Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KANTOR Cabang Bank Negara Indonesia di Singapura mendadak sibuk Senin pekan lalu. Hari itu, sebuah pertemuan mahapenting akan dilangsungkan. Untuk keperluan ini, Direktur Utama BankNegara Indonesia, Saifuddien Hasan, dan Direktur Kepatuhan MohammadArsjad sampai khusus terbang dari Jakarta. Seperti diungkap seorang petinggiBank BNI, mereka datang ke Negeri Singa untuk sebuah agenda tunggal:berunding dengan Maria Pauliene Lumowa alias Erry, salah satu aktor utamapembobolan Rp 1,7 triliun dana BNI.
Saifuddien membenarkan adanya pertemuan itu. Tujuannya, kata dia,semata untuk mengupayakan pengembalian kewajiban Erry Lumowa dkk. "Kamitidak membuat kesepakatan khusus," Saifuddien menegaskan seraya menolakmembeberkan isi pertemuan.
Entah karena negosiasi menumbuk jalan buntu atau lantaran sebab lain,lima hari setelah perundingan di Singapura, Markas Besar Kepolisian RImelansir pengumuman. Dari 11 orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka kasuskorupsi, pelanggaran UU Perbankan, dan penggelapan ini, Erry dan tujuhorang lainnya dinyatakan sudah dimasukkan dalam daftar buron.
Bersama Erry, juga tertera nama Adrian Waworuntu, bankir kawakan yangselama ini dikenal dan jago memutar uang. Berduet dengan Endang UtariMokodompit, anak Ibnu Sutowo yang lama menjadi teman dekatnya, Adrian pernahterlibat kasus Bank Pacific pada tahun 1995. Pada Rabu silam, sebelum iadinyatakan buron, mingguan ini masih mewawancarai dia di sebuah hotel berbintang diJakarta.
Adapun tiga tersangka lainnya—Kepala Bagian Customer Service LuarNegeri BNI Cabang Kebayoran Baru, Eddy Santoso; Kepala Cabang BNIKebayoran Baru, Kusadiyuwono; dan Jeffrey Baso, salah satu pengusaha yang dinilaiterlibat—dinyatakan telah ditahan.
"Kami serius mencari mereka. Kalau tahu mereka ada di mana, pastilangsung kami tangkap. Jangan meragukankami," kata Direktur Ekonomi dan Khusus Kepolisian RI, Brigjen Samuel Ismoko.
Hari-hari ini, skandal yang melilit BNI, bank yang 99 persen sahamnyadimiliki pemerintah, terus bergulir kencang. Banyak pihak merasa gemas sekaliguswaswas. Soalnya, inilah skandal perbankan terbesar setelah pemerintah harusmenguras anggaran lebih dari Rp 600 triliun untuk merekap sejumlah bank,termasuk milik negara, yang ambruk setelah tercekik kredit macet.
Kisahnya bermula saat PT Gramarindo Mega Indonesia, yang menurut hasilaudit internal BNI adalah perusahaan milik Erry Lumowa dan AdrianWaworuntu, mengajukan permohonan pembiayaan ekspor impor dari BNI CabangKebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Gramarindo membutuhkan fasilitas itu, konon, untuk membiayai eksporsejumlah komoditas, seperti pasir kuarsa dan minyak residu, kenegara-negara Afrika dan Timur Tengah. Kendatibaru menjadi nasabah sekitar dua bulan, permohonan itu langsung diprosessejak Oktober 2002. Edy Santoso, kepala bagian hubungan nasabah luar negeridi cabang itu, merupakan pembuka akses utama Gramarindo ke bankberlogo perahu layar itu.
Singkat cerita, fulus dengan lancar mengalir ke pundi-pundiGramarindo, tiap kali mereka mengajukan wesel ekspor berjangka dari pembelinya diluar negeri. Padahal, wesel ekspor itu tidak berasal dari bank-bankkoresponden BNI, tapi dari sejumlah bank yang namanya pun langka terdengar, misalnyaWall Street Bank of Corporation di Kepulauan Cook atau Dubai Bank of Kenya.Sejatinya, ini praktek terlarang. Namun, entah bagaimana, dengan lihai Edyberhasil meyakinkan para atasannya bahwa Erry Lumowa, Adrian Waworuntu, danGramarindo memang merupakan nasabah bonafide.
Berkat tangan orang dalam ini, Erry dkk. leluasa menyedot brankas BNImelalui transaksi letter of credit (L/C).Hingga pertengahan Juli tahun ini, kawanan ini berhasil meraup dana sekitar Rp1,7 triliun melalui wesel ekspor berjangka yang dijual oleh Gramarindo danenam perusahaan lainnya ke BNI. Tak kurang, 84 lembar L/C senilai US$ 131,6 jutadan 56,1 juta euro telah mereka cairkan.
Untunglah, sepandai-pandai Edy "melompat", segala tipu daya ituakhirnya terbongkar juga. Alarm di Divisi Treasury BNI, meski anehnyabegitu terlambat, berdering pada Juni 2003, ketika terjadi peningkatan angkakewajiban dalam mata uang euro di atas tingkat rata-rata. Biasanya, kata seorangpetinggi BNI, transaksi euro hanya mencapai 3-5 juta sebulan.
Direksi terhenyak. Tim audit BNI buru-buru diturunkan. Dan benarsaja. Penelisikan mereka menemukan serangkaian pelanggaran fatal dalampemrosesan L/C Gramarindo.
Penyelidikan mengarah kepada satu kesimpulan: Gramarindo tidakpernah melakukan ekspor. Buktinya, L/C yang mereka ajukan selalu mengandungcacat. Kadang-kadang tidak disertai dokumen pemberitahuan ekspor barang, dilain waktu giliran dokumen pengapalannya (bill of lading/BL)yang fiktif.
Jeffrey Baso, bekas suami Erry dan pemilik perusahaan pelayaran PTBahtera Bintang Selatan yang namanya tertera dalam dokumen pengapalan palsu,bahkan mengaku tidak tahu-menahu apa benar Gramarindo melakukan ekspor.Ia berdalih telah dijebak karena seluruh spesimen dokumen pelayaran yangia berikan, termasuk tanda tangannya, dipalsukan oleh Erry dan kawan-kawan.
Nasib "sial" Jeffrey masih berlanjut.Ia mengaku telanjur memberikan surat kuasa rekening atas duaperusahaan keluarganya, PT Triranu Caraka Pacific dan PT Basomasindo. Ia tak risaumenyerahkan surat kuasa itu karena sebelumnya telah menjual beberapaperusahaan kosong ke Erry, PT Bhinekatama Pacific, PT Magnetique Esa Usaha, PTTriton, dan PT Sumber Sarana Bahtera Jaya. "Siapa yang tahu kalau saya malahdijadiin monyet," ia mengumpat.
Petunjuk paling telak tentang ekspor fiktif ini adalah kenyataan bahwaseluruh L/C kelompok Gramarindo dilunasi oleh uang hasil transfer dariberbagai perusahaan yang terkait dengan Gramarindo, bukan oleh bank penerbitL/C. Bahkan ada beberapa L/C yang pelunasannya langsung dilakukan dengancara mendebet rekening Gramarindo.
"Ini namanya looping," ujar sangpetinggi BNI, yang mengaku baru saja dilapori seluk-beluk kasus ini. Secarasederhana, taktik ini dilakukan dengan memanfaatkan selang waktu antarajatuh tempo utang wesel ekspor berjangka yang terdahulu dan yang berikutnya.Istilah populernya, gali lubang tutup lubang. Karena tergolong strategi usang,looping biasanya hanya bisa tertutupi dalamrentang waktu yang singkat. Tak mengherankan jika banyak pihak terhenyaksaat ilmu penipuan yang terhitung cetek ini bisa membobol bank pemerintahterbesar kedua di Indonesia ini, dalam waktu hampir satu tahun.
Pertanyaan mendasarnya, mungkinkah kedua pejabat di tingkat kantorcabang ini dapat beraksi tanpa terendus direksi, atau setidaknya pejabat dikantor pusat? Pasalnya, pengawasan di BNI terhitung ketat. Selain per sektor,pengawasan juga dilakukan per wilayah. "Di tiap wilayah, ada penyelia yangkhusus memonitor," ujar Saifuddien menjelaskan.
Keheranan itu terjawab setelah pihak berwajib mencokok Edy danKusadiyuwono pekan lalu. Edy, yang diwawancarai secara tertulis, mengaku telahmemberikan laporan ke kantor pusat. "Setiap wesel ekspor bayar yang dinegosiasitelah dilaporkan ke Kantor Pusat Divisi Internasional," kata pegawai BNI yangdikenal mumpuni dalam transaksi ekspor impor ini kepada TEMPO.
Penegasan bahwa direksi sebenarnya telah lama mengetahui adanyatransaksi L/C fiktif itu juga datang dari Aris Anwari, Direktur Pengawasan Bank IIBank Indonesia. "Saat itu jumlah L/C yang dinegosiasi masih sedikit," kata Aris,mengutip pernyataan Mohammad Arsjad, Direktur Kepatuhan BNI. DireksiBNI kala itu hanya memberikan teguran, tapi ternyata tak mempan menghentikanpengucuran dana ke Gramarindo.
Teguran tanpa gigi itu bisa jadi terkait dengan sebuah skema yangdipaparkan dalam surat "pembelaan" anonimyang diperoleh mingguan ini. Dalam berkas yang disebut sumber TEMPOsebagai penjelasan tak resmi Ollah Agam, Direktur Utama PT Sagared Team (indukGramarindo), dipaparkan bahwa dana hasil penjaminan L/C kelompokGramarindo merupakan bagian dari skema pengambilalihan utang macetdi BNI sebelumnya senilai US$ 20 juta. Asalnya disebut-sebutdari tiga debitor BNI.
Sebagai imbalan menelan kewajiban lama yangmampet itu, Gramarindo diiming-imingi fasilitas "proforma L/C" hingga senilai US$ 200 juta. Tak jelas apa yangdimaksud dengan "proforma L/C itu". Soalnya, ini terang bukanfasilitas yang lazim. Sumber TEMPO menduga inisemacam pengucuran uang di muka, sebelum ikatan kredit dilakukan.
Soal ini dibenarkan seorang petinggi BNI dan sumberTEMPO yang mengenal dekat Adrian Waworuntu. "Saya khawatirkasus semacam ini banyak terjadi di BNI," kata si pejabat BNI.
Singkat cerita, dana dari pencairan L/C antah berantah itulah yangdipakai Gramarindo untuk mengeruk dana. Gramarindo sendiri hanya perusahaanyang mengandalkan satu perusahaan tambang marmer di Kupang. Sekadarperbandingan, PT Citatah Marmer, yang memiliki lebih dari satu konsesipertambangan, hanya memiliki nilai aset Rp 220miliar. Jika neracanya tidak digelembungkan lebih dulu,Gramarindo terlihat seperti katak yang hendak menelangajah, saat mengambil oper utang lawas itu.
Cara paling mudah untuk mengeduk duit apalagi kalau bukan membeliaset yang diobral di Badan Penyehatan Perbankan Nasional. Mengingatharga jual di BPPN biasanya didiskongila-gilaan—berkisar 30 persen—mudah ditebak Gramarindoakan dengan mudah memperoleh untung berkali lipat.
Untuk itu, Erry dan Adrian Waworuntu lalu membeli sebuahperusahaan untuk dijadikan kendaraan investasi.Namanya PT Brocolin International. Di perusahaan itu,Erry menguasai 70 persen saham, sementara sisanyadibagi rata antara Adrian Waworuntu dan Jeffry Baso,mantan suami Erry. Nakhoda kapal Brocolin dipegang oleh Dicky IskandarDinata, mantan petinggi Bank Duta yang pernah masuk bui gara-gara terjeblospermainan valas.
Baik Adrian maupun Dicky mengaku tak tahu-menahu dana yang masukke Brocolin berasal dari dana haram BNI.
Sayang, Erry, yang dihubungi melalui sang kakak, HarryLumowa, tak kunjung meluangkan waktu wawancara seperti yang diajanjikan.
Melalui pesan singkat di telepon genggam, Ollah Agam jugamenolak memberikan penjelasan lebih lanjut, "Tunggusaja hingga masalah ini selesai." Ia punmembantah pernah menyusun jawaban tertulis tentangkasus ini.
Sementara itu, dari pihak BNI, hanya muncul jawaban diplomatismengenai kebenaran skema ini. "Ini informasibaru buat kami," ujar Direktur Utama BNI, Saifuddien.
Terlepas dari keabsahan skema itu, hasil penelusuran TEMPOterhadap arus dana memperlihatkan, bersama Erry Lumowa, AdrianWaworuntu-lah—baik secara langsung maupuntidak—yang tercatat sebagai pihak yang palingbanyak kecipratan duit (lihat infografik).
Ini seakan menegaskan kecurigaan sebagian kalangan bahwa Adrianmemang otak utama di balik segala rekayasa ini. Dengarkan pengakuanEdy Susanto. Tanpa tedeng aling-aling,saksi kunci ini "bernyanyi" bahwa Adriandan Erry Lumowalah pemilik Gramarindo dan Sagared yang sebenarnya.
Kesaksian Edy pun seakan menjawab sebuah tanda tanya: jika Adrianmemang tak terlibat sejak awal, buat apa dia akhirnya bersedia menandatanganisurat jaminan pribadi untuk melunasi semua kewajiban Gramarindo.
Tapi segala kecurigaan itu ditepis Adrian. "Saya tidak memilikiselembar saham pun di Gramarindo," katanya. Bahkan menginjak kantor kelompokSagared dan Gramarindo pun, ia mengaku tidak pernah. "Orang sering keliruantara saya dan Adrian Pandelaki Lumowa, adik Ibu Erry," ia berkilah. AdrianLumowa adalah salah satu petinggi Gramarindo.
Ia juga berkelit dengan kalem ketika ditanya tentang begitu banyak danayang tersedot ke rekening pribadi dan tujuh perusahaan yang terkait dengandirinya, "Itu semua ada transaksinya." Priayang dikenal dekat dengan kalangan penegak hukum itu juga menyatakan sebagiandari dana hanya numpang mampir di rekening pihaknya. "Setelah itu, keluardan kembali ke BNI," ujarnya.
Sumber TEMPO melemparkan dugaan menarik tentang salah satu motifAdrian dalam patgulipat ini. Menurut dia, Adrian belakangan kerapmenyambangi tim likuidasi Bank Pacific di BI."Dia mau membeli Lido kembali," sumberitu menduga. Lido Lake Resort adalah proyek properti di Sukabumi yangpernah dimiliki Endang Mokodompit sebelum diambil alih seiring denganambruknya Bank Pacific.
Dugaan ini diperkuat dengan kenyataan bahwa Sagared Team, indukGramarindo, telah mengambil alih konsesi pembangunan dan pengelolaan jalantol Ciawi-Sukabumi dari tangan Bukaka Marga Utama. "Kalau jalan aksesitu jadi, apa nilai Lido tidak melonjak?"kata si sumber.
Menghadapi tudingan itu, Adrian tetap bergeming. Ia mengaku bertemu untuk tim likudasi BI karena "mendapat calon investor yang berminat mengambil oper aset Bank Pacific." Soal rencana mengambil kembali Lido? "Duitnya tidak cukup kalau cuma sebegitu," ia menjawab, dengan sebuah ketenangan yang luar biasa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo