Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JARAK Yogyakarta-Solo dilipat oleh Njoto dengan surat-surat panjang, lengkap dengan berbaris-baris puisi cintanya. Surat itu sering dikirimnya ke Soetarni, perempuan keturunan ningrat Keraton Surakarta, yang bermukim di Solo, pada 1950-an.
”Itu surat atau koran?” kata ayah Soetarni kala itu. Surat Njoto panjang-panjang, bahkan menurut Soetarni, kini 81 tahun, sampai puluhan halaman. Dari lembar-lembar itu lahirlah rasa tertarik yang pada akhirnya membuat dia menerima pinangan pemuda yang kemudian menjadi satu dari tiga serangkai tokoh Partai Komunis Indonesia itu. Sayang, surat-surat cinta itu turut musnah bersamaan dengan pecahnya peristiwa 30 September 1965 dan kocar-kacirnya keluarga Njoto.
Njoto dikenal sebagai politikus yang memiliki minat besar terhadap kesenian, sastra, dan musik. ”Dalam hal seni dan budaya, Njoto sangat kental. Setiap terbit buku baru, dia pasti mencarinya. Dan, dia tidak pernah tidak membaca majalah kebudayaan yang baru terbit,” kata Trikoyo, alumnus sekolah perwira angkatan darat Jepang yang turut membantu Njoto dan Dipa Nusantara Aidit menerbitkan Harian Rakjat dan Bintang Merah.
Trikoyo adalah putra Kiai Anom Dardiri Suromidjoyo, pemimpin Pondok Pesantren Naqsabandiyah di Kutoarjo, Jawa Tengah, yang dibuang pemerintah kolonial Belanda ke Boven Digul, Papua, pada 1926. Trikoyo, kini berusia 84 tahun, pernah 10 tahun mendekam di kamp tahanan Pulau Buru di masa Orde Baru.
Penulis cerita pendek ini sering mengobrol dengan Njoto, meski ia sudah tak ingat apa saja yang dibicarakannya. Ia cuma tak bisa melupakan minat sastra Njoto yang terbentang luas: dari buku karya pengarang Rusia seperti Nikolai Gogol dan Dostoevsky, hingga penulis yang ideologinya berseberangan. ”Dia juga suka karya H.B. Jassin. Dia juga tidak meremehkan dan selalu memuji tulisan Hamka,” katanya.
Svetlana Dayani, anak tertua Njoto, bercerita bahwa susunan koleksi buku ayahnya sampai ke langit-langit ruang kerjanya. Di rumah mereka di Jalan Malang, Menteng, Jakarta Pusat, ia sering melihat sang ayah menggunakan tangga untuk mencapai buku di rak tertinggi. ”Bahkan dia suka langsung membacanya di tangga itu,” kata Svetlana, yang baru berusia sembilan tahun ketika kerusuhan politik pecah pada 1965.
Njoto banyak membaca, rajin menulis. Kalau mendapat ide, kata Trikoyo, ia biasanya langsung menuangkannya lewat mesin ketik, dengan ”jurus 11 jari” alias hanya dengan telunjuk kiri dan kanan. Bila dalam perjalanan menulis itu muncul ide lain, dia akan mencabut kertas itu dan menggantinya dengan yang baru. ”Tulisan sebelumnya tidak dia buang, tapi nanti dia lanjutkan,” katanya.
Njoto suka menggunakan nama pena Iramani dalam tulisannya. Iramani adalah adik bungsu Njoto. Sejumlah puisi karya Njoto muncul dengan nama Iramani di Harian Rakjat, media resmi Partai Komunis Indonesia yang berkantor di Pintu Besar 93, Jakarta. Koran itu dipimpin Mula Naibaho, Njoto, dan Supeno. Itulah koran politik terbesar dengan oplah mencapai 23 ribu eksemplar pada 1950-1965.
September tahun lalu, sembilan puisi Njoto yang pernah muncul di harian itu diterbitkan kembali dalam sebuah buku. Gugur Merah: Sehimpunan Puisi Lekra, Harian Rakyat 1950-1965, buku puisi yang disusun Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan itu, berisi puisi Njoto berjudul ”Tahun Baru”, ”Catatan Peking”, ”Jangtoe”, ”Shanghai”, ”Merah Kesumba”, ”Variasi Haiku”, ”Variasi Cak”, dan ”Pertemuan di Paris”. Lima dari puisi itu mengangkat soal Cina dan ditulis dari negeri itu. Puisi ”Jangtoe” di bawah ini, misalnya, ditulis di Cungking-Wunan pada 14 Oktober 1959:
Jangse mengalir
Kepalku menghilir
Dari Cangking ke Wuhan
Kujelajahi haridepan
Kujelajahi haridepan
Itulah jenis puisi yang, menurut Amarzan Ismail Hamid, redaktur Harian Rakjat Minggu saat itu, lahir dari kekaguman. Kala itu orang Indonesia sulit sekali pergi ke luar negeri, tapi orang-orang PKI agak gampang karena sering diundang pemerintah Cina atau Rusia. Harian Rakjat Minggu diasuh oleh Amarzan, Njoto, Banda Harahap, Basuki Resobowo, Zubir A.A., dan Bambang Sukawati Dewantara. Nama yang terakhir adalah putra bungsu Ki Hajar Dewantara.
Meski Njoto adalah pemimpin redaksi harian itu, dia tampaknya sangat sibuk mengurusi politik, sehingga jarang muncul di kantor redaksi. Salah seorang redaktur pernah berkata, selama dua tahun dia bekerja di sana, Njoto hanya muncul sepuluh kali. Meski begitu, menurut Svetlana dan Iramani, Njoto sering mengajak mereka ke kantor Harian Rakjat untuk melihat proses pencetakan medianya. ”Kalau malam, pukul 9 sampai pukul 11 berada di kantor Harian Rakjat,” kata Iramani.
Njoto suka berbicara tentang sastra tapi tak terlalu serius. ”Misalnya ada cerita pendek Rusia yang baru terbit, dia ngomong sebentar, tidak sampai mendalam,” kata Amarzan, yang baru berusia 22 tahun ketika bergabung di media itu pada Juni 1963.
Harian Rakjat edisi Minggu itu secara rutin memuat sebuah cerita pendek dan beberapa puisi, hasil seleksi kiriman para pengarang kiri dan anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat atau Lekra. Dalam seminggu rata-rata ada lima pengirim cerita pendek dan 40 pengirim puisi. Setiap orang biasanya mengirim tiga puisi atau lebih, meski sesekali ada yang bahkan mengirim 20 puisi.
Pada masa itu puisi tumbuh subur di Jakarta. Penyair papan atas kala itu termasuk Banda Harahap, Sitor Situmorang, dan Agam Wispi dari kelompok kiri. Di luar itu ada pula Ramadhan K.H., Taufiq Ismail, Sapardi Djoko Damono, Rendra, Arifin C. Noer, Hartoyo Andangjaya, dan Budiman S. Hartoyo. Amarzan sendiri, dalam buku Keith Foulcher, Social Commitment in Literature and the Arts, disebut sebagai penyair Lekra yang paling penting.
Para penyair kiri umumnya mengirim puisi ke Harian Rakjat Minggu, meski bila dimuat mereka tak mendapat honor. Koran setebal empat halaman itu seakan menjadi standar dalam sastra. Puisi yang dimuat biasanya memenuhi dua aspek—istilah mereka, dua tinggi—yaitu tinggi ideologinya dan tinggi estetikanya. Di antara karya penyair Lekra, puisi Njoto tidak bisa dibilang bagus, meski bukan puisi yang buruk. Kualitasnya rata-rata.
Sebagian besar puisi karya penyair Lekra itu berupa propaganda, slogan, atau yang disebut sajak poster. Kebanyakan, aspek ideologi dalam sajak mereka, kata Amarzan, masih mentah, asal menyerang tuan tanah, kapitalis birokrat, atau Amerika. ”Sajak-sajak Njoto itu tinggi ideologi, tapi tidak berkibar-kibar. Kalau dibuat pemeringkatan di Lekra, dia pasti tidak masuk peringkat satu. Saya kira paling tinggi peringkat dua,” katanya.
Namun puisi Njoto lebih baik daripada sajak Aidit. ”Sajak Aidit itu jelek benar, sajak-sajak maksa,” kata sosok yang pernah membuat marah Aidit karena menolak memuat puisi karya pimpinan tertinggi PKI itu.
Asahan Aidit, adik bungsu D.N. Aidit, menilai Njoto benar-benar menguasai bidang yang digelutinya, termasuk sastra, terutama esai. ”Hal itu bukan otomatis begitu saja, tapi Njoto adalah juga seorang otodidak besar yang punya banyak perhatian dan banyak studi, termasuk di bidang sastra. Dia menguasai karena dia juga banyak studi, banyak membaca, dan dia mempunyai otak yang cerdas serta apresiasi sastra yang tinggi,” katanya melalui surat elektronik.
Aroma pamflet memang terasa dalam puisi seperti ”Catatan Peking” ini:
Alangkah hebat
di hati alangkah dekat!
kaum tani mengolah besi
kaum buruh di sawah berpeluh
bajak dan baja tukar-bertukar
mahasiswa pada pekerja
kaum pekerja menjadi siswa
berjuta milisia angkut senjata
siapa berani serang Sosialisme?
Njoto adalah orang yang menyusun piagam Lekra dan memperkenalkan slogan ”politik sebagai panglima”. ”Tanpa politik sebagai panglima, perkembangan kebudayaan pada umumnya dan sastra pada khususnya tidak bakal tahu tugas dan garis yang harus ditempuh, bisa terjadi demam kegiatan, tapi kenyataannya akan merupakan gerakan tanpa kemajuan,” kata dia di hadapan peserta Kongres Nasional Lekra pada 1951.
Namun, seperti kata Asahan, estetika Njoto tidak berhenti pada estetika pamflet atau pernyataan. Dia telah melampaui batas-batas yang dikurung oleh Lekra sendiri. ”Njoto adalah Lekra modern yang lebih universil di bidang kebudayaan, termasuk sastra. Sastra Njoto lebih demokratis dan lebih estetis serta lebih universil,” katanya. Hal ini tampak dalam sikap Njoto dalam tuduhan plagiarisme terhadap Tenggelamnya Kapal Van der Wijk karya Hamka. Njoto adalah orang yang menyarankan agar Lekra tidak ”menghancurkan” Hamka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo