Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Komunitas Sakatoya berkolaborasi dengan perupa Ugo Untoro mementaskan teater boneka di Salihara.
Pentas teater boneka yang bertolak dari kisah pengelanaan Amongraga dalam Serat Centhini.
Pentas teater boneka yang mengeksplorasi ruang di Teater Salihara, Jakarta Selatan.
SEBUAH bronjong anyaman bambu berbentuk kurungan diturunkan dari langit-langit ruangan pertunjukan Teater Salihara, Jakarta. Sangkar itu besar. Dari sudut, dua sosok berkostum hitam-hitam yang hanya menyisakan lubang di mata—mengingatkan pada gaya para dalang Bunraku, teater boneka Jepang—menggiring sebuah boneka seukuran manusia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Boneka itu berwarna putih dari wajah sampai kaki. Ia mengenakan penutup kepala seperti peci. Rambutnya demikian pendek hingga kedua kupingnya terlihat lebar. Matanya cekung cenderung sipit dan bibirnya panjang. Kedua sosok hitam itu memapah boneka tersebut. Boneka itu betul-betul seperti berjalan. Namun langkahnya lemah. Lunglai. Tertatih-tatih. Kakinya seakan-akan tak menginjak tanah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia seolah-olah pasrah kepada kedua “eksekutor” yang menggapitnya. Tatkala dimasukkan ke kurungan, disandarkan dan diikat pada “terali sel bambu”, ia betul-betul seperti tak berdaya. Ia tak bisa ke mana-mana. Bunyi debur ombak menyusup ke ruangan. Dari kejauhan, ditimpa remang-remang cahaya lampu, wajah boneka itu tampak makin misterius.
Adegan ini disajikan Komunitas Sakatoya dari Yogyakarta di Teater Salihara untuk menggambarkan hukuman mati bagi Amongraga yang dijalankan di Laut Selatan. Dalam kisah Serat Centhini, putra Sunan Giri itu ditenggelamkan di laut setelah ia melakukan pengembaraan panjang. Perjalanan panjang mencari adik-adiknya, juga menemukan jati dirinya.
Pentas Komunitas Sakatoya Yogyakarta di ruang tunggu Galeri Salihara, Jakarta, 27 Agustus 2022. KSalihara/Witjak Widhi Cahya
Inovasi-inovasi pertunjukan teater boneka beberapa tahun terakhir menarik. Para teaterawan boneka mengambil kisah-kisah dari teks di luar teks tradisi yang digunakan wayang golek atau wayang potehi dan mengembangkan suatu model pertunjukan yang lebih atraktif dan interaktif dengan penonton. Kelompok boneka Cing Cing Mong dari Solo, Jawa Tengah, misalnya, pernah memainkan naskah Orkes Madun karya Arifin C. Noer. Pertunjukan Cing Cing Mong trengginas. Interaksi musik yang “slebor” dengan keterampilan memainkan boneka, juga tafsir yang kocak atas bagaimana boneka memerankan tokoh-tokoh Arifin, menjadi dialektika penuh ketidakterdugaan.
Papermoon Puppet Theatre dari Yogyakarta lain. Mereka menciptakan karakter-karakter boneka dengan ekspresi sendu. Mereka membuat boneka-boneka dengan pemiuhan anatomi tapi secara visual berkarakter kuat. Mereka memainkan naskah-naskah sendiri yang imajinatif dan mengambil lokasi bekas pabrik batik sampai toko barang antik. Akan halnya pertunjukan boneka Den Kisot yang disajikan Endo Suanda beberapa waktu lalu menyegarkan karena menciptakan boneka-boneka dengan bertolak dari kisah Don Quixote karya Miguel de Cervantes, tapi atmosfer boneka-boneka ini ditempatkan dalam aura gamelan dan lelucon Sunda. Boneka Den Kisot, misalnya, dengan tombak sempat beradu gelut pencak silat melawan seorang pengrawit.
Komunitas Sakatoya sesungguhnya bukan kelompok khusus teater boneka. Komunitas ini adalah kolektif seni di Yogyakarta yang banyak memproduksi teater berkaitan dengan isu-isu ekologi. Terakhir di Salihara pada 2021 mereka menyuguhkan Happy Family, pertunjukan teater dengan interaksi langsung lewat media sosial. Mengangkat perjalanan Amongraga ke dalam teater boneka tak syak memunculkan banyak pilihan. Dalam perjalanannya, Amongraga banyak mengalami hal gaib sampai erotis. Bagian-bagian mana yang akan diangkat, apalagi bila pertunjukan ini juga terutama ditujukan kepada anak-anak, tentunya menjadi pertimbangan. Boneka-boneka yang digunakan adalah hasil kolaborasi Komunitas Sakatoya dengan perupa Ugo Untoro. Betapapun demikian, karakter boneka-boneka itu sama sekali tak mengingatkan pada sosok-sosok deformasi manusia khas dalam lukisan Ugo Untoro sebagaimana selama ini.
Pentas Komunitas Sakatoya Yogyakarta yang menyuguhkan teater boneka dari kisah Among Raga dalam Serat Centhini, di Galeri Salihara, Jakarta, 27 Agustus 2022. Salihara/Witjak Widhi Cahya
Mengawali pertunjukan, penonton tidak langsung diperkenankan masuk ke ruangan. Penonton dipersilakan memasuki lobi ruang tunggu Salihara dulu. Di situ terdapat meja-meja panjang yang ditata seperti dalam pesta perjamuan. Di meja disajikan gelas-gelas jamu sinom. Dalam buklet kecil yang dibagikan kepada penonton, adegan itu dikatakan menyimbolkan sebuah pesta di Desa Wanamarta. Jamu sinom melambangkan sangkan paraning—manusia harus kembali ke Tuhan dalam fitrah yang suci. Di depan setiap baris meja, para dalang memperkenalkan boneka Jayengresmi. Jayengresmi diceritakan mencari kedua adiknya, Jayengrana dan Niken Rancangkapti. Mereka bertiga adalah putra-putri Sunan Giri.
Dalam kisah Centhini, kawasan Keraton Giri diserbu oleh pasukan Pangeran Pekik dari Surabaya yang merupakan ipar Sultan Agung, penguasa Mataram. Ketiga kakak-adik itu tercerai-berai. Jayengrana dan Niken Rancangkapti lari, tapi tak bersama sang kakak sulung Jayengresmi yang ditemani dua abdi setianya, Jamal dan Jamil. Jayengresmi kemudian menjelajahi Jawa Timur, Jawa Tengah, sampai Jawa Barat mencari adik-adiknya. Dalam perjalanannya yang penuh peristiwa magis, Jayengresmi berubah menjadi Amongraga. Di ruang tunggu Salihara, para dalang kemudian mengajak penonton bersulang meminum jamu dan setiap baris penonton lantas diminta mengikuti pemandu yang membawa masuk ke ruang pertunjukan utama mengikuti perjalanan Amongraga.
Di sana kita mendapat tiga tempat pertunjukan, masing-masing dengan tirai tertutup. Para penonton masuk sesuai dengan arahan pemandu masing-masing. Ketiga tempat bertirai itu menyuguhkan pertunjukan yang berbeda. Penonton di satu tempat hanya dapat mendengar teriakan-teriakan dan juga pekikan-pekikan dalang di tempat lain. Mungkin secara bergiliran setiap kelompok penonton di balik setiap tirai menyaksikan adegan-adegan pertarungan Amongraga berjibaku melawan peri gua sampai perkelahiannya untuk menumpas demit hutan. Boneka sosok Amongraga di setiap adegan berbeda. Dalam buklet dijelaskan sosok Amongraga tak pernah pasti, berubah seiring dengan peristiwa yang dialami.
Secara menarik Komunitas Sakatoya mengemas variasi ruangan, tapi para dalang yang memainkan boneka-boneka dengan tali bak marionette sesungguhnya tak terlalu tangkas. Tak ada adegan pertarungan Amongraga yang mengesankan. Keterampilan para dalang memainkan perkelahian Amongraga masih kalah jauh, misalnya, dibanding standar dalang-dalang wayang potehi antara lain saat memainkan adegan perang Sin Jie Kwie. Timbul pertanyaan, mengapa adegan mesti dibagi ke tiga ruangan? Bukankah bila disatukan pun tak mengganggu? Apakah ini sekadar gimik? Tapi tiba-tiba, saat penonton memikirkan hal itu, tiga tirai yang tertutup runtuh bersamaan. Dan ruang pertunjukan di Salihara yang sesungguhnya langsung muncul. Penonton sudah duduk dari tiga arah berbeda. Agaknya kejutan ruang ini yang direncanakan Komunitas Sakatoya.
Kemudian dalam ruang pertunjukan sesungguhnya kita melihat adegan yang langsung menjurus ke akhir cerita. Amongraga yang masih terus mencari kedua saudaranya bertemu dengan aneka makhluk. Tidak dimunculkan secara khusus adegan percintaan Amongraga dengan Tembang Raras, kekasih Amongraga jelmaan peri. Dalam kisah Centhini diceritakan Amongraga dan Tembang Raras melewatkan 40 malam pertama pengantin tanpa bersetubuh. Selama 40 malam Amongraga hanya memberi wejangan spiritual kepada Tembang Raras. Dan justru Centhini, pembantu mereka, yang mendengarkan wejangan itu.
Adegan langsung meloncat pada saat Amongraga dipapah masuk ke kurungan. Adegan ini tak didahului, misalnya, pengadilan terhadap Amongraga oleh para ulama. Dalam Serat Centhini, seusai persetubuhan yang baru dilakukan sesudah 40 malam itu, Amongraga meninggalkan sang istri untuk mengembara mencari Allah. Ia mendirikan sebuah padepokan di pantai selatan Mataram. Santrinya ribuan pria dan wanita. Namun para santri menerima ajaran yang terlalu tinggi sehingga “gila”. Syekh Amongraga akhirnya dihukum mati oleh para ulama Mataram. Ia ditenggelamkan di laut, ke dasar samudra.
Komunitas Sakatoya meletakkan potongan kepala, kaki, dan tangan boneka Amongraga di depan penonton. Dikisahkan, dengan badan halus, Amongraga kembali mengembara. Sebuah klimaks yang liris. Hanya, andai adegan ditambahi duduk persoalan penghukuman Amongraga, pertunjukan ini akan lebih jelas.
Dalam khazanah Jawa, kisah Amongraga paralel dengan kasus Syekh Siti Jenar atau Malang Sumirang yang dihukum para ulama karena menyebarkan ajaran tinggi makrifat yang tak dimengerti dan membuat bingung orang awam. Komunitas Sakatoya, yang disutradarai B.M. Anggana, lebih memusatkan pertunjukan ke trik ruangan daripada hal penting itu. Penonton diandaikan sudah mengerti akan kisah ulama versus Amongraga dalam Centhini.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo