UNTUK menangkap anak macan, Anda mesti punya nyali masuk ke
sarangnya," kata Tetsuya Theodore (Ted) Fujita. Buat laki-laki
kelahiran Jepang ini, pepatah leluhurnya tersebut sudah bukan
sekadar lambang keberanian yang menjadi bumbu kata-kata. Tapi
telah menjadi bagian hidup.
Bedanya, ia tidak masuk ke sarang macan dan menangkap anaknya.
Yang ia masuki adalah pusaran angin topan -- biasa dikenal
dengan nama Tornado. Berdasarkan hasil pemotretannya di lokasi,
Fujita bisa menyimpulkan bahwa satu pusaran Tornado mengandung
empat atau lima pelintiran angin puyuh yang memiliki tenaga
penghancur. Dan "anak" Tornado inilah yang dibuntuti Fujita
dengan menaiki pesawat terbang kecil. "Penerbangannya hampir
mencapai 30.000 mil, dan dalam ayunan lebih dari 250 topan,"
tulis Gary Taubes dalam majalah Discover terbitan Mei lalu.
Dalam salah satu pengelanaannya, Fujita sempat
mengidentifikasikan bentuk angin yang ganas dan mematikan
tersebut. Ia namai downburst -- sodokan mendasar. Selang
beberapa waktu kemudian ia menemukan versi kecil dari downburst
-- yang disebutnya microburst. Menurut Fujita, jenis terakhir
inilah yang sering menyebabkan kecelakaan udara di New York City
dan New Orleans.
Dengan gairah yang tak pernah pupus selama 30 tahun -- dengan
waktu kerja 18 jam setiap hari selama seminggu penuh -- Ted
Fujita telah melakukan studi dan menganalisa Tornado. Ahli
meteorologi dari Universitas Chicago, Amerika Serikat ini, oleh
koleganya, di juluki The Last of the Kamikaze dalam Perang Dunia
II lalu julukan ini diberikan pada penerbang berani mati Jepang.
Tanpa ekspresi Fujita menanggapi julukan itu. Yang kecut malah
istrinya, Sumiko. Wanita ini seperti sudah pasrah terhadap
kegiatan sang kamikaze yang keluar masuk sarang topan.
"Dulu, sewaktu kami merencanakan akan menikah, saya sudah
menekankan kepadanya tentang pentingnya pengertian terhadap
bahaya profesi saya," tutur Fujita. "Dia bilang, akan mencoba.
Pada saat saya terbang, istri saya memang tidak berteriak-teriak
memprotes, tapi sebenarnya ia tidak senang. Sudah dua kali ia
minta supaya saya berhenti saja. Dengan alasan, hal itu tidak
tercantum dalam kontrak perkawinan kami."
Tapi Fujita, 62 tahun, sudah tidak bisa meninggalkan profesinya.
Terpaksa Sumiko, yang kemudian sejak menetap di Amerika
dipanggil Susie, mengalah. Dan bila suaminya melesat menuju
Tornado, ia tak mau pergi ke mana-mana. "Saya tinggal di rumah,
dan menunggu," kata Susie. "Selama itu perasaan saya tak
menentu."
Tentu bukan lantaran keberaniannya saja yang membuat nama Fujita
mencuat sebagai ahli meteorologi. Tapi juga wawasannya yang
mendalam menghadapi teka-teki meteorologi telah menimbulkan rasa
kagum para koleganya. Bekas direktur Pusat Ramalan Cuaca
Nasional Allen Pearson, berkata tentang Fujita: "Ia adalah
seorang detektif meteorologi yang sanggup mengenali
gejala-gejala alam yang paling samar sekali pun."
Kualifikasi itu masih ditambahi lagi oleh John McCarthy, dari
Pusat Riset Atmosfir AS (NCAR), yang pernah bekerja sama dengan
Fujita dalam rangka studi downburst. Kata lohn: "Kemampuan
Fujita mengamati dan memadukan data tak ada tandingannya. Dengan
hanya melongok melalu jendela ia sudah bisa mengambil kesimpulan
-- yang bagi kami merupakan kerja berkepanjangan dan dengan
bantuan komputer."
Kadang kala Fujita, yang sering tampak mencetuskan
jawaban-jawabannya terhadap misteri alam secara serampangan itu,
bikin "kesal" sejawatnya yang lain. "Ted begitu saja menyodorkan
wawasan-wawasannya yang dahsyat itu," kata James Wilson, yang
juga dari NCAR. "Sering tampak prematur, sehingga membuat keki
banyak orang. Meski pada akhirnya ia banyak benarnya daripada
salahnya."
Kritik lain terhadap Fujita: ia melibatkan ego dalam kerja.
Kecintaannya terhadap Tornado sudah seperti orang kerasukan.
"Tornado membuat saya bernafsu," pengakuan Fujita. "Selama
hidup, saya tak akan sanggup membongkar rahasianya. Satu
tersibak, lain menantang. Makanya sekali saya melangkah, itu
berarti untuk selamanya."
Fujita memulai penyelidikannya terhadap gejala-gejala alam
ketika masih remaja -- di Jepang. Pada usia 15 tahun, guru
sekolahnya, yang juga ayahnya, memberinya sebuah lensa kaca
mata. Ia segera mengubah dan memadukan lensa itu pada teleskop
rakitan sendiri untuk menganalisa bintik pada matahari.
Permulaan Perang Dunia II, ia menekuni fisika pada Meiji College
of Engineering -- kini dikenal dengan nama Kyushu Institute of
Technology. "Saya dilahirkan sebagai orang kate, bahkan untuk
ukuran Jepang," tutur Fujita, "Makanya saya tidak di kenakan
wajib militer." Ia, setelah meraih gelar sarjana fisika, diminta
untuk mengisi tenaga pengajar yang berkurang akibat perang.
Waktu bom atom Amerika melantak Hiroshima dan Nagasaki, Fujita
sudah menjabat sebagai asisten profesor di Meiji College of
Engineering. Kehancuran akibat bom itu baginya justru merupakan
laboratorium untuk mencoba kemahiran mendeteksi. "Di seluruh
dunia hanya ada dua kota yang disodok bom atom," katanya. "Dan
saya cukup beruntung berada di antara keduanya."
Fujita, sejak dulu, memang dikenal gila-gilaan. Dua minggu
setelah pengeboman ia melacak ke kedua kota itu. Ikut bersamanya
empat orang profesor dan lima mahasiswa. Di kota yang porak
poranda itu mereka mengeksplorasi wilayah zero, sembari mencari
kepastian berapa bom yang telah dijatuhkan. "Waktu itu tidak ada
alat penghitung Geiger pada kami," tutur Fujita.
Saat Fujita dan timnya melakukan penelitian di Hiroshima dan
Nagasaki, Amerika Serikat menyiarkan pemberitahuan bahwa tidak
seorang pun akan sanggup hidup di kedua kota itu untuk jangka
waktu sembilan puluh sembilan tahun. "Saya pikir, sepanjang saya
tetap berdiri dua minggu setelah mengunjungi kedua tempat itu,
artinya saya terhindar dari sinar gamma. Kelihatannya bodoh.
Tapi bagaimana, saya begitu geregetan," kata Fujita. "Saya
mengalami hal yang sama ketika saya terbang menbuntuti Tornado.
Bagaimanapun saya tak pernah kecut menghadapi persoalan ilmiah
yang mesti dipecahkan."
Problem di Nagasaki dan Hiroshima dikalkulasikan berdasarkan
reruntuhan. Pada sebuah kuburan di Nagasaki, Fujita menemukan
sebuah sisa vas bambu yang dipakai untuk upacara nyekar. Tampak
jelas ada kegosongan akibat ledakan bom. Ia kemudian melacak ke
kuburan-kuburan lainnya, di kota itu, untuk mencatat kedalaman
dan angle bercak gosong pada banyak vas. Dari data-data itu ia
mentriangulasikan posisi bola api. Dari perhitungannya bahwa
bomnya cuma sebuah -- bukan dua seperti yang dikira semula.
Di Hiroshima, Fujita juga gentayangan ke kuburan untuk
mendapatkan "cerita" dari pot-pot bunga. Lokasi yang dipilihnya
adalah kuburan di perbukitan sekeliling kota. Di situ ia
mendapati arang dan belitan-belitan aneh -- mengesankan
pepohonan. "Belitan tersebut menandakan bahwa persis pada saat
awan jamur terbentuk oleh ledakan bom, Tornado kecil yang panas
berpusing," katanya. Fujita menghubungkan tonggak risetnya
mengenai Tornado dengan observasinya ini.
Setelah perang, berhubung harga perkakas untuk riset fisika
terlalu mahal, Fujita banting setir memilih meteorologi. "Masa
itu hidup sedang payah-payahnya," tuturnya. "Sebulan saya digaji
30 dollar. Sembari melihat iri pada tentara Amerika, yang bagi
saya tampak kaya, lalu saya memutuskan untuk mempelajari peta
cuaca. Sebab di sini yang diperlukan hanya pensil dan kertas."
Pada 1953, Fujita bersama rekannya dari dinas cuaca nasional
Jepang, merayap ke Gunung Seburi, yang tingginya 3.500 kaki,
untuk mengobservasi dan menganalisa hujan yang disertai topan.
Selain itu mereka juga mengukur tekanan udara selama sebuah
badai menggasak. Serta juga mencatat arah angin yang meluncur
deras menyibak awan.
"Fujita menulis sebuah makalah menjelaskan hasil pengamatannya
terhadap angin jujut yang menukik itu. Tapi tidak tahu, di mana
harus mempublikasikannya. Sebelum ia mendapatkan pamflet
mengenai topan badai yang ditulis oleh Horace Byers, ketua
departemen meteorologi Univesitas Chicago," tulis Gary Taubes.
Fujita mengirimkan makalahnya ke Byer setelah mengetahui
alamatnya dari pamflet tersebut. Tiga bulan kemudian sebuah
undangan datang meminta Fujita melakukan riset di Chicago dengan
gaji sepuluh kali lipat. Langsung saja ia menerima tawaran itu.
Setelah empat tahun di Chicago, ia berkenalan kembali dengan
Tornado. Lima angin puyuh menyodok Fargo, North Dakota, 20 Juni
1957. Byer mengutus Fujita melakukan penyelidikan. Meskipun ia
telah mengenal daerah yang dihancurkan bom atom, tetap saja ia
tercengang melihat kerusakan akibat ulah alam itu.
"Koyak-moyaknya memang masih bisa dideskripsikan, tapi sudah di
luar batas imajinasi," katanya. Dengan dukungan ratusan pemotret
amatir yang dikumpulkan dari penduduk Fargo, Fujita dapat
menggambarkan secara tepat arus angin puyuh tersebut dan
mengetahui "induk" mereka: hujan yang disertai topan badai.
Kesempatan berikutnya bagi Fujita untuk "mengotak-atik" Tornado
yang besar, lama sekali baru tiba. Yaitu pada 1965 di Palm
Sunday. Ketika itu sekitar 50 pusaran angin puyuh menyodok
kawasan Great Lake, dan menewaskan 200 orang.
Ia mencarter sebuah pesawat mungil untuk melakukan pemotretan di
daerah kejadian. Lalu mengamati jalur pusaran yang telah
mencabik ladang-ladang jagung. Fujita berhasil mengenali dua
jenis barutan. Satu, angin puyuh berpusing dengan satu totokan
tunggal, meninggalkan lubang yang dalam dan tak berantakan.
Kedua, Tornado mencungkil-cungkil dalam pola yang melingkar.
"Banyak orang menyangka barutan seperti itu diakibatkan oleh
benda tajam yang terpelintir oleh cerobong pusaran," kata
Fujita. "Padahal benda semacam itu justru akan terpelanting." Ia
mengemukakan, selain sebuah pusingan angin puyuh yang
berloncatan, pusingan-pusingan mini yang menelikung di dalam
cerobong pusaran besar melahirkan pola yang menghancurkan.
Pusingan-pusingan mini ini, disebutnya pusaran pengisap,
menimbulkan tiupan angin dengan kecepatan minimal 50 mil per jam
-- lebih cepat dari angin yang membuntuti cerobong pusaran.
Dalam penelitiannya untuk musibah Palm Sunday, Fujita
mendapatkan kesimpulan bahwa pengamatan di arena memiliki
kesulitan-kesulitan tersendiri. "Saya mesti memotret
bagian-bagian yang porak-poranda bukan sekadar tanah lapang,"
katanya. "Oleh karena itu harus dalam posisi kemiringan 30
derajat. Pada awalnya saya mabuk udara, tapi kemudian saya
terlatih dengan sendirinya."
Belakangan muncul bahaya baru, untuk penerbangan yang
menukik-nukik begitu. "Polisi mengatakan kepada kami supaya
hati-hati bila terbang rendah melintasi ladang-ladang jagung.
Soalnya, para petani sering menanam mariyuana di situ. Dan
mereka tentu akan menembak. Sebab bisa saja mereka mengira saya
seorang inspektur polisi. Makanya sebelum menukik saya harus
yakin dulu bahwa di bawah sana benar-benar ladang jagung atau
campuran."
Untuk mengklasifikasikan Tornado yang ditelitinya, Fujita
bersama Allen Pearson mengembangkan skala enam point -- yang
diberi nama Skala Fujita Pearson. "Kami sedang bersantai sambil
menikmati sukiyaki di rumahnya, lalu timbul pemikiran mengenai
skala tersebut," kenang Pearson. "Richter telah melakukannya
untuk gempa bumi mengapa kami tidak membuatnya untuk Tornado."
Skala ini bergerak antara F-0 (ringan) sampai F-5 (dahsyat) --
tergantung pada dimensi garis edarnya, dan kecepatan angin.
Prestasi besar Fujita adalah perintisannya dalam penelitian
Tornado yang, kemudian bisa, mengungkapkan banyak hal. Antara
lain: tentang downburst dan microburst. Pada April 1974, ia
melakukan pemotretan guratan-guratan akibat 148 Tornado yang
melanda Amerika Serikat dan Kanada selama 16 jam.
Ia mendapatkan hutan dan ladang-ladang jagung tercerabut --
seolah-olah seseorang telah memancangkan sebuah slang raksasa
dan menyemburkan udara dari bawah awan. "Itu bukan Tornado.
Hanya sabetan angin yang memang dahsyat," katanya. "Saya tidak
tahu kenapa banyak orang tak pernah mengenali ini sebelumnya.
Bisa jadi karena mereka tak pernah terbang melintasi kawasan
yang tercabik itu."
Fujita juga membuat kejutan ketika mencanangkan adanya "pusaran
pengisap" (suction vortexes), yang oleh kalangan ahli
meteorologi dianggap terlalu radikal. Kakagetan mereka seperti
ketika menghadapi ide adanya downburst. "Anda tentunya tahu,
ketika para ahli berkata: Ya ampun, mana ada downburst," kata
mahasiswa post doktoral Roger Wakimoto, salah seorang anak didik
Fujita. "Kini, hal itu sudah tak dipertanyakan."
Pada 24 Juni 1975, downburst bahkan sudah bukan lagi masalah
meteorologi belaka. Sebuah Boeing 727 Eastern Airlines gagal
mendarat dan mengalami musibah -- di lapangan udara John F.
Kennedy. Penyebabnya badai yang dahsyat. Peristiwa ini
mencelakakan 124 orang -- yang selamat cuma sebelas.
Maskapai penerbangan tersebut lalu minta Fujita mengadakan
penyelidikan. Ia mengkaji laporan dari sebelas pesawat yang
mencoba mendarat menjelang terjadi nya kecelakaan --
kesebelasnya menghadapi angin yang berlainan secara drastis.
Akhirnya Fujita sampai pada kesimpulan: pesawat Eastern Airlines
itu telah terbang menembus, atau berada, di antara tiga
microburst yang terpisah, dan ketiganya telah menggempur jalur
pendaratan ketika bergerak bersama topan.
"Jika saya tidak pernah mengenali adanya downburstdan microburst
dalam Tornado," kata Fujita, "mungkin saja saya menyimpulkan
bahwa itu semata-mata karena kegilaan pilotnya." Enam minggu
kemudian peristiwa yang mirip terjadi di Denver -- tanpa korban
seorang pun. Tragedi Denver ini mendukung teori Fujita.
Untuk memantapkan adanya microburst, Fujita, tahun 1978,
melakukan studi secara kontinyu selama 45 hari dengan
menggunakan tiga buah radar Deppler di wilayah Chicago. Radar
ini menyergap sinyal-sinyal dari partikel dan titik hujan yang
dihembuskan angin. "Kami mendapatkan dua atau tiga microburst
pada radar," kata Fujita. Sodokan microburst itu telah
menimbulkan hembusan keras, seratus kaki dari permukaan tanah,
dengan kecepatan 70 mil per jam.
Juli tahun lalu, sewaktu pesawat Pan Am 727 mengalami kecelakaan
sesaat setelah tinggal landas dari bandar udara International
New Orleans, Fujita sekali lagi menghubungkannya dengan
microburst. Musibah itu menewaskan 153 orang.
Kini Fujita bekerja sama dengan maskapai penerbangan dan Badan
Penerbangan Federal AS dalam pencegahan kecelakaan semacam itu.
Musim gugur lalu, sudah disahkan biaya US$ 2,2 juta untuk proyek
riset gabungan menghadapi downburst dan microburst. Secara
dramatis teori Fujita memperoleh afirmasi.
Tugas tim Fujita, antara lain, merencanakan pembuatan instalasi
radar untuk lapangan udara. Sebuah tipe radar yang sanggup
menyergap secara tepat gejala timbulnya microburst.
Bersama Komisi Pengaturan Nuklir, Fujita mengembangkan pula
suatu konstruksi stasiun tenaga nuklir yang bisa menahan
gempuran angin puyuh.
Agaknya Fujita tak puas hanya mengamati Tornado yang timbul
secara alamiah. Ia membuktikan kemampuannya untuk membuatnya
dengan sebuah mesin. Setelah beberapa kali melakukan percobaan,
akhir Juni 1982, Fujita berhasil menciptakan angin puyuh.
Sebuah tarikan napas yang dalam mengawali rasa lega Fujita atas
keberhasilannya membuat angin punyuh. "Inilah hari yang paling
membahagiakan saya," gumamnya. Selang beberapa saat kemudian, ia
menambahkan. "Setiap orang bilang tekanan darah akan naik pada
saat dikocok kegembiraan. Saya berani bertaruh, waktu itu,
tekanan darah saya melonjak tinggi sekali. Karena saya
mendapatkan apa yang saya harapkan."
Bagaimana Fujita tidak 'kan bahagia. Lima tahun ia berkutat
bersama mahasiswanya membuat mesin pembangkit Tornado tersebut.
Dan biaya yang ditelannya US$ 35.000. Selama menekuni pembuatan
mesin Tornado ini, Fujita sampai tak sempat menonton televisi --
kecuali dua seri film Shogun.
Di ruang kerja Fujita, yang sekaligus laboratoriumnya,
berserakan catatancatatan penting mengenai Tornado selama 30
tahun. Di situ juga teronggok perkakas mekanis untuk buat ulang
gambar kerusakan akibat sodokan-sodokan Tornado. Juga alat untuk
memproyeksikan film Tornado ke atas permukaan meja tempat Fujita
bisa melacak garis edarnya. Alat ini ia rakit sendiri di rumah.
Peta dan rekaman komputer di ruangan kerja Fujita meliput 28.482
kasus angin puyuh -- dikumpulkan sejak 1916 sampai 1982.
Semuanya dicatat dalam katalogus berdasarkan tahun dan garis
bujur atau garis lintangnya. Di meja juga terpacak sebuah
piramida yang terdiri dari 51 kotak foto hasil pengambilan pada
lokasi kerusakan akibat Tornado. Hasil kerja Fujita itu
dikualifikasikan dengan kecermatan yang tak tercela.
Ketertibannya menggambarkan kerukunan kehidupan rumah tangganya.
Meski Susie, istrinya, sering dibuat tak berdaya oleh kenekatan
Fujita terbang memintas Tornado, wanita ini membantu profesi
sang suami dengan caranya sendiri. Selagi Fujita tenggelam dalam
kesibukan, Susie tak kalah repot mengikuti semua siaran berita
televisi yang menurunkan laporan kejadian angin ribut dan
kecelakaan pesawat.
Pada usianya sekarang, Fujita, ayah dari seorang anak, mengakui
hanya ada dua ketakutan. Pertama, pada saat ia tinggal landas
atau mau mendarat dengan pesawat komersial. "Sebab saya tak akan
bisa memberitahu pilot kalau ada kemungkinan timbulnya
microburst, " kata sang kamikaze.
Kecemasan kedua, Fujita makin merasa dekat dengan masa
pensiunnya -- menurut peraturan universitas, ia harus
mengundurkan diri pada usia 70 tahun. "Umur 62 atau 63 tahun
tampaknya sudah merupakan masa kemunduran. Tapi kalau saya
berhenti terbang, dan berleha-leha di rumah, tentu akan memberi
kesan buruk pada para mahasiswa saya. Rasanya saya akan terus
melakukan riset sampai umur 70 tahun nanti," katanya. "Yah, ini
kalau istri saya masih sanggup menanggung perasaan menghadapi
ulah saya'
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini