Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Kamizake terakhir di sarang tornado

Ahli meteorologi dari universitas chicago, telah melakukan studi dan menganalisa tornado selama 30 tahun. (sel)

18 Juni 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

UNTUK menangkap anak macan, Anda mesti punya nyali masuk ke sarangnya," kata Tetsuya Theodore (Ted) Fujita. Buat laki-laki kelahiran Jepang ini, pepatah leluhurnya tersebut sudah bukan sekadar lambang keberanian yang menjadi bumbu kata-kata. Tapi telah menjadi bagian hidup. Bedanya, ia tidak masuk ke sarang macan dan menangkap anaknya. Yang ia masuki adalah pusaran angin topan -- biasa dikenal dengan nama Tornado. Berdasarkan hasil pemotretannya di lokasi, Fujita bisa menyimpulkan bahwa satu pusaran Tornado mengandung empat atau lima pelintiran angin puyuh yang memiliki tenaga penghancur. Dan "anak" Tornado inilah yang dibuntuti Fujita dengan menaiki pesawat terbang kecil. "Penerbangannya hampir mencapai 30.000 mil, dan dalam ayunan lebih dari 250 topan," tulis Gary Taubes dalam majalah Discover terbitan Mei lalu. Dalam salah satu pengelanaannya, Fujita sempat mengidentifikasikan bentuk angin yang ganas dan mematikan tersebut. Ia namai downburst -- sodokan mendasar. Selang beberapa waktu kemudian ia menemukan versi kecil dari downburst -- yang disebutnya microburst. Menurut Fujita, jenis terakhir inilah yang sering menyebabkan kecelakaan udara di New York City dan New Orleans. Dengan gairah yang tak pernah pupus selama 30 tahun -- dengan waktu kerja 18 jam setiap hari selama seminggu penuh -- Ted Fujita telah melakukan studi dan menganalisa Tornado. Ahli meteorologi dari Universitas Chicago, Amerika Serikat ini, oleh koleganya, di juluki The Last of the Kamikaze dalam Perang Dunia II lalu julukan ini diberikan pada penerbang berani mati Jepang. Tanpa ekspresi Fujita menanggapi julukan itu. Yang kecut malah istrinya, Sumiko. Wanita ini seperti sudah pasrah terhadap kegiatan sang kamikaze yang keluar masuk sarang topan. "Dulu, sewaktu kami merencanakan akan menikah, saya sudah menekankan kepadanya tentang pentingnya pengertian terhadap bahaya profesi saya," tutur Fujita. "Dia bilang, akan mencoba. Pada saat saya terbang, istri saya memang tidak berteriak-teriak memprotes, tapi sebenarnya ia tidak senang. Sudah dua kali ia minta supaya saya berhenti saja. Dengan alasan, hal itu tidak tercantum dalam kontrak perkawinan kami." Tapi Fujita, 62 tahun, sudah tidak bisa meninggalkan profesinya. Terpaksa Sumiko, yang kemudian sejak menetap di Amerika dipanggil Susie, mengalah. Dan bila suaminya melesat menuju Tornado, ia tak mau pergi ke mana-mana. "Saya tinggal di rumah, dan menunggu," kata Susie. "Selama itu perasaan saya tak menentu." Tentu bukan lantaran keberaniannya saja yang membuat nama Fujita mencuat sebagai ahli meteorologi. Tapi juga wawasannya yang mendalam menghadapi teka-teki meteorologi telah menimbulkan rasa kagum para koleganya. Bekas direktur Pusat Ramalan Cuaca Nasional Allen Pearson, berkata tentang Fujita: "Ia adalah seorang detektif meteorologi yang sanggup mengenali gejala-gejala alam yang paling samar sekali pun." Kualifikasi itu masih ditambahi lagi oleh John McCarthy, dari Pusat Riset Atmosfir AS (NCAR), yang pernah bekerja sama dengan Fujita dalam rangka studi downburst. Kata lohn: "Kemampuan Fujita mengamati dan memadukan data tak ada tandingannya. Dengan hanya melongok melalu jendela ia sudah bisa mengambil kesimpulan -- yang bagi kami merupakan kerja berkepanjangan dan dengan bantuan komputer." Kadang kala Fujita, yang sering tampak mencetuskan jawaban-jawabannya terhadap misteri alam secara serampangan itu, bikin "kesal" sejawatnya yang lain. "Ted begitu saja menyodorkan wawasan-wawasannya yang dahsyat itu," kata James Wilson, yang juga dari NCAR. "Sering tampak prematur, sehingga membuat keki banyak orang. Meski pada akhirnya ia banyak benarnya daripada salahnya." Kritik lain terhadap Fujita: ia melibatkan ego dalam kerja. Kecintaannya terhadap Tornado sudah seperti orang kerasukan. "Tornado membuat saya bernafsu," pengakuan Fujita. "Selama hidup, saya tak akan sanggup membongkar rahasianya. Satu tersibak, lain menantang. Makanya sekali saya melangkah, itu berarti untuk selamanya." Fujita memulai penyelidikannya terhadap gejala-gejala alam ketika masih remaja -- di Jepang. Pada usia 15 tahun, guru sekolahnya, yang juga ayahnya, memberinya sebuah lensa kaca mata. Ia segera mengubah dan memadukan lensa itu pada teleskop rakitan sendiri untuk menganalisa bintik pada matahari. Permulaan Perang Dunia II, ia menekuni fisika pada Meiji College of Engineering -- kini dikenal dengan nama Kyushu Institute of Technology. "Saya dilahirkan sebagai orang kate, bahkan untuk ukuran Jepang," tutur Fujita, "Makanya saya tidak di kenakan wajib militer." Ia, setelah meraih gelar sarjana fisika, diminta untuk mengisi tenaga pengajar yang berkurang akibat perang. Waktu bom atom Amerika melantak Hiroshima dan Nagasaki, Fujita sudah menjabat sebagai asisten profesor di Meiji College of Engineering. Kehancuran akibat bom itu baginya justru merupakan laboratorium untuk mencoba kemahiran mendeteksi. "Di seluruh dunia hanya ada dua kota yang disodok bom atom," katanya. "Dan saya cukup beruntung berada di antara keduanya." Fujita, sejak dulu, memang dikenal gila-gilaan. Dua minggu setelah pengeboman ia melacak ke kedua kota itu. Ikut bersamanya empat orang profesor dan lima mahasiswa. Di kota yang porak poranda itu mereka mengeksplorasi wilayah zero, sembari mencari kepastian berapa bom yang telah dijatuhkan. "Waktu itu tidak ada alat penghitung Geiger pada kami," tutur Fujita. Saat Fujita dan timnya melakukan penelitian di Hiroshima dan Nagasaki, Amerika Serikat menyiarkan pemberitahuan bahwa tidak seorang pun akan sanggup hidup di kedua kota itu untuk jangka waktu sembilan puluh sembilan tahun. "Saya pikir, sepanjang saya tetap berdiri dua minggu setelah mengunjungi kedua tempat itu, artinya saya terhindar dari sinar gamma. Kelihatannya bodoh. Tapi bagaimana, saya begitu geregetan," kata Fujita. "Saya mengalami hal yang sama ketika saya terbang menbuntuti Tornado. Bagaimanapun saya tak pernah kecut menghadapi persoalan ilmiah yang mesti dipecahkan." Problem di Nagasaki dan Hiroshima dikalkulasikan berdasarkan reruntuhan. Pada sebuah kuburan di Nagasaki, Fujita menemukan sebuah sisa vas bambu yang dipakai untuk upacara nyekar. Tampak jelas ada kegosongan akibat ledakan bom. Ia kemudian melacak ke kuburan-kuburan lainnya, di kota itu, untuk mencatat kedalaman dan angle bercak gosong pada banyak vas. Dari data-data itu ia mentriangulasikan posisi bola api. Dari perhitungannya bahwa bomnya cuma sebuah -- bukan dua seperti yang dikira semula. Di Hiroshima, Fujita juga gentayangan ke kuburan untuk mendapatkan "cerita" dari pot-pot bunga. Lokasi yang dipilihnya adalah kuburan di perbukitan sekeliling kota. Di situ ia mendapati arang dan belitan-belitan aneh -- mengesankan pepohonan. "Belitan tersebut menandakan bahwa persis pada saat awan jamur terbentuk oleh ledakan bom, Tornado kecil yang panas berpusing," katanya. Fujita menghubungkan tonggak risetnya mengenai Tornado dengan observasinya ini. Setelah perang, berhubung harga perkakas untuk riset fisika terlalu mahal, Fujita banting setir memilih meteorologi. "Masa itu hidup sedang payah-payahnya," tuturnya. "Sebulan saya digaji 30 dollar. Sembari melihat iri pada tentara Amerika, yang bagi saya tampak kaya, lalu saya memutuskan untuk mempelajari peta cuaca. Sebab di sini yang diperlukan hanya pensil dan kertas." Pada 1953, Fujita bersama rekannya dari dinas cuaca nasional Jepang, merayap ke Gunung Seburi, yang tingginya 3.500 kaki, untuk mengobservasi dan menganalisa hujan yang disertai topan. Selain itu mereka juga mengukur tekanan udara selama sebuah badai menggasak. Serta juga mencatat arah angin yang meluncur deras menyibak awan. "Fujita menulis sebuah makalah menjelaskan hasil pengamatannya terhadap angin jujut yang menukik itu. Tapi tidak tahu, di mana harus mempublikasikannya. Sebelum ia mendapatkan pamflet mengenai topan badai yang ditulis oleh Horace Byers, ketua departemen meteorologi Univesitas Chicago," tulis Gary Taubes. Fujita mengirimkan makalahnya ke Byer setelah mengetahui alamatnya dari pamflet tersebut. Tiga bulan kemudian sebuah undangan datang meminta Fujita melakukan riset di Chicago dengan gaji sepuluh kali lipat. Langsung saja ia menerima tawaran itu. Setelah empat tahun di Chicago, ia berkenalan kembali dengan Tornado. Lima angin puyuh menyodok Fargo, North Dakota, 20 Juni 1957. Byer mengutus Fujita melakukan penyelidikan. Meskipun ia telah mengenal daerah yang dihancurkan bom atom, tetap saja ia tercengang melihat kerusakan akibat ulah alam itu. "Koyak-moyaknya memang masih bisa dideskripsikan, tapi sudah di luar batas imajinasi," katanya. Dengan dukungan ratusan pemotret amatir yang dikumpulkan dari penduduk Fargo, Fujita dapat menggambarkan secara tepat arus angin puyuh tersebut dan mengetahui "induk" mereka: hujan yang disertai topan badai. Kesempatan berikutnya bagi Fujita untuk "mengotak-atik" Tornado yang besar, lama sekali baru tiba. Yaitu pada 1965 di Palm Sunday. Ketika itu sekitar 50 pusaran angin puyuh menyodok kawasan Great Lake, dan menewaskan 200 orang. Ia mencarter sebuah pesawat mungil untuk melakukan pemotretan di daerah kejadian. Lalu mengamati jalur pusaran yang telah mencabik ladang-ladang jagung. Fujita berhasil mengenali dua jenis barutan. Satu, angin puyuh berpusing dengan satu totokan tunggal, meninggalkan lubang yang dalam dan tak berantakan. Kedua, Tornado mencungkil-cungkil dalam pola yang melingkar. "Banyak orang menyangka barutan seperti itu diakibatkan oleh benda tajam yang terpelintir oleh cerobong pusaran," kata Fujita. "Padahal benda semacam itu justru akan terpelanting." Ia mengemukakan, selain sebuah pusingan angin puyuh yang berloncatan, pusingan-pusingan mini yang menelikung di dalam cerobong pusaran besar melahirkan pola yang menghancurkan. Pusingan-pusingan mini ini, disebutnya pusaran pengisap, menimbulkan tiupan angin dengan kecepatan minimal 50 mil per jam -- lebih cepat dari angin yang membuntuti cerobong pusaran. Dalam penelitiannya untuk musibah Palm Sunday, Fujita mendapatkan kesimpulan bahwa pengamatan di arena memiliki kesulitan-kesulitan tersendiri. "Saya mesti memotret bagian-bagian yang porak-poranda bukan sekadar tanah lapang," katanya. "Oleh karena itu harus dalam posisi kemiringan 30 derajat. Pada awalnya saya mabuk udara, tapi kemudian saya terlatih dengan sendirinya." Belakangan muncul bahaya baru, untuk penerbangan yang menukik-nukik begitu. "Polisi mengatakan kepada kami supaya hati-hati bila terbang rendah melintasi ladang-ladang jagung. Soalnya, para petani sering menanam mariyuana di situ. Dan mereka tentu akan menembak. Sebab bisa saja mereka mengira saya seorang inspektur polisi. Makanya sebelum menukik saya harus yakin dulu bahwa di bawah sana benar-benar ladang jagung atau campuran." Untuk mengklasifikasikan Tornado yang ditelitinya, Fujita bersama Allen Pearson mengembangkan skala enam point -- yang diberi nama Skala Fujita Pearson. "Kami sedang bersantai sambil menikmati sukiyaki di rumahnya, lalu timbul pemikiran mengenai skala tersebut," kenang Pearson. "Richter telah melakukannya untuk gempa bumi mengapa kami tidak membuatnya untuk Tornado." Skala ini bergerak antara F-0 (ringan) sampai F-5 (dahsyat) -- tergantung pada dimensi garis edarnya, dan kecepatan angin. Prestasi besar Fujita adalah perintisannya dalam penelitian Tornado yang, kemudian bisa, mengungkapkan banyak hal. Antara lain: tentang downburst dan microburst. Pada April 1974, ia melakukan pemotretan guratan-guratan akibat 148 Tornado yang melanda Amerika Serikat dan Kanada selama 16 jam. Ia mendapatkan hutan dan ladang-ladang jagung tercerabut -- seolah-olah seseorang telah memancangkan sebuah slang raksasa dan menyemburkan udara dari bawah awan. "Itu bukan Tornado. Hanya sabetan angin yang memang dahsyat," katanya. "Saya tidak tahu kenapa banyak orang tak pernah mengenali ini sebelumnya. Bisa jadi karena mereka tak pernah terbang melintasi kawasan yang tercabik itu." Fujita juga membuat kejutan ketika mencanangkan adanya "pusaran pengisap" (suction vortexes), yang oleh kalangan ahli meteorologi dianggap terlalu radikal. Kakagetan mereka seperti ketika menghadapi ide adanya downburst. "Anda tentunya tahu, ketika para ahli berkata: Ya ampun, mana ada downburst," kata mahasiswa post doktoral Roger Wakimoto, salah seorang anak didik Fujita. "Kini, hal itu sudah tak dipertanyakan." Pada 24 Juni 1975, downburst bahkan sudah bukan lagi masalah meteorologi belaka. Sebuah Boeing 727 Eastern Airlines gagal mendarat dan mengalami musibah -- di lapangan udara John F. Kennedy. Penyebabnya badai yang dahsyat. Peristiwa ini mencelakakan 124 orang -- yang selamat cuma sebelas. Maskapai penerbangan tersebut lalu minta Fujita mengadakan penyelidikan. Ia mengkaji laporan dari sebelas pesawat yang mencoba mendarat menjelang terjadi nya kecelakaan -- kesebelasnya menghadapi angin yang berlainan secara drastis. Akhirnya Fujita sampai pada kesimpulan: pesawat Eastern Airlines itu telah terbang menembus, atau berada, di antara tiga microburst yang terpisah, dan ketiganya telah menggempur jalur pendaratan ketika bergerak bersama topan. "Jika saya tidak pernah mengenali adanya downburstdan microburst dalam Tornado," kata Fujita, "mungkin saja saya menyimpulkan bahwa itu semata-mata karena kegilaan pilotnya." Enam minggu kemudian peristiwa yang mirip terjadi di Denver -- tanpa korban seorang pun. Tragedi Denver ini mendukung teori Fujita. Untuk memantapkan adanya microburst, Fujita, tahun 1978, melakukan studi secara kontinyu selama 45 hari dengan menggunakan tiga buah radar Deppler di wilayah Chicago. Radar ini menyergap sinyal-sinyal dari partikel dan titik hujan yang dihembuskan angin. "Kami mendapatkan dua atau tiga microburst pada radar," kata Fujita. Sodokan microburst itu telah menimbulkan hembusan keras, seratus kaki dari permukaan tanah, dengan kecepatan 70 mil per jam. Juli tahun lalu, sewaktu pesawat Pan Am 727 mengalami kecelakaan sesaat setelah tinggal landas dari bandar udara International New Orleans, Fujita sekali lagi menghubungkannya dengan microburst. Musibah itu menewaskan 153 orang. Kini Fujita bekerja sama dengan maskapai penerbangan dan Badan Penerbangan Federal AS dalam pencegahan kecelakaan semacam itu. Musim gugur lalu, sudah disahkan biaya US$ 2,2 juta untuk proyek riset gabungan menghadapi downburst dan microburst. Secara dramatis teori Fujita memperoleh afirmasi. Tugas tim Fujita, antara lain, merencanakan pembuatan instalasi radar untuk lapangan udara. Sebuah tipe radar yang sanggup menyergap secara tepat gejala timbulnya microburst. Bersama Komisi Pengaturan Nuklir, Fujita mengembangkan pula suatu konstruksi stasiun tenaga nuklir yang bisa menahan gempuran angin puyuh. Agaknya Fujita tak puas hanya mengamati Tornado yang timbul secara alamiah. Ia membuktikan kemampuannya untuk membuatnya dengan sebuah mesin. Setelah beberapa kali melakukan percobaan, akhir Juni 1982, Fujita berhasil menciptakan angin puyuh. Sebuah tarikan napas yang dalam mengawali rasa lega Fujita atas keberhasilannya membuat angin punyuh. "Inilah hari yang paling membahagiakan saya," gumamnya. Selang beberapa saat kemudian, ia menambahkan. "Setiap orang bilang tekanan darah akan naik pada saat dikocok kegembiraan. Saya berani bertaruh, waktu itu, tekanan darah saya melonjak tinggi sekali. Karena saya mendapatkan apa yang saya harapkan." Bagaimana Fujita tidak 'kan bahagia. Lima tahun ia berkutat bersama mahasiswanya membuat mesin pembangkit Tornado tersebut. Dan biaya yang ditelannya US$ 35.000. Selama menekuni pembuatan mesin Tornado ini, Fujita sampai tak sempat menonton televisi -- kecuali dua seri film Shogun. Di ruang kerja Fujita, yang sekaligus laboratoriumnya, berserakan catatancatatan penting mengenai Tornado selama 30 tahun. Di situ juga teronggok perkakas mekanis untuk buat ulang gambar kerusakan akibat sodokan-sodokan Tornado. Juga alat untuk memproyeksikan film Tornado ke atas permukaan meja tempat Fujita bisa melacak garis edarnya. Alat ini ia rakit sendiri di rumah. Peta dan rekaman komputer di ruangan kerja Fujita meliput 28.482 kasus angin puyuh -- dikumpulkan sejak 1916 sampai 1982. Semuanya dicatat dalam katalogus berdasarkan tahun dan garis bujur atau garis lintangnya. Di meja juga terpacak sebuah piramida yang terdiri dari 51 kotak foto hasil pengambilan pada lokasi kerusakan akibat Tornado. Hasil kerja Fujita itu dikualifikasikan dengan kecermatan yang tak tercela. Ketertibannya menggambarkan kerukunan kehidupan rumah tangganya. Meski Susie, istrinya, sering dibuat tak berdaya oleh kenekatan Fujita terbang memintas Tornado, wanita ini membantu profesi sang suami dengan caranya sendiri. Selagi Fujita tenggelam dalam kesibukan, Susie tak kalah repot mengikuti semua siaran berita televisi yang menurunkan laporan kejadian angin ribut dan kecelakaan pesawat. Pada usianya sekarang, Fujita, ayah dari seorang anak, mengakui hanya ada dua ketakutan. Pertama, pada saat ia tinggal landas atau mau mendarat dengan pesawat komersial. "Sebab saya tak akan bisa memberitahu pilot kalau ada kemungkinan timbulnya microburst, " kata sang kamikaze. Kecemasan kedua, Fujita makin merasa dekat dengan masa pensiunnya -- menurut peraturan universitas, ia harus mengundurkan diri pada usia 70 tahun. "Umur 62 atau 63 tahun tampaknya sudah merupakan masa kemunduran. Tapi kalau saya berhenti terbang, dan berleha-leha di rumah, tentu akan memberi kesan buruk pada para mahasiswa saya. Rasanya saya akan terus melakukan riset sampai umur 70 tahun nanti," katanya. "Yah, ini kalau istri saya masih sanggup menanggung perasaan menghadapi ulah saya'

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus