Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Sihir Penguasa Tujuh Gunung

Nama-nama yang terkait skandal BNI telah bertemali lama. Mereka pernah sama-sama berbisnis pasir, berteman karib, dan terikat hubungan keluarga.

2 November 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PADA suatu petang Maret lalu, Dicky Iskandar Dinata terperangah. Ketika itu, bankir kawakan yang sempat terjerat skandal Bank Duta ini tengah bertandang ke sebuah rumah di kawasan Ragunan, Jakarta Selatan. Di sana ia mengaku tertegun. Di hadapannya, ia melihat sebuah kediaman yang luar biasa megah bak istana: sebuah kompleks yang luas terdiri dari lima rumah sekaligus. Di pelatarannya, paling tidak ada enam buah sedan Mercedes seri terbaru berderet-deret.

Tak lain, si empunya rumah adalah Maria Pauliene Lumowa, wanita pengusaha yang namanya kini berkibar-kibar dalam skandal pembobolan Bank BNI. Perempuan berperawakan subur itu biasa dipanggil Erry. Usianya menjelang senja, 55 tahun. Meski berdarah asli Manado, Erry tercatat sebagai warga negara Belanda.

Itulah awal perkenalan Dicky dengan Erry Lumowa, sebelum belakangan ia ditunjuk menjadi Presiden Direktur PT Brocolin International, salah satu perusahaan milik Erry yang terbukti menerima aliran dana dari skandal BNI.

Dicky mengaku, saat itu datang menemui Erry karena diajak sahabatnya, Adrian Waworuntu. Perkenalannya dengan Erry diawali ketika Adrian menawarinya untuk mengelola dana investasi lebih dari US$ 100 juta. "Ini dana dari Israel," Dicky menirukan Adrian. Untuk itulah, mereka lalu bertamu ke rumah Erry, yang dibilang Adrian menjadi kuasa dari sejumlah penyandang modal dari Negeri Yahudi. Konon, Erry sendiri pernah tinggal 14 tahun di Israel dan punya seorang ayah angkat di sana.

Usahanya pun terhampar di mana-mana, mulai dari Indonesia, Belanda, Amerika, sampai Australia. "Di Kupang, dia punya perusahaan marmer yang menguasai izin penambangan di tujuh gunung," kata Dicky lagi, "Bagaimana saya tidak percaya?"

Dicky sendiri mengaku merasa tertipu. Ia menyatakan tak tahu-menahu kalau duit yang mengalir ke perusahaannya berasal dari tipu muslihat L/C fiktif.

Erry, kata seorang sumber TEMPO yang pernah mengenalnya, memang pandai meyakinkan orang. Selalu tampil gemerlap dengan berlian mahal, perempuan bertubuh subur ini punya kemampuan memikat luar biasa.

Suatu saat, ia mengaku pernah menyaksikan sendiri bagaimana sang nyonya besar membuat dua pejabat tinggi Provinsi Irian Jaya terpesona. September silam, Erry pernah datang ke Papua. Di hadapan mereka, sang madame dengan lancar menjabarkan pendapat para ahli geologi Israel tentang kekayaan melimpah di Bumi Cenderawasih. "Dia juga mengutip Alkitab segala untuk menjelaskan Papua," ujar sumber itu.

Selain Erry, satu nama lain yang juga ramai diberitakan menjadi arsitek dari segala tipu daya ini adalah Adrian Waworuntu.

Adrian, lelaki kelahiran Tomohon, Sulawesi Utara, bukan wajah baru dalam dunia bank. Dia pernah lama bekerja di Bank of America. Setelah keluar dari bank asing itu, Adrian digandeng Endang Utari Mokodompit, putri sulung Ibnu Sutowo—pendiri dan Direktur Utama Pertamina yang mewariskan utang dan skandal korupsi senilai US$ 10,5 miliar yang pernah nyaris membangkrutkan Republik.

Awalnya, nama Endang sempat meroket ketika dia, bersama Adrian, membawa Bank Pacific, yang sahamnya dimiliki Bank Indonesia dan keluarga Ibnu Sutowo, sebagai bank terbaik pada 1994. Dia juga lalu berduet dengan Adrian, menjalankan bisnis dengan panjiPT Aditarina Arispratama atau AA Group.

Sejak itu, sampai sekarang, Adrian dikenal sebagai operator puncak AA Group. Tapi masa emas itu tak berlangsung lama. Setahun kemudian Adrian dan Endang mengukir geger yang berbuntut pada ambruknya Bank Pacific.

Pada 1995, gara-gara Endang getol mengucurkan kredit untuk kelompok perusahaannya sendiri, Bank Pacific terbelit kredit macet sekitar Rp 1 triliun. Sudah begitu, bank ini juga tersandung masalah commercial paper (surat utang) senilai Rp 800 miliar. Pacific kemudian diakuisisi Bank BNI, sebelum akhirnya dilikuidasi pemerintah pada November 1997.

Kolapsnya Pacific merembet. AA Group turut kelimpungan memikul kredit macet Rp 2,3 triliun. Sejak tiga tahun lalu, aset dari lima perusahaan milik grup itu diambil alih Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).

Dan nama Adrian kini muncul lagi setelah kasus L/C fiktif Bank BNI meledak di media massa. Dikisahkan sumber TEMPO, dari kucuran dana gelap itu ia sudah berancang-ancang mengambil oper Lido Lake Resort, proyek properti seluas 1.700 hektare di Sukabumi, Jawa Barat, yang sekarang berada di bawah penguasaan tim likuidasi Bank Indonesia setelah Bank Pacific ambruk.

Reputasi Adrian sudah kondang. Ia terkenal jago dalam urusan otak-atik keuangan. Skandal Bank Pacific bahkan tak mampu menjeratnya. September lalu, ia diberitakan telah dianugerahi surat perintah penghentian penyidikan oleh Kejaksaan Agung. Dalam urusan hukum, ia juga licin bak belut. Kabarnya, ini karena ia selalu didampingi seorang pengacara yang memiliki hubungan spesial dengan seorang jenderal petinggi di Kepolisian RI.

Persekutuan Adrian dan Erry bermula ketika sama-sama berbisnis di Riau. "Waktu itu kami berada di konsorsium pasir," ujar Adrian. Yang dimaksud adalah PT D'Consortium Indonesia, semacam konsorsium perusahaan penambangan pasir yang digagas Dicky Iskandar Dinata. Di sini Dicky menjabat CEO, sedangkan Adrian komisaris.

Ceritanya, proyek itu butuh satu perusahaan untuk program pengembangan masyarakat di Riau. Awalnya, pekerjaan itu dipegang oleh Pemerintah Daerah Riau. Tapi, karena dinilai tak efektif, lalu diambil alih konsorsium. Saat itulah Erry muncul. Salah satu perusahaannya lalu dikontrak untuk proyek di sekitar Karimun dan Bintan. "Erry punya pengalaman dalam proyek pembangunan komunitas di Kupang dan Irian," Adrian berkisah.

Ketika itu Adrian mengeduk pasir lewat PT Sumber Sarana Bintang Jaya. Di sini Harry Lumowa, kakak Erry, mengantongi lima persen saham. Menurut Adrian, sejak Januari silam, ia telah melego seluruh kepemilikannya di perusahaan ini kepada Erry, melalui PT Sagared Team—salah satu perusahaan yang menikmati kucuran dana dari skandal BNI. Dari sini hubungan Adrian dan Erry jadi kian kental.

Urusan pasir ini pulalah yang menjadi titik temu sejumlah nama lain yang berkait dengan skandal BNI. Dalam catatan TEMPO, salah satu tersangka kasus BNI, Jeffrey Baso, juga pernah turut mengeduk pasir laut di Riau lewat perusahaan PT Bahtera Bintang Selatan. Bersama Adrian, Jeffrey juga turut memiliki saham di PT Sumber Sarana Bintang Jaya.

Dari penelisikan TEMPO terhadap sejumlah rekening bank, nama-nama di atas memang terlihat ikut menerima cipratan duit dari L/C bermasalah itu (lihat infografik). Dari total dana Rp 1,7 triliun, ada uang senilai US$ 500 ribu plus Rp 5,8 miliar yang meluncur ke rekening Jeffrey Baso. Harry Lumowa pun menerima duit sekitar Rp 2,3 miliar.

Menurut pengakuan Jeffrey, duit itu hasil penjualan saham dia di PT Sumber Sarana Bintang Jaya. Adapun yang lainnya masih belum jelas peruntukannya.

Nama-nama itu pun ternyata bertemali melalui hubungan keluarga dan pertemanan. Adrian, misalnya, lama dikenal punya hubungan sangat dekat dengan Endang Utari. Adapun Jeffrey Baso tak lain adalah mantan suami Dottie, saudara perempuan sekandung Endang Utari. Adrian sendiri mengaku mulai mengenal Erry Lumowa ketika perempuan itu menjadi istri Jeffrey Baso. Setelah bercerai dengan Dottie, Jeffrey mengawini Erry. Tapi perkawinan ini pun tak awet. "Sekitar tahun 1994 mereka bercerai," ujar Adrian.

Adapun Harry Lumowa adalah kakak kandung Erry. Adik mereka, Adrian Pandelaki Lumowa, pun tercatat sebagai salah satu pemilik PT Gramarindo Mega Indonesia (perusahaan penerima dana BNI), selain juga menjabat Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Taekwondo Indonesia.

Tapi, di luar soal tali-temali hubungan itu, satu pertanyaan masih menggantung: apa betul Erry-lah otak utama dari pembobolan BNI ini, sebagaimana yang selalu dikesankan Adrian dkk?

Sayang, Erry tak mau berkomentar. Menurut kakaknya, Harry Lumowa, adiknya masih berada di Singapura. Harry mengaku telah berembuk dengan Erry mencari jalan keluar dari kasus itu. Dia menegaskan, semua kredit ekspor itu bakal beres. "Kalau cuma bayar, itu urusan gampang," ujarnya kalem. Menurut dia, bisnis Erry punya kinerja bagus. Satu unit usaha saja, kata dia, bisa laku Rp 1,6 triliun.

Tapi Harry tak mau menjawab, kalau begitu adanya kenapa Erry tak datang saja ke Indonesia untuk menyelesaikan segala persoalan. Katanya beralasan, "Kami masih menunggu reaksi dari BNI."

Dan reaksi itu kini sudah datang. Jumat kemarin, Erry bersama Adrian Waworuntu dan tersangka lainnya resmi diumumkan masuk daftar buron Kepolisian RI.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus