DIAM-diam sengketa mengenai majalah Kartini diputus pengadilan
tingkat pertama: Lukman Umar menang. Ia dinyatakan tetap sah
sebagai direktur PT Variasi Jaya yang mengelola majalah wanita
tersebut. Juga kedudukan dan jabatannya di Yayasan Pratama Sari
selaku penerbit. Dan ketujuh tergugat, yang dulu "sekapal"
dengannya oleh hakim dihukum agar membayar ganti rugi kepadanya:
Rp 100 juta. Tepat pada tenggang waktu yang diberikan, 8 Juni
lalu, para tergugat naik banding.
"Dari dulu saya sebetulnya tak mau ribut-ribut dan saya ngalah
karena percaya ada undang-undang yang melindungi," komentar
Lukman Umar kalem atas kemenangannya. Keputusan pertama jatuh
pada 16 April. Vonis yang kedua, 21 Mei, didengarnya per telepon
dari pengacaranya, Munir, S.H., ketika ia sedang mengikuti MTQ
di Padang baru-baru ini.
Kedua gugatan diajukan Lukman Umar, merupakan ekor sengketa para
pengelola perusahaan penerbitan grup Kartini itu, yang entah
dimulai kapan -- tapi yang mencapai puncaknya pada 8 Februari
1982. Hari Senin pagi itu Lukman Umar, direktur PT Variasi Jaya
(mengelola majalah-majalah Kartini, Ananda, Puteri Indonesia,
dan Dialog), menyegel kantor perusahaannya yang terletak di
Jalan Garuda, Jakarta. Ia melarang para wartawan dan karyawan
memasuki gedung bertingkat dua itu. Berikutnya, dia memecat
Willy Risakotta, ketua Dewan Komisaris dan wakil Direktur PT
Variasi Jaya. Bersama Willy, juga dipecat enam rekannya Djoko
Prihatin, Tom D.B.P. Gultom, Moh. Ashuri, Surtaji Tirtosunyoto,
Bram Tuapattinaya, dan Karnel Oemar Purba.
Langkah Lukman itu, sesungguhnya sebagai balasan atas tindakan
Willy Risakotta dua hari sebelumnya, yang memecatnya sebagai
direktur. Tapi, keesokan harinya, Risakotta dan kawan-kawan
mengambil alih kantor itu (TEMPO, Media, 20 Februari 1982).
Kericuhan itu berlanjut terus. Kedua belah pihak akhirnya
bersiap-siap menggugat di pengadilan. Lukman menunjuk Munir
sebagai kuasanya. Sedangkan Risakotta dan kawan-kawan menunjuk
Ny. Nani Razak, S.H. Tapi sementara itu, baik Lukman maupun
Risakotta dan kawan-kawan, melanjutkan profesi mereka. Risakotta
dan kawan-kawan meneruskan penerbitan Kartini dan Lukman pada
akhir September 1982 menerbitkan Sarinah.
Dalam perkara pertama, Lukman minta Majelis Hakim Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat, yang dipimpin Setiawan, S.H., agar
pemecatan terhadap dirinya "dinyatakan melawan hukum". Juga agar
hakim menghukum para tergugat membayar ganti kerugian sejumlah
Rp 600 juta. Sebab, menurut Lukman, pengambilalihan segala
pekerjaan dan fungsi direktur oleh tergugat, merupakan tindakan
melawan hukum.
Willy Risakotta dan kawan-kawan menangkis. Menurut anggaran
dasar PT, katanya, para komisaris dengan suara terbanyak setiap
waktu berhak memberhentikan sementara para anggota direksi atau
seorang di antara mereka yang dianggap bersalah. Lukman Umar,
katanya, telah menyalahgunakan kedudukannya untuk kepentingan
dan keuntungan pribadi. Misalnya menggunakan uang perusahaan
buat membeli rumah atas nama pribadi dan membiayai proyek
sejumlah penerbitan.
Juga, menurut tergugat, keputusan pemecatan tersebut sesuai
dengan hasil rapat umum pemegang saham, 3 Maret 1982, yang tak
dihadiri penggugat -- meski sudah dipanggil dan surat panggilan
itu diterima penggugat. Tapi mereka mengakui bahwa panggilan
rapat umum pemegang saham itu tanpa melalui pengumuman di koran.
Sebab sudah merupakan konsensus bahwa undangan cukup dengan
surat penggilan saja.
Tapi majelis hakim berpendapat lain. Menurut hakim konsensus
memanggil para pemegang saham lewat surat panggilan, atau
kadang-kadang lisan, tidak dapat diterima. Alasannya, selain
tidak bisa dibuktikan kebenarannya, juga suatu konsensus hanya
berlaku bila pihak-pihak bersangkutan menyetujuinya. Maka rapat
umum (luar biasa) pemegang saham yang memecat Lukman Umar itu
tidak sah dan keputusan dewan komisaris batal demi hukum.
Akan halnya perkara kedua, mengenai rapat yang menonaktifkan
penggugat dari segala jabatan dan keanggotaan pada Yayasan
Pratama Sari, majelis hakim akhirnya menyatakannya -- tidak sah
-- oleh karena itu harus dibatalkan.
Atas semua vonis itu, reaksi Risakotta hanyalah, "masalah itu
akan tetap kami selesaikan melalui saluran hukum." Kartini,
tetap dalam sengketa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini