Sejak hutan jati dikelola negara, bentrokan berdarah antara penduduk polisi hutan sudah makan korban. Tradisi maling kayu di antara penduduk konon didorong oleh kemiskinan. Tetapi seorang peytugas mengaku rekannya pun maling. Wartawan TEMPO Zed Abidien memasuki daerah "angker" itu dan memberikan kesaksiannya. REEEKK . . . buumm! Bakri menghunus pedang, lalu mendekati arah bunyi yang barusan mengagetkannya itu. Ia berjalan hati-hati menyibak hutan jati yang masih basah. Ada rasa khawatir di hatinya. Tapi kepalang, musuh sudah ada di hadapannya. Lalu Bakri berteriak, "He . . . berhenti, berhenti!" Delapan laki-laki yang baru merobohkan batang jati itu tak menggubris teriakan Bakri. Mereka tahu, Bakri adalah polisi hutan. Seragam hijau lumut, pedang panjang, dan teriakan menyuruh "berhenti" memperjelas identitas Bakri yang memang sudah mereka kenal. Tapi maling-maling itu tak takut. Mereka malah menantang dan bergerak maju membentuk posisi mengepung. "Ayo. . . tangkap kalau berani," kata salah seorang dari mereka sambil berkacak pinggang. Sadar kalau berkelahi pasti kalah, Bakri mundur teratur dan lari. Ia melapor pada ayahnya, Suwarni, yang juga polisi hutan. Suwarni selalu gatal telinga setiap mendengar kata "maling kayu". Walaupun usianya sudah 50 tahun, pantang bagi Suwarni, alias Wami, merasa takut. Ia mengambil pedangnya dan mengajak Bakri kembali ke hutan, ke tempat kayu jati berumur 15 tahun, bergaris tengah 20 senti, dan setinggi 30 meter, itu masih tergeletak. Kini giliran para pencuri kayu yang ngeper. Mereka bergerak mundur begitu melihat Warni, petugas yang malang-melintang di kawasan hutan jati Bohoro, Tuban, Jawa Timur. Tapi kepergian para maling tidak lama. Mereka datang lagi dengan membawa senjata -- sebuah kapak bertangkai panjang. Lihat di antaranya ada dua bersaudara Sambling dan Kepek. Sambling? Ya, siapa yang tak kenal Sambling "raja maling kayu" yang membikin para petugas nyap-nyap. Tapi siapa pula tak kenal Suwami yang sudah delapan tahun menjadi warek (penjaga) hutan. Sudah banyak maling kayu yang merasakan bogem mentahnya. Pada tahun 1985, Suwami pun pernah babak belur dihajar para penjarah hutan. Yang berhadapan kini sudah bukan lagi petugas dengan maling. Tapi dua musuh bebuyutan yang hendak menuntaskan dendam masing-masing. Duel tak terelakkan lagi. Pedang tergenggam erat di tangan Wami. Kapak di tangan Sambling. Sedangkan Bakri siap meladeni Kepek. Jauh dari keramaian umum, di antara bayang-bayang daun, empat orang itu bertaruh nyawa. Beberapa saat kemudian, Bakri terjatuh. Warni kaget, maka ia berusaha melindungi anaknya yang berada dalam bahaya. Kesempatan ini dimanfaatkan Sambling. Dengan sepenuh tenaga ia mengayunkan kapaknya pada Warni. Mata kapak yang tajam menghantam tangan dan kepala korban. "Aduuhh . . . bapakmu mati, Nak," teriak Warni yang kemudian menemui ajalnya. Melihat nasib ayahnya, Bakri menjadi lebih berani. Tanpa menengok kiri-kanan lagi, ia bacokkan pedangnya bertubi pada tubuh Sambling yang konon kebal dan tak mempan senjata. Kali ini Bakri membuktikan sendiri bahwa kisah kedahsyatan Sambling terlalu dilebih-lebihkan: Sambling mati di tangannya. Tapi ia -- seperti juga Kepek -- pun luka pada sekujur tubuh. Bagi kawasan hutan jati, perang ini bukan duel pertama. Sambling dan Warni sama-sama ingin menyelesaikan pertikaian lama mereka -- sebagai petugas dan pencuri kayu -- secara jantan. Kata Kepek, "Saya sebenarnya hendak lari, tapi terjatuh karena dilempar batu." Di kawasan itu, Warni adalah petugas ketiga yang ditewaskan maling. Entah berapa pencuri kayu yang telah mati di tangan petugas. Di daerah Pemalang, Jawa Tengah, aksi "para pencuri kayu jati" lebih gila. Tanggal 14 September 1988, ratusan warga Dukuh Lobongkok, Banjarmulyo, mendatangi rumah mantri hutan setempat. Mereka bersenjatakan golok, sabit, kelewang, kayu, dan juga batu. "Ayo, keluarkan maling itu," teriak massa sambil mengayunkan senjata. Dari dalam rumah Taryadi yang dikepung itu, tak ada jawaban. Penghuninya, sejumlah polisi hutan, serta empat polisi sungguhan, hanya berani diam dan mungkin gemetaran. Ada yang ngumpet di kolong meja, ada yang bersembunyi di bawah tempat tidur. Tiba-tiba .... dornrr. Sebutir peluru ditembakkan dari dalam, dan menyerempet Suhari, 11 tahun, yang berada di antara kerumunan massa. Darah mengucur dari lengan kirinya. Darah, bagi massa yang sedang kalap itu, adalah komando. Serta-merta mereka menyerbu rumah berdinding papan itu. Genting dilempari, dinding dijebol, dan tiga sepeda motor dinas Perhutani dibakar. Setelah melampiaskan kemarahan, mereka lari ke dalam hutan. Para pengunjuk rasa pun membakar hutan jati yang sudah berusia 10 tahun itu, sebagai upaya menghalangi aparat yang mengejar. Walhasil sedikitnya 20 hektar tanaman jati menjadi bara api. Malam itu juga aparat keamanan bergerak. Sebanyak 41 orang penduduk ditangkap -- 18 orang di antaranya lalu ditahan. Banyak orang memilih kabur, meninggalkan desanya. Itulah ekor peristiwa bertikainya polisi hutan dengan masyarakat sekitar yang dituding sebagai "maling-maling kayu". Peristiwa palin sengit yang melibat hutan jati, dalam beberapa tahun terakhir. Hutan jati memang masalah yang tak kunjung habis. Di Jawa Tengah saja, lebih dari 85 ribu pohon amblas tahun lalu. Kayu itu kayu paling bergengsi untuk mebel dan perangkat bangunan. Karena harganya baik, jati selalu menjadi incaran para pencuri. Ini yang membuat Perum Perhutani, pemegang konsesi hutan-hutan jati, terus kalang kabut. Masalahnya, Perhutani harus berhadapan dengan masyarakat sekitar hutan yang rata-rata hidup sangat kekurangan. Penduduk desa-desa sekitar hutan jati memang sulit dipisahkan dengan pohon itu. Berabad-abad sudah, mereka hidup bergantung pada hutan jati. Para wanita, bahkan yang sudah nenek-nenek, terbiasa mengambil daunnya untuk dijual ke pasar. Tugas anak-anak adalah mengumpulkan dahan-dahan kering kayu bakar di dapur mereka sendiri atau dijual dengan harga Rp 300 hingga Rp 500 sepikul. Sedang para laki-laki, apa boleh buat, ya menebang kayu milik negara tersebut, untuk dibuat rumah dan dijual. Kaum lelaki inilah yang dituding sebagai maling. Sejak hutan jati dikelola negara, konflik antara penduduk dan petugas tak kunjung selesai. Bentrokan berkali-kali terjadi. Bersamaan dengan itu, para pencuri mulai mengorganisasikan kegiatannya. Kadang mereka main keroyokan. "Kalau dua petugas lawan 75 pencuri, ya jelas kalah," kata seorang staf Perhutani. Apalagi, polisi hutan -- sejak Operasi Sapujagat -- tak boleh lagi bersenjata api. Mereka hanya dipersenjatai kelewang. Pencuri kayu pun sering mengerahkan gembala dan anjing kampung buat mata-mata. Bila petugas melakukan razia, para gembala melecutkan cambuknya beberapa kali tertentu. Dan anjing pun melolong-lolong. Isyarat itu berarti: "segeralah lari, para petugas datang." Pernah Perhutani menggunakan anjing pelacak buat membuntuti para pencuri kayu. Tapi sia-sia. Para maling, yang sangat mengenal kawasan hutan jati, mudah menghindarinya. Mereka mencebur ke sungai. Kalau lagi iseng, maling meninggalkan bajunya di satu lokasi. "Anjing pelacak seharian hanya mengitari pakaian itu, sedangkan malingnya kabur entah ke mana." Di kawasan hutan jati, memang tak banyak pilihan pekerjaan selain mencuri. Apalagi, memasarkan kayu jati relatif gampang. "Pokoknya, kalau ada barang, pasti ada yang beli," kata seorang sopir angkutan yang tahu persis seluk-beluk bisnis kayu haram itu. Di kota kecamatan Kerek, Tuban, misalnya, selonjor kayu jati yang bergaris tengah 20 senti dengan panjang 3 meter dihargai Rp 10 ribu. Penampungnya ya si tauke yang juga berjualan arang. Anehnya, para tauke penampung kayu curian kelas kakap tak pernah kena jeratan hukum. Pengadilan Negeri Bojonegoro, Tuban, Nganjuk, Ngawi, Blora, dan banyak daerah lain yang berhutan jati, memang penuh dengan berkas perkara pencurian kayu. Tapi hampir semua yang diajukan ke persidangan hanyalah penduduk sekitar hutan -- maling kelas teri. Sidang perkara pencurian kayu kini berlangsung di Pengadilan Negeri Nganjuk. Marimin dan 32 orang lainnya menjadi terdakwa. Mereka penduduk dua desa di Kecamatan Wilangan, yang terjerat dalam operasi Wanalaga dua tahun lalu. Untuk perkara itu hakim ternyata merasa perlu melihat barang bukti di lapangan -- di rumah terdakwa. Menurut hakim, rumah terdakwa terbikin dari kayu jati curian. Paijem, istri Marimin, lalu menangis keras. "Bakar saja rumahku kalau dianggap tidak sah." Di persidangan, para terdakwa itu memang mengaku salah. Namun, sebenarnya, hampir seluruh penduduk kawasan hutan jati tidak seratus persen merasa salah bila menebang kayu itu. Sikap begini dianut masyarakat Samin yang hidup kawasan hutan jati perbatasan Jawa Timur -- Jawa Tengah. Juga oleh masyarakat lain di daerah hutan jati. "Hutan itu diciptakan untuk sesama dan milik sesama masyarakat. Maka, siapa pun boleh memanfaatkan hutan," kata Hardjo Kardi, tokoh Samin di Dukuh Jepang, Ngawi. "Yang mulai menanam jati di sini kan nenek-nenek moyang kami." Bagi mereka menebang pohon jati di hutan bukan perbuatan mencuri. Tapi mengambil. Apalagi bila kayu itu dipakai sendiri, bukan dijual. Namun, kata Hardjo Kardi, sekarang tak ada lagi warganya yang menebang jati di hutan, sebab "dilarang pemerintah". Ketika Hardjo Kardi bicara demikian, dua orang lelaki tampak sedang berjalan di tengah sungai ke arah hilir, berendam setinggi dada. Mereka tentu tidak sedang mandi. Melainkan menyeret gelondongan kayu jati dari hutan lewat dalam air. Keyakinan bahwa "kami tidak mencuri" menjadikan banyak penduduk sangat benci pada polisi hutan. Apalagi, menurut mereka, petugas sering kejam. "Adik saya pernah dipukul gagang pedang sampai berdarah hanya karena mengambil rencek," kata Kepek. Pemukulnya tak lain adalah Warni almarhum. Sekadar pukuln fisik -- seperti halnya Warni memukul adik Kepek -- tak terlalu menyakitkan hati. Kadang ulah petugas dianggap sewenang-wenang, terutama saat mereka melakukan operasi. Ini yang menyulut marah warga Dukuh Lobongkok. Mulanya, petugas yang dipimpin Letnan Satu Aboechaer menggeledah setiap rumah penduduk. Semua perabot yang terbuat dari kayu jati mereka rampas. Almari dirobohkan. Kusen rumah dan tempat tidur dicabut. Kayu-kayu itu diangkut "sebagai barang bukti" sebanyak tujuh truk. Bahkan, yang semakin membuat penduduk geregetan, ada petugas mengacak-acak dan membuang makanan milik Darma, salah seorang penduduk. Topi laken milik Darma dan Wage juga diambil tanpa permisi oleh -- sebut saja oknum -- petugas. Karenanya, sewaktu menyerbu rumah Taryadi, massa meneriaki petugas sebagai "maling-maling" itu. "Desa kami memang miskin, tapi kan tidak semuanya mencuri kayu jati," kata Carik Desa Sutjiatji. Sedang polisi di Polres Pemalang mengatakan, "Itu fitnah. Apalagi kalau dikatakan anak buah kami ada yang mencuri." Di Pemalang, itu mungkin fitnah. Di KPH Jatirogo, seorang petugas berterus terang bahwa sejumlah kawannya memang layak dijuluki "maling" oleh penduduk. Mereka merampas kayu jati curian, lalu menjual sendiri kayu itu dalam bentuk barang jadi misalnya meja atau kursi. "Ini yang membikin penduduk iri." Ia mengaku tak melakukan demikian. Dosanya paling hanya "pura-pura tak melihat" bila menjumpai tetangganya sedang mencuri kayu. Persoalan yang dihadapi polisi hutan sebenarnya tak beda dengan para maling: yakni dapur. Bertahun-tahun para polisi hutan hanya menjadi pekerja bulanan dengan gaji Rp 24 ribu -- tanpa pensiun. Padahal, mereka harus mempertaruhkan nyawa. Bukan tak mungkin mereka bakal mengalami nasib nahas macam Warni, atau Tarwat yang 18 Februari lalu dipenggal oleh kawanan pencuri. Haruskah mereka mati lebih dahulu seperti Warni atau Tarwat agar keluarganya bisa memperoleh pensiun? Dunia di balik hutan jati terasa hitam. Bentrokan di seputar kawasan itu berkaitan dengan kemiskinan masyarakatnya, sekeras batang-batang jati itu sendiri.Zaim Uchrowi, Zed Abidien, Nanik Ismiani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini