Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jakarta - Sudah tiga hari ini dinding perahu milik Sulthon mengering. Tak tercium lagi bau solar yang menyengat. Perahu ditambatkan begitu saja di pesisir pantai Desa Banyuurip, Kecamatan Ujungpangkal, Gresik, Jawa Timur. Padahal biasanya biduk berukuran 2 gross tonnage (GT) ini basah percikan air laut.
Rata-rata 20 kilogram kerang laut mengisi lambung perahu untuk dibawa pulang ke daratan. Kadang ada juga tangkapan lain seperti rajungan. Dengan hasil tangkapan ini, dia bisa membawa pulang Rp 100 ribu bersih setiap hari.
"Tapi memang sekarang keadaan agak sulit," kata Sulthon saat dihubungi, Kamis, 21 Oktober 2021.
Sejak 12 Oktober lalu, Sulthon dan beberapa nelayan lain di Desa Banyuurip mulai kesulitan membeli solar bersubsidi di pengecer. Stok di pengecer pun, kata dia, mampat. Solar diburu sampai ke daerah perbatasan Gresik dan Lamongan.
Kondisi serupa dialami nelayan wilayah tetangga, Desa Campurrejo, Kecamatan Panceng, Gresik. Nelayan di sana, Solihun, bercerita sudah tak melaut selama lima hari akibat kelangkaan solar.
"Mau beli di SPBU terdekat, kuotanya juga dibatasi. Belum lagi kalau dapat harus mengantre panjang. Kalau harus nyari keluar, stoknya kosong," ucap Solihun.
Tak hanya di Gresik. Kelangkaan solar juga dirasakan nelayan di Belawan, Kota Medan. Basir, nelayan di Belawan, mengatakan kekurangan stok ini sudah terjadi selama setahun terakhir.
Sehari-hari, Basir dan beberapa nelayan di sana membeli bahan bakar dari stasiun pengisian solar alias solar pack dealer nelayan (SPDN) di Badan Deli, Belawan. Masalahnya, kuota yang dijatah untuk SPDN hanya 32 ton per bulan. Sedangkan kebutuhan nelayan bisa 20 sampai 25 ton per hari.
Ia menyebut masalah ini sudah disampaikan ke pejabat berwenang di Pemerintah Kota Medan. Tapi belum ada perubahan sampai hari ini. Solar masih sulit dicari. "Payah kami belinya," kata dia.
Kelangkaan Solar
Dalam beberapa hari terakhir, masalah kelangkaan solar bersubsidi ini muncul serempak di berbagai daerah di tanah air. Di Sumatera Utara pada 16 Oktober misalnya. Tak hanya solar bersubsidi yang stoknya kurang. Pertalite juga sedikit.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Salah satu penyebabnya adalah kapal pengangkut BBM dari Singapura terlambat akibat antrean di pelabuhan. Kondisi yang sama terjadi di Riau sampai Sulawesi Utara.
Walhasil, sejumlah kelompok masyarakat yang berhak menerima solar bersubsidi pun kena imbasnya. Nelayan termasuk di antaranya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketua Harian Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia Dani Setiawan menerima keluhan dari para nelayan yang sulit mendapatkan solar untuk melaut. "Laporan masih dari Sumatera Utara, Jawa Tengah, Jawa Timur, sampai Lombok," kata dia.
Secara aturan, para nelayan seperti Sulthon yang punya perahu 2 GT adalah salah satu penerima solar bersubsidi. Ketentuan ini tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014. Dalam lampiran beleid ini disebutkan bahwa salah satu masyarakat yang berhak menerima solar bersubsidi adalah nelayan dengan ukuran kapal maksimal 30 GT.
PT Pertamina Patra Niaga membenarkan ada kekurangan stok di sejumlah daerah. Menurut mereka, kondisi ini terjadi bersamaan dengan pelonggaran kebijakan PPKM. Permintaan di masyarakat naik.
“Bahkan untuk solar subsidi konsumsi harian sejak September mengalami peningkatan 15 persen dibandingkan rerata harian di periode Januari sampai Agustus 2021," kata Pjs. Corporate Secretary PT Pertamina Patra Niaga Irto Ginting.
Setidaknya, ada tiga daerah yang mengalami kenaikan signifikan terkait permintaan solar dalam catatan Pertamina. Mulai dari Sumatera Utara 3,5 persen, Sumatera Barat 10 persen, dan Riau 15 persen.
Himpunan Wiraswasta Nasional Minyak dan Gas (Hiswana) yang merupakan asosiasi peritel BBM membenarkan adanya kenaikan permintaan solar. "Sudah satu dua minggu belakangan ini permintaan naik," kata Ketua Hiswana wilayah DKI, Jawa Barat, dan Banten, Juan Tarigan.
Tapi di daerah ini, secara umum pasokan solar bersubsidi masih normal. Ada satu dua SPBU yang kekurangan pasokan, tapi lebih karena keterlambatan pengiriman. Sehingga secara umum, kata dia, tidak ada antrean pembelian solar bersubsidi di daerah ini.
Pertemuan BPH Migas
Akibat rentetan kejadian tersebut, Badan Pengatur Hilir Migas (BPH Migas) duduk bersama dengan Pertamina Patra Niaga dan juga PT AKR Corporindo, Tbk pada Selasa, 19 Oktober. Pertamina Patra Niaga dan AKR Corporindo merupakan perusahaan penyalur BBM bersubsidi.
Hasil pertemuan tersebut, BPH Migas memberikan kewenangan kepada keduanya untuk mengatur ulang jatah solar bersubsidi antara daerah. Mana yang berlebih, akan digeser ke yang kurang.
Dalam situasi normal, Pertamina sebenarnya tidak bisa begitu saja mengubah kuota solar bersubsidi antar wilayah. Kalaupun diubah, harus melewati proses verifikasi dari BPH Migas.
Tapi dengan adanya kelonggaran tersebut, Pertamina bisa langsung menyesuaikan kuota solar bersubsidi. Meski demikian, semua proses ini akan tetap dikoordinasikan dengan BPH Migas.
Strategi ini diambil agar kelangkaan solar di beberapa daerah saat ini bisa segera teratasi. "Kondisinya mendesak," kata anggota komite BPH Migas, Saleh Abdurrahman.
Walau Pertamina diberikan kewenangan baru, jatah solar bersubsidi secara nasional tahun ini tetap tidak berubah yaitu 15,8 juta kiloliter (KL). Pertamina hanya bisa mengutak-atik distribusi solar sepanjang tidak melebihi angka tersebut.
Sebab dalam pengamatan BPH Migas, stok solar bersubsidi nasional sebenarnya dalam kondisi aman. Kondisi di Terminal Bahan Bakar Minyak (TBBM) juga aman dan kilang minyak berjalan baik. Hanya saja, masalah terjadi karena kenaikan permintaan dan perbedaan stok antar daerah.
Meski proses penyesuaian kuota sedang berjalan di Pertamina, Saleh menyebut keadaan di beberapa daerah sudah mulai berangsur normal. Kemarin dia baru saja terbang dari Jakarta ke Medan memantau stok solar bersubsidi. "Keadaan sudah membaik," kata dia.
Adapun terkait kelangkaan stok solar di Gresik seperti yang dialami Sulthon, Saleh menyebut masalah ini bisa segera dilaporkan ke Pertamina. "Bisa segera disampaikan, ada hotlinenya," kata dia.
Di sisi lain, Pertamina langsung gerak cepat setelah duduk bersama BPH Migas. Mereka kini memetakan kembali kuota per kabupaten karena sudah diberikan kewenangan. "Terima kasih kepada BPH yang telah memberikan relaksasi tersebut," kata Irto.
Di saat yang bersamaan, Pertamina memberikan informasi kepada para peritel BBM seperti di Hiswana agar tetap menyediakan solar bersubsidi di masyarakat sesuai kebutuhan. "Sudah ada sosialisasinya beberapa hari yang lalu dari Pertamina," kata Juan.
Penimbunan dan Kebocoran
Tapi kenaikan permintaan akibat pelonggaran PPKM hanya satu soal di balik kelangkaan solar bersubsidi. Soal lainnya yaitu masih maraknya aksi penimbunan dan kebocoran solar bersubsidi.
Hingga Oktober, Pertamina sudah menutup 91 SPBU di seluruh tanah air dan diberikan sanksi penghentian suplai dan penutupan sementara.
"Penyelewengan yang dilakukan misalkan adalah transaksi yang tidak wajar, pengisian jeriken tanpa surat rekomendasi, dan pengisian ke kendaraan modifikasi,” kata Irto.
Lalu pada 18 Oktober lalu, Pertamina dan Direktorat Polisi Perairan (Ditpolair) Badan Pemelihara Keamanan (Baharkam) Polri menggerebek gudang penampungan ilegal solar bersubsidi di Kecamatan Bergas, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah.
Ini hanya satu satu serangkaian kasus yang penyelewengan solar bersubsidi. Sepanjang 2020 hingga 2021, Pertamina mencatat ada 5 penangkapan penyalahgunaan solar nersubsidi oleh jajaran Polri lainnya mulai Polsek, Polres hingga Bareskrim di wilayah Sumatera Utara, Aceh, dan Sumatera Barat.
Selain penimbunan, ada dugaan kebocoran kepada penerima yang tidak berhak membeli solar bersubsidi. Salah satu yang jadi sorotan BPH Migas adalah kendaraan logistik di daerah tambang dan perkebunan sawit.
"Saya bilang kita cermati ya, bukan curigai. Kita cermati bahwa kendaraan-kendaraan itu tidak sepatutnya mengisi di SPBU," kata Direktur Badan Bakar Minyak, BPH Migas, Patuan Alfon Simanjuntak.
Sebab, kendaraan tambang dan sawit ini bukan penerima solar bersubsidi, sesuai Perpres 191. Sehingga, kendaraan tambang dan kebun sawit ini dilarang membeli solar bersubsidi di SPBU.
Mereka sudah punya tangki sendiri di dalam area tambang atau kebun sawit, yang dibeli langsung perusahaan dan berisi solar non subsidi. Solar ini yang kemudian dipakai untuk kebutuhan operasional, seperti traktor dan yang lainnya.
Alfon tidak merinci langsung kasus dan temuan persisnya di lapangan. Ia hanya mengatakan bahwa BPH Migas telah memberi perintah khusus kepada Pertamina menangani hal ini. "Kalau kedapatan, kami minta menertibkan mitranya, SPBU itu," kata dia.
Bukan hanya Alfon, Saleh pun menyoroti dugaan pembelian solar bersubsidi oleh kendaraan pengangkut hasil tambang dan sawit ini di SPBU, yang melanggar aturan. "Kami sudah minta seluruh jaringan Pertamina agar diperketat," kata dia.
Saat dikonfirmasi, Irto belum mengetahunya. "Saya belum dapat laporan terkait hal tersebut," kata dia. Tempo menghubungi Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Joko Supriyono sejak kemarin. Tapi hingga berita diturunkan dia belum merespons.
Di luar itu, Saleh menyoroti peluang kebocoran solar bersubsidi ke pembeli yang tidak berhak menerimanya. Ia mengingatkan bahwa solar ini barang subsidi yang memang sudah ada batasan alokasinya.
Sehingga, masyarakat yang mampu dan bukan penerima sudah seharusnya tidak memanfaatkan solar bersubsidi ini. Mereka bisa membeli produk lain di SPBU seperti Dex Lite. "Ini yang kami terus sosialisasikan," kata dia.
Tapi semua langkah yang dilakukan BPH Migas dan Pertamina ini masih berproses. Di Desa Banyuurip, Sulthon dan teman-teman nelayan yang lain masih menunggu pasokan solar kembali normal.
Semalam, Sulthon dan para nelayan berkumpul karena ada sedikit stok solar dari pengecer di desa. Karena jumlahnya tak banyak, akhirnya banyak nelayan yang mengalah dan memberikan jatah ke rekan yang lain.
Sulthon termasuk yang mengalah. Dia memilih menunggu datangnya stok solar baru dari pengecer. "Sebagai ketua, saya mengalah," kata Ketua Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Gresik ini.
Direktur Pusat Studi Kebijakan Publik (Puskepi) Sofyano Zakaria mengatakan, sudah saatnya pemerintah mengkoreksi harga jual BBM jenis solar bersubsidi hingga rentang harga jualnya dengan solar non subsidi tidak terlalu jauh.
"Idealnya rentang harga jual solar subsidi dan non subsidi maksimal Rp 1.000 per liter agar tidak jadi incaran untuk disalahgunakan. Sementara sekarang terlalu jauh, yakni Rp 5.150 per liter untuk solar subsidi, dan Rp 9.500 per liter untuk solar non subsidi," kata Sofyano Zakaria dalam keterangan tertulisnya kepada ANTARA.