Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Bergulat dengan mayat

Pengalaman para juru bedah mayat di rumah sakit. pembedahan sering dilakukan dengan permintaan autopsi. (sd)

18 Juni 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KORBAN-korban penembak misterius di Jakarta ternyata membuat sibuk para juru bedah mayat. Di RSCM Jakarta saja setiap hari rata-rata enam mayat perlu dibelah-belah untuk penyidikan. Memang bukan hanya korban penembakan. Juga akibat kecelakan lalu lintas maupun pembunuhan biasa. Hanya saja pasaran memang jadi ramai. "Belum selesai satu mayat dibedah, sudah datang mayat baru," kata Sugiman, 47 tahun, salah seorang dari enam juru bedah mayat di rumah sakit itu. Lelaki kurus kecil yang memelihara jenggot ini tidak begitu angker. Sudah enam tahun ia bekerja di bagian ini. Mulanya ngeri juga, bahkan mengaku suka mimpi yang seram-seram. Sekarang? "Sudah tak ada soal. Makan di depan mayat saja sudah tak ada perasaan apa-apa." Ia cuma tamat SMP. Sebelum terdampar di rumah sakit ia bekerja di Kedutaan Besar Australia di Jakarta, sebagai penjaga rumah staf. Sugiman mengganggur setelah tuan itu pulang ke negerinya. Dan lima bulan kemudian ia menerima tawaran untuk bagian kamar mayat RSCM. "Tiga bulan pertama saya hanya lihat-lihat mayat dan membersihkan ruangan itu," katanya. Setelah merasa terbiasa dengan pemandangan maupun bau khas itu, baru Sugiman diajari cara membedah mayat. Ternyata tidak begitu sulit, semua orang bisa, dengan sedikit saja berlatih. "Yang sukar bagaimana menghilangkan rasa jijik, dan tahan bau busuk," kata pegawai negeri golongan I-A itu. Ia tak menjelaskan resep menghilangkan kejijikan itu. Juga mengaku tak merasakan perubahan apa-apa dalam hidupnya, walau setiap hari menggorok-gorok mayat. "Resepnya hanya satu. Jangan sekali-kali meludah menghadapi mayat." Ini kata tukang bedah yang lain, Tumin Harjosuwito. "Jika sekali saja meludah, rasa mual mulai muncul dan memancing isi perut." Tumin, 53 tahun, jadi juru bedah sejak 1958 di RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta dulu RS Pugeran. Seperti Sugiman, Tumin mula-mula juga menjadi tukang sapu dan seterusnya, sampai dua tahun. Baru menjadi asisten juru bedah, dan setahun kemudian resmi juru bedah. Pertama kali melakukan pembedahan, memang canggung. Bahkan takut. "Bismillah, niat ingsun golek duit " (Bismillah, saya berniat cari uang) -- lalu ditusukkannya pisau ke tubuh mayat. Toh bulan-bulan pertama Tumin mengaku tak bisa makan nasi dengan lauk daging. Bayangan mengiris tubuh jenazah, dan irisan daging yang harus dimasukkan ke mulutnya, belum bisa hilang. Tapi pegawai golongan I-D ini bangga dengan pekerjaannya. "Tidak sembarang orang tahan lho," katanya. Ia merasa andilnya dalam mencetak tenaga dokter banyak sekali. Mahasiswa yang praktek di bagian bedah selalu berurusan dengan Tumin. "Pak Jacob pernah saya bantu membedah mayat ketika mahasiswa dulu," tuturnya. Yang dimaksud Prof. T. Jacob, rektor UGM sekarang. Tetapi kini, "mereka yang telah jadi orang besar, lupa pada saya." Di kalangan mahasiswa, Tumin dan satu kawan kerjanya, Ahmad Sagino, 44 tahun, dijuluki "profesor bedah tanpa gelar". RSUP yang megah di Kampus Bulak Sumur itu memang hanya punya dua juru dobrak mayat. Karena itu etik? pergalian sedang ramai, keduanya amat repot. Pernah sehari membedah tujuh mayat. Mayat gali, menurut Ahmad Saino, banyak yang kebal. Di kamar bedah Saino pernah payah memasukkan pisau ke dada korban. Sudah tiga kali pisau ditancapkan, tak mau tembus -- katanya. Sagino lantas menusukkan gunting. Juga tak tembus. "Padahal tubuh gali ini dilubangi enam peluru," katanya. Akhirnya ia mengucap "Bismillah ..." dan memindahkan gunting ke perut. Crep! Perut pun robek. Sagino sudah 18 tahun dalam profesi yang tidak diminati orang ini -- terbukti dari masih adanya lowongan yang tak terisi. Ia berpendidikan Sekolah Teknik kelas II, sementara Tumin bahkan tidak tamat sekolah dasar. "Dua tahun lagi saya pensiun. Mudah-mudahan sudah ada penggantinya," kata Tumin. Suaranya lemah. Juru bedah memang penting. Bukan sekadar teman praktek mahasiswa kedokteran, tetapi juga penentu sebab kematian. Dalam kecelakaan lalu lintas, misalnya, belum tentu penyebab kematiannya kecelakaan itu sendiri. Serangan jantung, misalnya. Sering, bukan? Sehingga shock sebagai penyebab kematian, sedang luka bukan penyebab kematian. Hasil autopsi rumah sakit inilah nanti bisa dijadikan pertimbangan jika prosesnya sampai ke pengadilan. Bedah mayat termasuk Bagian Kedokteran Kehakiman. Tidak setiap rumah sakit punya bagian ini. Di Bandung hanya RS Hasan Sadikin, tempat praktek FK Unpad. Karena itu di saat kriminalitas melonjak seperti belakangan ini, tujuh juru bedah di situ juga kewalahan. Di RS ini setiap bulan 200 mayat masuk kamar mati. Memang tak semuanya diautopsi. Kecuali rata-rata 30 mayat kiriman dari luar -- kepolisian dan rumah sakit swasta. Oyeng, 36 tahun, salah seorang juru bedah itu, mengaku tak pernah semDat mengaso belakangan ini. "Setiap hari adakorban pembunuhan," katanya. Bulan Juni ini, sampai Selasa pekan lalu sudah delapan jena2ah orang dibunuh plus lima korban lalu lintas. Oyeng sudah bekerja sejak 1976, juga tanpa melalui pendidikan khusus. Ia bahkan tak menggunakan penutup hidung. Hanya sarung tangan dan jas laboratorium dikenakannya. Bau yang menusuk itu biasa saja bagi Oyeng. "Setiap hari begitu, jadinya biasa," katanya ringan. Pegawai negeri golongan I-B dengan gaji pokok Rp 14.500 ini juga tak punya perasaan apa-apa setelah selesai menjalankan tugas. "Persoalan di kamar bedah saya lupakan di rumah," katanya. Di rumah, ia mengaku, ia keras dalam mendidik anak. Tetapi "tak ada hubungannya dengan pekerjaan saya," tentu saja. Resep ketenangannya: "Sebelum membedah mayat, saya berdoa dulu." Oyeng menjalankan salat lima waktu. Tapi juru bedah yang paling sibuk mungkin Safari Ika, 51 tahun, di Medan. Selasa pekan lalu, sore hari, ia sedang istirahat di rumahnya di Pasar II Helvetia, Medan. Muncul laki-laki setengah tua -- meminta Pak Safari segera ke rumah sakit untuk membedah mayat, korban minum racun. "Beginilah tugas saya, full time 24 jam," ujarnya. Bisa dimaklumi karena Safari Ika satu-satunya juru bedah di RS Pirngadi itu. Lelaki tamatan SMP ini bahkan sekali waktu bisa menentukan hasil visum. "Meski dia bukan dokter keahliannya melebihi dokter," ujar seorang mahasiswa bagian bedah. Mungkin berlebih-lebihan. Safari ini memang tertarik pada mayat sejak kecil. Ayahnya bekerja sebagai mantri kesehatan, dan itulah sebabnya Safari kecil mulai mengenal mayat. Sejak ia berusia 11, ayahnya sudah memperlihatkan bagaimana mayat diperlakukan. Setelah tamat SMP ia bekerja pada dokter ahli patologi anatomi. Dokter yang juga tetangganya ini hanyak menurunkan ilmu. Safari yang cekatan itu kemudian diperkenalkan kepada dokter berkebangsaan Jerman, dan dari dia kemudian ia mendapat ilmu memvisum mayat. "Saya amat menyenangi pekerjaan ini. Rasa takut dan jijik tak ada lagi," katanya. Bekerja sejak 1953, ia mengaku telah membedah mayat lebih dari 6.000 sosok. Ada yang dibongkar dari kubur dengan bau luar biasa. Ada mayat baru dengan wajah cantik rupawan. Di samping itu, pegawai negeri golongan II-C dengan gaji Rp 74.000 ini merasa memerlukan hasil tambahan untuk menghidupi 10 anak dari dua istrinya. Karena itu sehari-hari dia menyewakan mobil pengangkut jenazah. Mobil itu parkir di depan rumah sakit tempat ia bekerja. Tentu saja laris: calon pemakainya sudah dikontak ketika jenazah masih di kamar mayat. Namun ada yang bikin sedih. Berkali-kali Safari menerima ancaman kalangan keluarga korban yang tak setuju mayatnya dibedah atas perintah pihak kehakiman itu. "Ada yang menganggap bagian tubuh mayat ada yang kami ambil untuk guna-guna," katanya. Kesalahpahaman seperti itu juga terjadi, misalnya, di Sumatera Barat. Ajis, 30 tahun, sudah 10 tahun bekerja di bagian ini di RS Dr. Jamil, Padang, bisa bercerita banyak. "Kami dituduh kejam dan sadis. Sudah jadi mayat, dibedah lagi," katanya menuturkan pengalamannya. Ia pernah dilempari batu. Sudah beberapa kali kaca jendela ruang bedah tempatnya bekerja pecah kena lemparan. Suatu kali, ketika mayat selesai dibedah ia disergap dari belakang. Untung polisi menangkap lelaki itu. "Kami tak aman. Padahal pekerjaan ini untuk kepentingan keluarga korban," ujar Ajis. Di Sumatera Barat hanya ada tiga juru bedah mayat. Salah satunya lagi adalah Syamsudin, yang bekerja baru sejak 1973. Lelaki 34 tahun ini pernah ketakutan -- hampir lari terbirit-birit. Ketika berjaga di ruang mayat, malam hari, ia mendengar suara berderak-derak dari peti jenazah. Seorang temannya memberanikan menyalakan lampu -- dan memeriksa peti jenazah. Ternyata, yang menimbulkan suara tak lain pecahan es balok yang mencair. Jenazah itu memang tak disimpan di lemari es, sehingga perlu es balok. "Sejak itu saya tak percaya hantu. Tapi juga tak berani tidur sendirian. Pikiran bisa macam-macam," tuturnya. Baik Ajis maupun Syamsudin mengakui, protes masyarakat yang kadang tak rela itulah hambatan pekerjaannya. Ini diakui dr. Chaidir Kamil, kepala Bagian Ilmu Kedokteran Kehakiman RS Dr. Jamil. Padahal "pembedahan mayat bukan untuk mengambil organ dalam tubuh, tetapi memeriksa saja," kata dokter tamatan UGM ini. Selain ancaman, keluhan Syamsudin adalah gaji yang kecil. Ia menerima Rp 35.000 sebulan. "Pekerjaan ini mestinya dibayar mahal. Pembedahan itu penting sekali," katanya. Padahal "tak ada senangnya mengurusi mayat".

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus