Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Kalau Saja Kapolres Mendengarkan Saya

27 Juli 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INSIDEN berdarah pecah di Kabupaten Tolikara, Papua, Jumat dua pekan lalu. Kerusuhan terjadi ketika ratusan peserta Seminar dan Kebaktian Kebangunan Rohani Internasional yang diselenggarakan Gereja Injili di Indonesia (GIDI) mencoba membubarkan sejumlah warga yang sedang melaksanakan salat Idul Fitri di lapangan Komando Rayon Militer Tolikara.

Peristiwa yang menyebabkan terbakarnya sejumlah rumah, kios, dan Masjid Baitul Muttaqin itu, menurut Bupati Tolikara Usman G. Wanimbo, terjadi karena kelalaian petugas kepolisian. Dia mengaku sudah menyarankan Kepala Kepolisian Resor Tolikara Ajun Komisaris Besar Soeroso menggelar salat Id di musala. "Tapi tidak dilaksanakan," katanya kepada Maria Hasugian dari Tempo dalam dua kali wawancara pada pekan lalu.

Mengapa terjadi rusuh?

Saya berangkat ke Jakarta pada Minggu pagi, lima hari sebelum kerusuhan. Senin keesokan harinya, lewat telepon, kepada Ajun Komisaris Besar Soeroso, saya mengatakan menerima surat dari pengurus GIDI Wilayah Tolikara. Isi surat itu tentang larangan salat Idul Fitri di Tolikara. Pengurus GIDI minta salat Id dilakukan di Wamena atau Jayapura. Alasannya agar jangan sampai terjadi sesuatu. Mahasiswa peserta Seminar dan KKR Internasional, yang merasakan penutupan gereja di luar Papua, kecewa. Itulah yang menjadi alasan terbit surat pengurus GIDI Wilayah Tolikara tertanggal 11 Juli 2015. Saya meminta surat itu diralat. Isinya ibadah salat Id boleh di Karubaga tapi di musala. Saya sampaikan itu ke Kapolres.

Mengapa salat Id hanya boleh di musala?

Supaya tidak menimbulkan persoalan. Kalau salat Id di luar, apalagi pakai pengeras suara, tidak boleh. Warga muslim tahu itu. Itu sudah baku dan berlangsung dari tahun ke tahun. Saya sarankan ke Kapolres, tapi tidak dilaksanakan.

Kapolres memberi tahu Anda tentang perubahan lokasi salat?

Dia tidak kasih tahu saya, tak ada komunikasi sampai peristiwa itu meledak.

(Kepada Tempo, Soeroso mengaku tahun-tahun sebelumnya salat Id selalu digelar di lapangan karena kapasitas musala tidak mencukupi. Itu alasannya dia memberi jaminan keamanan.)

Seharusnya apa yang dilakukan jika salat Id pindah tempat?

Untuk salat Id di markas Koramil, izin ke Komandan Distrik Militer. Saya tahu ada kegiatan di situ walau tidak ada surat pemberitahuan ke saya. Sedangkan jumlah pemuda GIDI membeludak, sekitar 2.000 orang, yang ikut seminar. Yang ke lokasi salat Id untuk menghentikan pengeras suara sekitar 150 orang. Karena bunyi terus, hendak mereka rampas. Lalu terdengar letupan senjata. Mahasiswa melempar batu, membubarkan mereka.

Kapolres ikut salat Id?

Ya, Kapolres ikut salat. Kapolres sebagai pelaksana keamanan. Dia hadir, kok, justru terjadi masalah.

Lalu di mana Anda saat rusuh terjadi?

Saya tidur di ruang kerja jam tiga pagi.

Bagaimana Anda tahu ada rusuh?

Saya dengar pengeras suara, ada yang aneh. Ternyata ada salat Id. Saya kaget, tidak pernah begini. Anak-anak sudah ribut. Saya lari ke lokasi salat Id. Saya masih pakai piama.

Anda melihat polisi tidak dipersenjatai saat itu seperti penjelasan Kapolres?

Benar. Tapi, kalau saya buka lagi, lebih rusak.

Apa maksud lebih rusak?

Tidak dipersenjatai, terus bunyi senjata dari mana? Aparat Koramil tidak ada yang keluar, hanya menjaga kompleks Koramil.

(Soeroso mengaku massa tidak lagi mengindahkan Bupati dan Kapolres. Sesuai dengan prosedur, dia memerintahkan tembakan peringatan.)

Arah tembakan dari mana?

Saya tidak tahu. Kapolres juga ada di situ.

Papan nama menyebut bangunan itu masjid. Sebenarnya itu masjid atau musala?

Ya itulah, mereka itu mendapat izin di mana. Ada SKB tiga menteri, yakni harus ada izin dari tokoh masyarakat.

Jadi Anda baru tahu setelah terjadi kerusuhan?

Ya, baru tahu setelah kerusuhan bahwa itu masjid. Padahal peraturan daerah melarang berdirinya masjid di sini.

Peraturan daerah itu sudah resmi berlaku?

Rancangan perda itu pernah disahkan DPRD. Tapi perlu konsultasi gubernur. Gubernur setuju membawa ini ke Jakarta. Mekanismenya, perlu pengesahan Menteri Dalam Negeri agar berlaku definitif. Setelah itu, dikembalikan ke daerah jika sudah disahkan di Jakarta. Kemudian baru bupati bisa mengeluarkan peraturan bupati tentang perda itu dalam bentuk keputusan bupati. Tapi, hingga sekarang, prosesnya belum berlanjut.

Kenapa ada perda yang tidak toleran?

Karubaga tempat khusus umat GIDI. Supaya sejarah lahir GIDI tidak dikotori. Kami tidak boleh menghilangkan ciri khas. Kenapa Aceh dibiarkan begitu (pemberlakuan syariah)? Kenapa pemerintah pusat tidak menghormati masyarakat di sini?

Di Seminar dan KKR Internasional yang diselenggarakan GIDI, Anda menjadi ketua panitia. Apa peran Anda?

Pada 15 Juli, saya tidak ikut pembukaan karena saya dengan Pak Kapolres ke kampung di Distrik Panaga dan Gika. Penduduk Gika menyerang Panaga. Semua kampung di Panaga habis. Tapi hasil pembicaraan kami di Jakarta tidak berlanjut (mengenai surat ralat). Kalau saja Kapolres mendengarkan saya, melaksanakan salat Id di musala. Mungkin ponselnya rusak.

Apakah Anda tak melihat ada yang mencurigakan sebelum kejadian?

Saya dalam kondisi tidak hati-hati, sibuk. Saya ke Jakarta mengurus anggaran. Saya betul-betul tidak teliti.

Kapolres mengatakan Seminar dan KKR Internasional GIDI belum mengurus izin ke Markas Besar Kepolisian RI.

Sebenarnya bukan kami yang minta izin, melainkan pengurus pusat GIDI. Kantor pusat GIDI di Sentani yang mengurus.

Anda mengecek izin ini ke GIDI pusat?

Mereka bilang izin sudah ada. Tapi belum saya terima sebagai ketua panitia. Yang saya pegang izin ada dari Polda, bukan dari Mabes Polri. Pak Soeroso benar, prosedurnya memang begitu.

Bagaimana Anda menilai surat edaran pengurus GIDI Wilayah Toli? Asli atau palsu?

Surat itu betul ditandatangani Pendeta Marthen Jingga (Sekretaris Badan Pekerja GIDI Wilayah Toli). Tapi tanda tangan Pendeta Nayus Wenda (Ketua Badan Pekerja GIDI Wilayah Toli) palsu.

Bagaimana Anda tahu itu palsu?

Dia mengaku kepada saya.

Bagaimana Anda merakit kembali kerukunan beragama di Tolikara?

Fokusnya membangun kabupaten yang religius. Makanya, saat peletakan batu pertama pembangunan musala, saya tidak kasih tahu gereja demi kepentingan dan keamanan nasional.

Bukankah itu justru menimbulkan masalah baru?

Itu bukan hal baru. Dari dulu sudah ada musala, tapi kami diam saja. Saya juga menyumbang sapi dan bantuan uang untuk warga muslim.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus