Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsitektur

Batik dari seberang dlm dongeng ...

6 seniman batik berpameran di museum tekstil, jakarta. semuanya berasal dari Australia. mereka banyak menekuni batik, dengan ilmu pewarnaan ada tambahannya dari jepang. latar belakang pendidikan berbeda.

8 April 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AWAN yang bergulung-gulung itu berwarna jingga. Lalu ada biru, kelam. Semua itu, dalam gambar karya Lynn Elzinga-Henry yang bercerita tentang fajar, Pre-dawn Seurry, terpampang melalui penggayaan seperti dalam dongeng-dongeng Jepang. Padahal, Lynn Elzinga adalah orang Australia. Ia seorang dari enam seniman batik yang berpameran di Museum Tekstil Jakarta sampai 6 April ini, dan pameran di ISI Yogya tanggal 10 hingga 17 pekan depan. Tidak hanya pada awannya, cara Lynn memvisualisasikan matahari yang menyelinap di balik awan itu pun tidak beranjak jauh dari komik dongeng Negeri Matahari Terbit. Tak perlu dipersoalkan lebih jauh. Karena batik kontemporer yang hendak diinformasikan melalui pameran keliling ke kawasan ASEAN ini memang tak berakar di Australia. Paling tidak, yang namanya Batik and Surface Design Association itu baru berdiri pertengahan 1970 (semula bernama Batik Association). Ini adalah sebuah organisasi seniman batik di Australia yang anggotanya berlatar belakang pendidikan batik yang berbeda-beda. Artinya, tidak melulu dari Yogya, Solo, atau Pekalongan. Contohnya Lynn Elzinga, pendiri South Australia Garment and Textile Designers Collective. Lynn mempertebal keterampilannya, terutama dalam teknik pewarnaan wanteks, di Uzen Cultural Hall Kyoto. Di situ ia mendalami seni melukis dengan tangan, seni cetak kayu, dan membatik. Dan itu merupakan pengelanaannya yang mulai 15 tahun silam, hingga ia tekuni sampai sekarang. "Saya beralih ke medium ini karena kertas terlalu kaku," tuturnya. "Saya menyukai bagaimana lilin dan warna mengalir dengan lancar di permukaan kain." Baginya, kain itu bisa berupa katun, sutera, linen, yang digarapnya menjadi selendang, hiasan dinding, bahkan bahan pakaian. Lebih jauh lagi, Lynn bisa menghadirkan visualisasi sebuah dongeng di atas kain sepanjang 200 meter. Umpamanya The Dragon's Sneeze, yang dalam dua tahun terakhir ini telah dikelilingkan di Australia, sebagai pameran dan sebagai hidangan cerita (dilengkapi skenario) buat anak-anak. Kisah itu April ini hendak diterbitkan sebagai buku. Sedangkan Deborah Leser lebih dulu merampungkan pendidikan desain grafis pada 1975. Kemudian ia menekuni batik tradisional dan kontemporer di Yogya, dibawah bimbingan Kuswadji K., salah seorang tokoh pelukis batik di kota itu. Untuk memperkuat kemampuannya, Deborah pada 1981-1982 belajar teknik pewarnaan lagi di Kuriyama Kobo, sebuah bengkel kerja kimono di Kyoto. Tapi bukan seperti Lynn yang mengungkit dongeng Deborah malah lebih asyik memperkaya goresan-goresan karyanya dengan unsur seperti dalam lukisa kulit kayu Abongin Australia, tapi pewarnaannya seperti pelukis batik di Tamansari, satu kawasan turis di Yogya. Dari enam sekawan dalam pameran bersama ini, ada dua lagi yang mengenyam kursus keterampilan batik di luar Australia. Yakni Yipati Kuyata dan James Bennett. Yipati, wanita keturunan Aborigin kelahiran Ernabella (Australia Tengah), pernah belajar pada Lembaga Batik di Yogya. James, sebelum menekuni teknik batik, belajar pembuatan wayang kulit di bawah asuhan Partorego, Akademi Seni Karawitan Indonesia, Solo. Hanya dua yang tak disebutkan pernah mencari pendalaman teknik membatik ke luar negeri. Yakni Irene Manion (sarjana muda seni rupa, lalu mengajar) dan Tony Dyer (berpendidikan Art Printed Textile Design, Melbourne, dan sekarang mengajar tekstil di Melbourne College of Advanced Education). Pada karya-karya keduanya, kendati digunakan teknik batik, pola dan gaya ekspresinya tetap masih seperti lukisan akuarel atau cat minyak. Bahwa mereka kemudian bisa memanfaatkan keterampilan batik, itu tidak aneh. Kata Francesca M. Beddie, Atase Kebudayaan Kedutaan Besar Australia di Jakarta, di negerinya sana ada kursus-kursus teknik membatik. "Biasanya itu dikaitkan dengan pendidikan seni rupa, karena memang belum ada kurikulum khusus batik di sekolah-sekolah," tambahnya. Bagi publik di sini, bagaimana pun, ini ada manfaatnya. Minimal untuk mengetahui bahwa dinegeri lain ada kegiatan berekspresi lewat batik -- yang tidak lagi mengandalkan canting, tapi nip (mirip canting, berisi parafin yang tidak bisa beku) dan glutta (bahan yang terbuat dari komposisi karet, semen, dan spiritus). Pada batik mereka bahkan teknik pewarnaannya diperkaya dengan ilmu dari Jepang itu. Cuma, ya, jangan tanyakan motifnya, yang tampaknya belum menunjukkan adanya inovasi.MC, Yudhi Soerjoatmodjo, Budiono Darsono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum