Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SIDANG otokritik di kantor Harian Rakjat itu masih lekat di ingatan Amarzan Ismail Hamid. Kala itu dia harus menghadapi seluruh jajaran redaksi lantaran menyalahi aturan kantor karena melampaui batas cuti untuk pulang ke Medan pada September 1964. Cuti yang diajukan dua minggu diterabasnya hingga dua bulan. ”Saya harus mengakui kesalahan,” kata mantan wartawan Harian Rakjat itu kepada Tempo, Selasa pekan lalu.
Toh, Pemimpin Redaksi Njoto tak peduli terhadap sidang yang baru dijalani Amarzan. Dia malah mengirim Amarzan ke Tiongkok untuk memenuhi undangan liputan Perayaan 15 Tahun Republik Rakyat Cina. ”Kalau dia (Njoto) sudah sayang, aturan bisa dilangkahi,” kata Amarzan.
Padahal delegasi yang dikirim ke Tiongkok bukanlah delegasi biasa karena inilah delegasi pertama dan terakhir dari Harian Rakjat. Mereka yang berangkat menghadiri perayaan itu merupakan orang-orang terpilih, seperti Wakil Ketua Harian Rakjat M. Naibaho, Redaktur Luar Negeri Juliarso, Redaktur Dalam Negeri Samtiar, dan Redaktur Olahraga Baroto. ”Dia memang orang yang pilih kasih,” kata Amarzan.
Ketika digelar Games of the New Emerging Forces (Ganefo)—ajang olahraga tandingan Olimpiade ciptaan Presiden Soekarno—redaksi membentuk tim untuk meliputnya. Ternyata yang meliput harus mengenakan dasi dan jas. Tak ada yang punya dasi. Walhasil, redaksi meminta Njoto meminjamkan dasinya. Tak berapa lama datanglah Hardono, pengawal Njoto, yang menyerahkan beberapa dasi kepada tim redaksi. Tiba-tiba Hardono memanggil Amarzan dan memberinya satu ikat dasi. ”Untuk Bung,” kata Ardono, ”khusus dipilih Bung Njoto.” Dasi itu buatan Italia, sedangkan yang lain bermerek Shanghai. ”Yang seperti saputangan,” kata Amarzan tertawa.
Perlakuan istimewa juga pernah dirasakan Umar Said. Ketika menjadi wartawan Harian Rakjat, dia pernah ditawari Njoto untuk memimpin sebuah surat kabar di Padang, Sumatera Barat, pada 1956. Ketika itu sedang terjadi ketegangan politik menentang berbagai kebijakan pemerintah pusat hingga memunculkan suara-suara anti-Bung Karno dan anti-Partai Komunis Indonesia. ”Padahal pengalaman saya menjadi wartawan baru lima tahun,” kata Umar, yang saat itu berusia 26 tahun dan belum menikah.
Menurut mantan Pemimpin Harian Ekonomi Nasional ini, tak mudah ”memasuki” daerah Minangkabau, karena sebelumnya dia bekerja di Harian Rakjat, organ sentral PKI. Ditambah lagi dia berasal dari Jawa Timur, yang merupakan ”orang luar” bagi masyarakat Minang. Rupanya Njoto sudah mengantisipasi kekhawatiran Umar. Dia menyarankan Umar bertemu dengan Bachtarudin, anggota Comite Central PKI yang terkenal di Sumatera Barat karena perjuangannya di zaman revolusi 1945. Karena nasihat itu, Umar dapat memimpin Harian Penerangan sampai 1960.
Sikap pilih kasih, menurut Amarzan, menjadi salah satu kelemahan Njoto. ”Ini menimbulkan iri hati,” katanya. ”Tapi saya tidak tahu adakah orang yang dia benci,” katanya. Namun, menurut Jane Luyke, tidak ada masalah dengan sikap Njoto yang pilih kasih ini. ”Kalau soal pilih-pilih teman, bukan Njoto saja,” ujar istri Oey Hay Djoen ini. ”Kita juga begitu (pilih-pilih teman).”
Bagi Jane, mengenal Njoto menimbulkan sebuah kekaguman tersendiri. ”Dia itu serbabisa dan serba-mengetahui,” katanya. Senada dengan Jane, orang-orang yang pernah dekat dengan Njoto, seperti Amarzan, Umar Said, Joesoef Isak, dan Oey Hay Djoen, juga menangkap kesan yang sama. Buat mereka, Njoto ahli di berbagai bidang, mulai urusan politik, seni, olahraga, hingga tempat-tempat yang menyajikan makanan lezat.
Nama Njoto, menurut Amarzan, tidak mencerminkan penampilannya. Mulanya, Amarzan tak percaya bahwa Njoto adalah orang yang pintar. ”Soalnya, ini nama Jawa yang paling jelek,” katanya. Foto Njoto ketika itu, menurut dia, juga tak menggambarkan orang yang camera face. Ternyata, setelah bertemu langsung dengan Njoto pada 1962 dalam Konferensi Nasional Lekra di Bali, barulah Amarzan mengaguminya. ”Ternyata orangnya tahu banyak hal,” katanya. ”Dan lebih ganteng dari fotonya.”
Tak hanya berpengetahuan luas, bagi Joesoef Isak, prestasi Njoto pun sangat mengagumkan. Kepiawaiannya di bidang politik sudah tecermin sejak muda. Misalnya, ketika masih berusia 16 tahun, Njoto sudah bergabung dengan Komite Nasional Indonesia Pusat. Di usia itu pula dia didapuk menjadi Ketua Fraksi PKI di parlemen. Padahal syarat menjadi ketua fraksi minimal berusia 18 tahun. ”Dia itu jenius,” ujar pendiri penerbit Hasta Mitra itu.
Joesoef menyayangkan cerita tentang Njoto yang simpang-siur pasca-1965. ”Jangan gambarkan Njoto itu PKI yang keras kepala dan doktriner,” ujar Joesoef. ”Dia sangat manusiawi sekali.”
Joesoef mencontohkan, sebelum 1965, semua orang berebut kuota naik haji karena ketika itu tak sembarang orang bisa berangkat ke Mekkah, walau punya uang. Teman Joesoef, Tom Anwar, wartawan Bintang Timur, mengatakan ibunya yang berusia 60 tahun ingin naik haji tapi tak juga dapat. Tanpa sengaja Tom menyampaikan keluh-kesahnya kepada Njoto. Njoto kemudian mengusahakan satu jatah untuk ibu Tom. Berkat upaya Njoto, ibunda Tom bisa naik haji.
Hal senada juga dikatakan Amarzan. Menurut dia, Njoto seperti bukan orang PKI. ”Karena hidupnya borjuis,” ujarnya. Sedangkan anggota PKI kebanyakan adalah puritan, misalnya tidak minum Bir dan tidak pacaran. ”Dia merepresentasikan PKI yang sama sekali berbeda,” katanya.
Pada saat tulisan Joesoef tentang Mozart mendapat pujian Njoto, Joesoef kemudian berniat mengetes pengetahuan Njoto tentang musik. Ketika mereka bertemu dalam sebuah resepsi di Kedutaan Ceko, Joesoef banyak bertanya kepada Njoto tentang Mozart. ”Dia menjelaskan kepada saya jauh dari pengetahuan saya,” kata Joesoef kagum. ”Dia betul-betul mengerti soal musik.”
Bukan saja mengetahui banyak hal tentang syair dan komponis, Njoto piawai pula memainkan alat musik. Joesoef mengatakan, ketika mereka masuk ke sebuah toko musik di Amsterdam, Belanda, ada penemuan baru berupa saksofon pada 1965. Njoto kemudian meminjam ritme kepada seorang penjaga toko dan memainkan saksofon itu. Di tempat yang sama, Njoto memainkan lagu keroncong dengan gitar listrik. ”Penjaga dan pengunjung toko terdiam melihat dia main,” kata Joesoef.
Menurut Joesoef, Njoto orang yang suka humor. Misalnya, ketika mampir di sebuah toko buku di Amsterdam, Njoto memilih membeli tiga buku lelucon miring yang setengah porno. Kemudian dia membagikan buku itu, ”Ini satu untuk Bung, satu untuk saya, dan satu untuk Bung Karno.”
Perbedaan sikap Njoto dengan anggota PKI lainnya diakui Jane. Sementara aktivis partai yang lain sibuk rapat dan meninggalkan istri serta anaknya di rumah, Njoto malah sering membawa istri dan anaknya ke mana-mana, misalnya ketika Njoto mengikuti diskusi atau melihat latihan drama di pusat kegiatan Lembaga Kebudayaan Rakyat di Jalan Cidurian, Cikini, Jakarta Pusat. ”Supaya setengah rekreasi,” kata Jane menirukan ucapan Njoto.
Setiap Ahad, Njoto sering mengajak keluarganya rekreasi ke Puncak, Jawa Barat. ”Sepulang dari jalan-jalan, dia bawa oleh-oleh sayur-sayuran,” kata Jane mengenang. Saking seringnya berekreasi, menurut dia, Njoto dijuluki Orang Kaya Baru. ”Tapi apakah orang PKI tidak boleh jalan-jalan ke Puncak?” Jane balik bertanya.
Jasa Njoto juga sangat terasa bagi suami Jane, Oey Hay Djoen. ”Aku dipungut lagi oleh Njoto,” kata Oey dalam video essay Mengenang Oey Hay Djoen, Juli 2008. Pada saat itu Oey kehilangan arah karena ditinggalkan teman-temannya lantaran baru dibebaskan dari penjara Lowok Waru, Malang, 1947. Dia ditahan Belanda karena dianggap ekstremis. ”Njotolah yang membesarkan Oey,” kata Jane. Njoto mengajak Oey menjadi pengurus Lekra dan anggota parlemen. ”Njoto memberikan tempat bagi Oey untuk berkarya,” ujar Jane.
Selain piawai di bidang politik, seni, dan olahraga, Njoto paham betul soal makanan. Tak hanya rasa, dia tahu di mana dan kapan tepatnya menyantap makanan tertentu. Njoto sering mengajak teman-temannya makan ayam goreng di Jalan Blora, bubur ayam di Senen, nasi gulai kambing di Jalan Gondangdia Lama, dan bakmi di Jalan Krekot, Jakarta Pusat. Adapun tempat makan yang dipilih Njoto untuk tamu resmi, yakni Restoran Red Table di kawasan Glodok, Jakarta Barat.
Pernah satu kali Amarzan makan bersama Njoto di sebuah restoran di Jalan Pintu Besi, Jakarta Pusat. Di situ, mereka memesan menu merpati goreng. Sambil menunggu pesanan, Njoto menjawil Amarzan dan mengatakan bahwa makan merpati itu paling enak di Shanghai. ”Saya tidak tahu, saya tidak pernah ke Shanghai,” jawab Amarzan. Mendengar itu, dengan enteng Njoto berkata, ”Kalau begitu, besok kau pergi ke Shanghai.” Adapun menu sup burung merpati, menurut Njoto, tidak cocok disantap pada siang hari. ”Sup itu cocok untuk makan malam, sebelum hidangan pokok,” kata Njoto.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo