KORBAN-korban penembak misterius di Jakarta ternyata membuat
sibuk para juru bedah mayat. Di RSCM Jakarta saja setiap hari
rata-rata enam mayat perlu dibelah-belah untuk penyidikan.
Memang bukan hanya korban penembakan. Juga akibat kecelakan lalu
lintas maupun pembunuhan biasa. Hanya saja pasaran memang jadi
ramai. "Belum selesai satu mayat dibedah, sudah datang mayat
baru," kata Sugiman, 47 tahun, salah seorang dari enam juru
bedah mayat di rumah sakit itu.
Lelaki kurus kecil yang memelihara jenggot ini tidak begitu
angker. Sudah enam tahun ia bekerja di bagian ini. Mulanya ngeri
juga, bahkan mengaku suka mimpi yang seram-seram. Sekarang?
"Sudah tak ada soal. Makan di depan mayat saja sudah tak ada
perasaan apa-apa."
Ia cuma tamat SMP. Sebelum terdampar di rumah sakit ia bekerja
di Kedutaan Besar Australia di Jakarta, sebagai penjaga rumah
staf. Sugiman mengganggur setelah tuan itu pulang ke negerinya.
Dan lima bulan kemudian ia menerima tawaran untuk bagian kamar
mayat RSCM.
"Tiga bulan pertama saya hanya lihat-lihat mayat dan
membersihkan ruangan itu," katanya. Setelah merasa terbiasa
dengan pemandangan maupun bau khas itu, baru Sugiman diajari
cara membedah mayat. Ternyata tidak begitu sulit, semua orang
bisa, dengan sedikit saja berlatih. "Yang sukar bagaimana
menghilangkan rasa jijik, dan tahan bau busuk," kata pegawai
negeri golongan I-A itu. Ia tak menjelaskan resep menghilangkan
kejijikan itu. Juga mengaku tak merasakan perubahan apa-apa
dalam hidupnya, walau setiap hari menggorok-gorok mayat.
"Resepnya hanya satu. Jangan sekali-kali meludah menghadapi
mayat." Ini kata tukang bedah yang lain, Tumin Harjosuwito.
"Jika sekali saja meludah, rasa mual mulai muncul dan memancing
isi perut."
Tumin, 53 tahun, jadi juru bedah sejak 1958 di RSUP Dr.
Sardjito, Yogyakarta dulu RS Pugeran. Seperti Sugiman, Tumin
mula-mula juga menjadi tukang sapu dan seterusnya, sampai dua
tahun. Baru menjadi asisten juru bedah, dan setahun kemudian
resmi juru bedah. Pertama kali melakukan pembedahan, memang
canggung. Bahkan takut. "Bismillah, niat ingsun golek duit "
(Bismillah, saya berniat cari uang) -- lalu ditusukkannya pisau
ke tubuh mayat. Toh bulan-bulan pertama Tumin mengaku tak bisa
makan nasi dengan lauk daging. Bayangan mengiris tubuh jenazah,
dan irisan daging yang harus dimasukkan ke mulutnya, belum bisa
hilang.
Tapi pegawai golongan I-D ini bangga dengan pekerjaannya. "Tidak
sembarang orang tahan lho," katanya. Ia merasa andilnya dalam
mencetak tenaga dokter banyak sekali. Mahasiswa yang praktek di
bagian bedah selalu berurusan dengan Tumin. "Pak Jacob pernah
saya bantu membedah mayat ketika mahasiswa dulu," tuturnya. Yang
dimaksud Prof. T. Jacob, rektor UGM sekarang. Tetapi kini,
"mereka yang telah jadi orang besar, lupa pada saya."
Di kalangan mahasiswa, Tumin dan satu kawan kerjanya, Ahmad
Sagino, 44 tahun, dijuluki "profesor bedah tanpa gelar". RSUP
yang megah di Kampus Bulak Sumur itu memang hanya punya dua juru
dobrak mayat. Karena itu etik? pergalian sedang ramai, keduanya
amat repot. Pernah sehari membedah tujuh mayat.
Mayat gali, menurut Ahmad Saino, banyak yang kebal. Di kamar
bedah Saino pernah payah memasukkan pisau ke dada korban. Sudah
tiga kali pisau ditancapkan, tak mau tembus -- katanya. Sagino
lantas menusukkan gunting. Juga tak tembus. "Padahal tubuh gali
ini dilubangi enam peluru," katanya. Akhirnya ia mengucap
"Bismillah ..." dan memindahkan gunting ke perut. Crep! Perut
pun robek.
Sagino sudah 18 tahun dalam profesi yang tidak diminati orang
ini -- terbukti dari masih adanya lowongan yang tak terisi. Ia
berpendidikan Sekolah Teknik kelas II, sementara Tumin bahkan
tidak tamat sekolah dasar. "Dua tahun lagi saya pensiun.
Mudah-mudahan sudah ada penggantinya," kata Tumin. Suaranya
lemah.
Juru bedah memang penting. Bukan sekadar teman praktek mahasiswa
kedokteran, tetapi juga penentu sebab kematian. Dalam kecelakaan
lalu lintas, misalnya, belum tentu penyebab kematiannya
kecelakaan itu sendiri. Serangan jantung, misalnya. Sering,
bukan? Sehingga shock sebagai penyebab kematian, sedang luka
bukan penyebab kematian. Hasil autopsi rumah sakit inilah nanti
bisa dijadikan pertimbangan jika prosesnya sampai ke pengadilan.
Bedah mayat termasuk Bagian Kedokteran Kehakiman. Tidak setiap
rumah sakit punya bagian ini. Di Bandung hanya RS Hasan Sadikin,
tempat praktek FK Unpad. Karena itu di saat kriminalitas
melonjak seperti belakangan ini, tujuh juru bedah di situ juga
kewalahan.
Di RS ini setiap bulan 200 mayat masuk kamar mati. Memang tak
semuanya diautopsi. Kecuali rata-rata 30 mayat kiriman dari luar
-- kepolisian dan rumah sakit swasta. Oyeng, 36 tahun, salah
seorang juru bedah itu, mengaku tak pernah semDat mengaso
belakangan ini. "Setiap hari adakorban pembunuhan," katanya.
Bulan Juni ini, sampai Selasa pekan lalu sudah delapan jena2ah
orang dibunuh plus lima korban lalu lintas.
Oyeng sudah bekerja sejak 1976, juga tanpa melalui pendidikan
khusus. Ia bahkan tak menggunakan penutup hidung. Hanya sarung
tangan dan jas laboratorium dikenakannya. Bau yang menusuk itu
biasa saja bagi Oyeng. "Setiap hari begitu, jadinya biasa,"
katanya ringan.
Pegawai negeri golongan I-B dengan gaji pokok Rp 14.500 ini juga
tak punya perasaan apa-apa setelah selesai menjalankan tugas.
"Persoalan di kamar bedah saya lupakan di rumah," katanya. Di
rumah, ia mengaku, ia keras dalam mendidik anak. Tetapi "tak ada
hubungannya dengan pekerjaan saya," tentu saja. Resep
ketenangannya: "Sebelum membedah mayat, saya berdoa dulu." Oyeng
menjalankan salat lima waktu.
Tapi juru bedah yang paling sibuk mungkin Safari Ika, 51 tahun,
di Medan. Selasa pekan lalu, sore hari, ia sedang istirahat di
rumahnya di Pasar II Helvetia, Medan. Muncul laki-laki setengah
tua -- meminta Pak Safari segera ke rumah sakit untuk membedah
mayat, korban minum racun. "Beginilah tugas saya, full time 24
jam," ujarnya.
Bisa dimaklumi karena Safari Ika satu-satunya juru bedah di RS
Pirngadi itu. Lelaki tamatan SMP ini bahkan sekali waktu bisa
menentukan hasil visum. "Meski dia bukan dokter keahliannya
melebihi dokter," ujar seorang mahasiswa bagian bedah. Mungkin
berlebih-lebihan.
Safari ini memang tertarik pada mayat sejak kecil. Ayahnya
bekerja sebagai mantri kesehatan, dan itulah sebabnya Safari
kecil mulai mengenal mayat. Sejak ia berusia 11, ayahnya sudah
memperlihatkan bagaimana mayat diperlakukan. Setelah tamat SMP
ia bekerja pada dokter ahli patologi anatomi. Dokter yang juga
tetangganya ini hanyak menurunkan ilmu. Safari yang cekatan itu
kemudian diperkenalkan kepada dokter berkebangsaan Jerman, dan
dari dia kemudian ia mendapat ilmu memvisum mayat. "Saya amat
menyenangi pekerjaan ini. Rasa takut dan jijik tak ada lagi,"
katanya.
Bekerja sejak 1953, ia mengaku telah membedah mayat lebih dari
6.000 sosok. Ada yang dibongkar dari kubur dengan bau luar
biasa. Ada mayat baru dengan wajah cantik rupawan. Di samping
itu, pegawai negeri golongan II-C dengan gaji Rp 74.000 ini
merasa memerlukan hasil tambahan untuk menghidupi 10 anak dari
dua istrinya. Karena itu sehari-hari dia menyewakan mobil
pengangkut jenazah. Mobil itu parkir di depan rumah sakit tempat
ia bekerja. Tentu saja laris: calon pemakainya sudah dikontak
ketika jenazah masih di kamar mayat.
Namun ada yang bikin sedih. Berkali-kali Safari menerima ancaman
kalangan keluarga korban yang tak setuju mayatnya dibedah atas
perintah pihak kehakiman itu. "Ada yang menganggap bagian tubuh
mayat ada yang kami ambil untuk guna-guna," katanya.
Kesalahpahaman seperti itu juga terjadi, misalnya, di Sumatera
Barat. Ajis, 30 tahun, sudah 10 tahun bekerja di bagian ini di
RS Dr. Jamil, Padang, bisa bercerita banyak.
"Kami dituduh kejam dan sadis. Sudah jadi mayat, dibedah lagi,"
katanya menuturkan pengalamannya. Ia pernah dilempari batu.
Sudah beberapa kali kaca jendela ruang bedah tempatnya bekerja
pecah kena lemparan. Suatu kali, ketika mayat selesai dibedah ia
disergap dari belakang. Untung polisi menangkap lelaki itu.
"Kami tak aman. Padahal pekerjaan ini untuk kepentingan keluarga
korban," ujar Ajis.
Di Sumatera Barat hanya ada tiga juru bedah mayat. Salah satunya
lagi adalah Syamsudin, yang bekerja baru sejak 1973. Lelaki 34
tahun ini pernah ketakutan -- hampir lari terbirit-birit. Ketika
berjaga di ruang mayat, malam hari, ia mendengar suara
berderak-derak dari peti jenazah. Seorang temannya memberanikan
menyalakan lampu -- dan memeriksa peti jenazah. Ternyata, yang
menimbulkan suara tak lain pecahan es balok yang mencair.
Jenazah itu memang tak disimpan di lemari es, sehingga perlu es
balok. "Sejak itu saya tak percaya hantu. Tapi juga tak berani
tidur sendirian. Pikiran bisa macam-macam," tuturnya.
Baik Ajis maupun Syamsudin mengakui, protes masyarakat yang
kadang tak rela itulah hambatan pekerjaannya. Ini diakui dr.
Chaidir Kamil, kepala Bagian Ilmu Kedokteran Kehakiman RS Dr.
Jamil. Padahal "pembedahan mayat bukan untuk mengambil organ
dalam tubuh, tetapi memeriksa saja," kata dokter tamatan UGM
ini.
Selain ancaman, keluhan Syamsudin adalah gaji yang kecil. Ia
menerima Rp 35.000 sebulan. "Pekerjaan ini mestinya dibayar
mahal. Pembedahan itu penting sekali," katanya. Padahal "tak ada
senangnya mengurusi mayat".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini