DESA Sidonganti serasa jauh dari dunia. Jalan berbatu yang menuju ke situ sering disebut "makadam". Meliuk-liuk, naik-turun, dan berhadapan dengan mulut jurang, yang membuat perjalanan bisa begitu melelahkan. Untuk menempuh jarak 20 km dari kota kecamatan itu, diperlukan sekitar satu jam dalam Colt. Padahal, lalu lintas -- kalau boleh disebut lalu lintas -- sangat lengang. Tidak macet seperti di kota-kota besar. Sesekali tubuh Colt terguncang hebat, karena sopir membanting setir terlalu keras ketika melewati tikungan tajam. "Tidak usah kaget, Mas. Ya, begini ini jalannya," kata Suyanto, pada wartawan TEMPO. Lalu sopir terpaksa mendorong tongkat persneling pada gigi satu -- agar pikap butut itu tetap mau beringsut. Lalu di sana muncullah desa "luar biasa" itu. Dari kejauhan tampak dibelah merahnya jalan tanah. Rumah penduduk bertebaran diselingi pohon-pohon kelapa yang mencoblos langit. Kemarau telah menyesakkan mata dengan memperlihatkan kegersangannya. Hanya padi bunting yang sedikit menetralkan pemandangan menyedihkan itu. Terlihat bayang-bayang hutan jati di belakangnya. Ini khas warna pedesaan di wilayah Kabupaten Tuban (juga Bojonegoro) -- Jawa Timur. Untuk pendatang, Desa Sidonganti memang tak berarti apa-apa. Tapi bagi para polisi hutan di wilayah KPH Jatirogo, nama Sidonganti sama menakutkannya dengan hantu. "Penduduk desa itu," kata seorang petugas Perhutani, "tak ubahnya seperti gerombolan perampok." Cerita yang beredar di luaran menyebutkan bahwa warga desa itu tak suka kedatangan orang luar. Lebih-lebih polisi atau aparat keamanan lain. Sewaktu TEMPO hendak pergi ke sana, seorang polisi di Kerek -- kota kecamatan setempat -- menasihati. "Untuk waktu sekarang, kalau bisa Anda jangan ke sana. Gawat." Polisi tadi tak mengada-ada. Dua bulan lalu, polisi hutan bentrok dengan gerombolan pencuri kayu asal Sidonganti. Kejadian seperti ini hal biasa. Tapi, yang membuat tidak biasa adalah tewasnya dua orang dalam peristiwa itu. Yakni polisi hutan Suwarni dan seorang maling kayu jati yang tersohor bernama Sambling. Di kawasan hutan-hutan jati yang tentu sepi berita, kisah bentrokan itu masih merupakan berita panas. Mirin, seorang yang sepuluh tahun lalu menjadi petugas Perhutani, menambahkan bahwa kawanan penjarah hutan suka menyikat apa saja. Kalau bukan kayu, apa pun jadi. Pohon-pohon pisang milik penduduk pun tak urung jadi korban -- ditebangi seenaknya bila para pencuri itu lagi kesal. Bila perlu, kabarnya, mereka segan merampok harta milik pendatang yang dijumpai di hutan. Cerita Mirin mungkin berlebihan karena tak ada contoh-contoh kongkret. Tapi itu pun sudah membikin ketar-ketir orang luar yang hendak bertandang ke sana. Apalagi fakta: pernah seorang petugas Perhutani yang hendak mengusut pencurian kayu jati mati dikeroyok penduduk setempat. Tak ada keterangan, tahun berapa pengeroyokan itu terjadi. Sidonganti terasa amat lengang. Di satu pelataran rumah, tiga wanita asyik mencari kutu tanpa menghiraukan orang-orang yang lewat. Suasana rumah Pak Lurah pun tak lepas dari gigitan sepi. M. Aji, kepala desa setempat, sedang pergi ke kantor kecamatan. Tak bisa dipastikan pulangnya. "Kalau lewat hutan, pulangnya bisa sampai malam hari," kata istrinya, menunjuk sebuah jalan setapak ke arah hutan yang bisa dilewati oleh pejalan kaki. Di depan rumah Pak Kades (kepala desa), tampak "kesibukan utama" warga desa. Para lelaki, wanita dan anak-anak lewat dengan membawa beban kayu rencek -- dahan kering dan akar-akaran yang dipotong kecil-kecil. Sesekali kelihatan batang jati muda. yang sebenarnya dilarang diambil, terselip pada rencek itu. Dari mana lagi semua itu kalau tidak dari hutan, untuk kemudian dijual sebagai kayu bakar. Dalam setengah jam, tak kurang dari 15 orang lewat, masing-masing membawa rencek. "Mereka mencari kayu setelah di sawah sudah tak ada pekerjaan," kata Bu Lurah. Lebih dari itu, warga Sidonganti sulit terhindar sama sekali dari aktivitas yang berbau kriminal. Biasanya terjadi bila panen gagal. "Kalau sawah tak menghasilkan panen, ya hutanlah sasarannya," kata Lasmiran, jagabaya setempat. Bila dikatakan "hutan yang menjadi sasaran," berarti yang mereka curi adalah kayu jati yang memang bernilai jual tinggi. Bukan lagi rencek. Seperti di desa-desa sekitar hutan jati lainnya, kemiskinan menggelayut kuat di pundak penduduk Sidonganti. Kehidupan seorang gunu SD saja sudah merupakan kemewahan bagi hampir seluruh warga yang berjumlah 3.900 jiwa itu. Ada sawah memang. Luasnya cuma 41 ha. Sedang tanah ladang mencapai luas 1.137 ha. Seperti dikatakan M. Aji, tanaman yang tumbuh di desa itu "hanya kacang tanah dan jagung." Padi tak banyak artinya, hampir dapat dikatakan, tak ada sama sekali. Kehidupan pamong setempat pun memperlihatkan keminusan desa. "Pamong desa sini tak punya bengkok (tanah sawah jatah bagi setiap pamong selagi mereka menjabat)," kata M. Aji. Tentu saja mereka juga tidak mendapat gaji bulanan seperti halnya aparat kelurahan di kota-kota. Obyekan juga merupakan barang mustahil. Maka, kehidupan pamong sehari-harinya bergantung pada ladang milik masing-masing. Selain itu, yang sangat langka, mereka juga "digaji" penduduk. Jumlah "gaji" itu tak banyak. Sehabis panen, setiap keluarga menyerahkan sepuluh biji -- bayangkan cuma sepuluh -- jagung. Kendati demikian, para pamong Sidonganti sudah sangat bersyukur. "Kalau tak dari sumbangan penduduk, barangkali kami tak merasakan gaji sama sekali," kata Lasmiran. Untungnya, penduduk setempat manut-manut saja untuk menyisihkan sejumput dari sedikit hasil panen mereka. Kendati terimpit kemiskinan, warga Desa Sidonganti bisa tertawa bangga. "Hebat, kan, kami bisa menyumbang negara lain." Ini kata Lasmiran. Tahun 1986, pemerintah memutuskan membantu korban bencana kelaparan di Etiopia. Ironisnya, penduduk Sidonganti ikut kebagian beban, sementara banyak masyarakat lain yang hidup mewah tak mengeluarkan uangnya sepeser pun. Setiap penggarap tanah sawah di Sidonganti diwajibkan membayar Rp 5 ribu setiap kali panen. Sampai akhirnya terkumpul Rp 500 ribu -- jumlah yang sangat besar untuk ukuran desa itu. Untuk urusan curi-mencuri kayu jati, Lasmiran mengakui bahwa ada warganya yang terlibat. Tapi, katanya, itu hanya dilakukan oleh sebagian kecil penduduk. "Saya menyangkal kalau semua penduduk sini disebut perampok semua." Mencuri kayu jati bukan "kerja monopoli" warga setempat. Desa-desa lain juga sama terlibatnya. Di antaranya, walaupun tak disebut Lasmiran, Desa Tengger -- tetangga desa Sidonganti yang mempunyai latar sosial ekonomi serupa. Sulit dipastikan kapan tradisi mencuri itu dimulai. Tentang ini, Mbah Ponidin yang berusia 60 tahun berkata gampang, "Sejak ada hutan, penduduk desa ini sudah mencuri." Ia sendiri mengaku sering maling kayu, karena kelaparan. "Saya ini buruh tani. Kalau sedang panen ya ada rezeki, kalau musim kemarau ya mencuri." Sekarang masih mencuri, Mbah? "Tidak lagi," jawabnya tegas. Tapi ia berhenti mencuri bukan karena tobat, melainkan karena kakek enam cucu itu sudah merasa gaek. Apalagi setiap bulan ia mendapat kiriman uang dari seorang anaknya yang menjadi pembantu rumah tangga di Surabaya. Tak bisa dipungkiri, kesulitan ekonomilah yang menjadi alasan utama mengapa penduduk melakukan pencurian. Ini juga dikatakan Kepek, 30 tahun. sewaktu ia terbaring di rumah sakit umum Tuban, akibat bentrokan berdarah dengan petugas. Menurut pengakuannya, ia sudah tak ingin mencuri lagi. "Tapi Kakak mendesak terus." Pencurian itu berakibat pada kematian kakaknya, Sambling. Bagi Perhutani, sebagai pihak pengelola hutan jati, kematian Sambling mungkin disyukuri. Di Sidonganti nama itu juga disegani. Ia dikenal sebagai warga yang berdarah tinggi, dan suka menantang duel siapa saja yang tak disenanginya. Tapi di mata keluarganya, dia laki-laki yang sangat bertanggung jawab. Adik perempuan Sambling yang bernama Repet sempat menuturkan kegagahan kakaknya. Lima tahun silam, ayah mereka meninggal. Sambling mengambil alih peran ayah untuk menghidupi keluarga bersepuluh saudara itu. Sambling sendiri sempat menikahi Suwarti, penduduk sedesa. Tapi kemudian Suwarti meninggal "karena sakit panas" lantaran tak cukup biaya buat mengobatinya. Sejak itu, Sambling semakin memusatkan perhatian pada adik-adiknya. Menurut Repet, keluarga mereka memang punya ladang seluas setengah hektar. Tapi hasilnya sangat tidak memadai. Paling-paling hanya enam kuintal jagung setiap panen. Itu pun harus dibagi dengan enam saudaranya yang lain. Dari hasil ladang itulah keluarga tersebut hidup. Jika kurang, misalnya untuk membeli pakaian atau mencari tambahan lauk, "ya harus mencuri kayu," kata Repet. Yang kini memperburuk nasib keluarga adalah kenyataan bahwa Sambling telah mati. Sedangkan Kepek ditahan polisi. Bisa dipastikan kematian Sambling, penahanan Kepek, atau nasib pahit lainnya, belum cukup untuk menghentikan arus pencurian kayu di Sidonganti. Pamong desa sudah berkali-kali memberi penyuluhan. Namun, mencuri kayu agaknya sulit dihapus, baik dari bumi Sidonganti maupun desa-desa lainnya di Kecamatan Kerek yang tanahnya begitu tandus. Penyuluhan tok tak bisa mengenyangkan orang lapar. Sementara itu, kehidupan penduduk setempat juga belum bisa lepas dari kebaikan hati hutan jati. Lihatlah, seorang bocah tanggung, berbadan kecil, terlihat berada di balik hutan jati Jatirogo. Bermain? Tentu tidak. Ia sedang mencari rencek. Supangat, nama anak itu, lebih senang mencari kayu daripada pergi sekolah. "Buat apa sekolah, tak dapat duit," kata Supangat, murid kelas tiga SD yang lari itu. Setiap hari Supangat harus mengumpulkan dan memikul kayu rencek seberat 30 kg. Hasilnya hanya Rp 500, langsung diberikannya pada orangtuanya yang juga hidup dari mencar rencek. "Kalau saya tak kerja, dari mana saja dapat makan?" kata Supangat. Ia benar. Tapi kalau tidak sekolah, akibatnya nanti tidak ada bekal untuk mengubah nasib. "Supangat-Supangat" Sidonganti tampaknya begitu sulit untuk keluar dari lingkaran kemiskinan di desanya yang cepat atau lambat -- akan mendorong mereka pada akhirnya untuk melakukan tindak kriminal: menebang pohon jati milik negara dan menjualnya. Belakangan, tingkat pencurian kayu menyurut. Tidak seperti sepuluhan tahun lalu, ketika -- sedikit banyak -- hampir setiap keluarga di sana adalah: "pencuri". Masalahnya, areal hutan jati semakin menipis. "Hutan di sini kan sudah habis semua," kata Lasmiran. Tidak dihabiskan oleh pencuri tentu saja. Tapi ditebang sendiri oleh Perhutani. Walaupun jumlah pencuri kayu jati sudah semakin berkurang, kesan angker Sidonganti masih menjadi cerita yang tak habis-habisnya dikaji. Agaknya, warga Sidonganti sendiri tahu persis bahwa mereka dicurigai sekaligus ditakuti oleh pihak luar. Khususnya petugas. Mereka terbiasa hidup dalam kecurigaan, yang mau tak mau mempengaruhi sikap kesehariannya. Misalnya, sebagaimana yang dialami oleh wartawan TEMPO ketika menembus ke sana. Dua lelaki bertelanjang dada tiba-tiba saja menegur ketus, "mau ke mana!", tanpa sedikit pun nada keramahan. Ini sebenarnya sikap yang tak lazim di pedesaan Tuban atau Bojonegoro. Tursilo, gunu SD Negeri Sidonganti I, menuturkan kepada TEMPO bahwa penduduk desa itu telanjur curiga pada siapa saja. Terutama terhadap orang luar. "Sikap penduduk desa ini memang keras," katanya Lima tahun lalu, menurut Tursilo, hampir setiap bulan ada peristiwa pembacokan sesama mereka. Persoalannya macam-macam. Ada yang karena kalah judi, ada yang rebutan perempuan. Judi? Wah, itu memang masih sulit untuk hilang sama sekali dari Sidonganti. Seperti juga minuman keras dan tayuban. Jangan kaget, meskipun miskin penduduk doyan pesta. Musim kemarau -- selain merupakan musim mencuri kayu jati -- adalah musim pesta. Setidaknya, menurut Lasmiran, setiap hari ada penduduk mengadakan hajatan. Pada malam hajatan, masyarakat tumpah. Setiap penduduk yang datang memberikan buwuh -- kado berupa uang pada tuan rumah. Lalu para laki-laki yang "merasa diri laki-laki tulen" larut dalam tayuban: melenggang bersama ronggeng, dan membasahi tenggorokan dengan minuman keras yang memang banyak diproduksi di Tuban. Dengan cara itu, mereka agaknya berupaya melupakan rasa pahit kehidupan yang harus dijalaninya setiap hari. Lasmiran sendiri sebenarnya mengecam cara hidup begitu. Tapi, apa boleh buat, keadaannya memang demikian. Jadi, persoalannya bagai teka-teki ayam dan telur. Bisa jadi, karena menuruti keinginan bermaksiatlah maka orang-orang itu lalu mencuri kayu. Tapi mungkin juga keterpaksaan mencuri menyebabkan kehidupan mereka menjadi keras dan bergelimang maksiat. Keduanya bisa benar. Yang jelas, Sidonganti telah menjadi desa angker yang ditakuti petugas. "Terus terang, kalau sekarang saya disuruh ke Sidonganti saya tak berani," kata Rasimin, seorang polisi hutan. Ia tahu persis bahwa penduduk desa itu sangat benci pada petugas Perhutani. Begitu juga warga Desa Tengger (bukan Tengger Gunung Bromo), Trantang, Gesikan, dan Gemulung. Rasimin punya pengalaman buruk menghadapl penduduk setempat. Pada tahun 1979, ia bertugas di daerah Mulyo Agung. Suatu hari, ia ikut mengusut pencurian kayu jati yang dilakukan oleh penduduk Sidonganti. Maka, ia pergi ke desa itu. Tapi, "sampai di sana saya malah dilempari batu." Pengalaman buruk lainnya terjadi dua tahun lalu di Tengger. Ketika itu petugas Perhutani KPH Jatirogo dan polisi Tuban sedang melacak kematian seorang polisi hutan. Kematian petugas itu, kabarnya, karena dikeroyok maling asal Tengger. Mereka pun pergi ke sana. Begitu petugas datang, penduduk ngumpet di rumah masing-masing. Mereka lalu diundang keluar. Akhirnya, mereka memang keluar, tapi setelah di luar terus lari ke dalam hutan "sambil menunggingkan pantatnya pada petugas." Karena geram, polisi langsung memberondongkan peluru ke hutan. Untung tak seorang pun kena. Apa yang terjadi di Desa Sidonganti hanya merupakan sebuah kasus. Hal serupa terjadi pada hampir semua desa di kawasan hutan jati, baik di Jawa Timur maupun Jawa Tengah. Kucing-kucingan antara gerombolan pencuri dan petugas kehutanan masih akan terus terjadi, sampai hutan jati itu habis sama sekali. Dendam antara mereka agaknya masih akan terus berkepanjangan, entah sampai kapan. Korban masih akan berjatuhan menyusul Suwarni dan Sambling. Mencuri jelas salah. Juga mencuri kayu jati. Tapi apakah penduduk -- sebagaimana juga polisi hutan yang cuma menjalankan tugas -- bisa sepenuhnya dipersalahkan? Kayu jati memiliki harga jual tinggi, sedangkan mereka yang mencuri perlu makan. Mengharap uluran tangan pemerintah pun sulit. Tak banyak pejabat yang sungguh-sungguh berniat apalagi punya konsep -- mengangkat kehidupan warganya. Sidonganti, pada akhirnya, hanya memperkuat anggapan umum: hutan -- yang merupakan sumber rezeki bagi orang-orang kota -- memang tak pernah memakmurkan masyarakat sekitarnya.Zaim Uchrowi, Zed Abidien
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini