selalu berlangsung. Kiranya bukan suatu dalih untuk menyatakan kemapanan kuasa politik Orde Baru menjadi faktor keterselubungan itu.
Dalam kartun baris-komik (comic-strip) seri Keluarga Miring (Li Ay Poen, 1964), peran polisi sepenuhnya hadir sebagai standar moralitas ataupun normalitas, tanpa situasi abu-abu seperti kartun-kartun polisi Johnny dari 1970-an ini. Jika gubahan kedua kartunis ini sahih sebagai perbandingan representasi realitas sosial-politik pra-1965 dan pasca-1965, setidaknya terlacak betapa perubahan ekonomi-politik membawa lebih banyak masalah bagi polisi daripada sebelumnya.
Memasuki era pasca-Reformasi, dalam hal citra polisi, adakah sesuatu yang berubah? Jika pada 1970-an sampai 1980-an kartun-kartun Johnny menjamur di berbagai majalah hiburan, dari Vista, Violeta, sampai Selecta, sejak awal 2000-an John Domino tampil setiap hari di koran Pos Kota. Frekuensi yang tinggi menuntut kepekaan lebih tajam. Perbedaan media mengalihkan sifat hiburan menjadi makin terarah sebagai kritik sosial.
Dimuat di Pos Kota, 2003. IHIK3/Remaster/Erwin Prima Arya, 2018
Mengarungi jarak 30 tahun lebih, keterbukaan politik tampaknya menghilangkan selubung seni kritik pada kartun Johnny Hidayat, sehingga pada 2003 caranya bercanda tentang polisi seperti termuat di Pos Kota itu.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo