SEJAK akhir Desember tahun lalu, hujan sudah tidak turun lagi di
Kota Pontianak. Kadar garam Kapuas, satu dari empat sungai
terbesar di Kalimantan, dalam waktu amat singkat melonjak jadi
2.699,0 mg per liter. Air tawar pun tiba-tiba menjadi komoditi
yang bukan main sulit didapat.
Ini pertanda musim kemarau mulai menyerang. "Ini luar biasa dan
tidak pernah terjadi dalam 10 tahun terakhir," ungkap Walikota
Pontianak, TB Hisny Halir, dengan cemas.
Langkah pertama yang diambil walikota ialah meminta Majelis
Ulama Kal-Bar dan pengurus masjid/surau untuk melakukan
sembahyang istisqa. "Berdoa kepada Tuhan tidak ada salahnya,"
ucap Hisny yang menilai kemarau kali ini datang lebih cepat dari
semestinya. Biasanya musim kering baru tiba akhir Juli atau awal
Agustus.
Memang kemarau panjang selalu berkunjung ke Pontianak tiap 10
tahun sekali. Tahun 1961 misalnya, menelan 100 jiwa korban
muntaber. Tahun 1971 hanya 60 orang. Tahun ini belum ada korban
jatuh, tapi sudah tercatat 40 anak dan 20 orang dewasa di RSU
Sei Jawi yang harus dirawat karena gangguan pencernaan.
Beban musim kering makin terasa, ketika instalasi PAM Pontianak
menghentikan produksi air bersihnya. Tindakan ini terpaksa
dilakukan, karena air yang dijernihkan PAM sudah disusupi garam
berkadar 400,0 mg per liter. Sedangkan sumber persediaan air Sei
Penepat, (sumber air PAM kedua -- 24 km di luar Pontianak) yang
merupakan tumpuan harapan terakhir, ternyata kadar garamnya ikut
melonjak setinggi 1.659,0 mg per liter. Karena itu segera saja
aliran air dari Penepat ditutup untuk para langganan.
"Apa boleh buat, konsumsi rumah kan hanya segelintir," ujar
Hisny kepada Djunaini KS dari TEMPO. Penutupan Penepat hanya
berlangsung 4 hari, tapi setelah kadar garamnya turun warga kota
mengambil air dari instalasi ini. Ada yang menggunakan mobil,
gerobak, becak, bahkan sepeda yang dilengkapi jeriken.
Terlambat
Tim penanggulangan air minum yang dibentuk Hisny juga telah
melarang penduduk agar tidak mengambil air ke waduk di Jl. Gajah
Mada, waduk PAM dan kolam di depan makam pahlawan Patria Jaya.
Adapun air di ketiga tempat itu dicadangkan PAM untuk diolah
menjadi air tawar. Tapi hasil penelitian laboratorium PAM
menunjukkan bahwa air tersebut berbahaya bagi kesehatan umum.
Zat besi dan kloridanya cukup tinggi. Karena itu pihak PAM
segera menjernihkannya.
Tapi sebelum PAM sempat menjernihkan air waduk, tiba-tiba kadar
garam di Sei Penepat turun. Maka segera digunakan 2 dari 4 pompa
yang ada untuk mengalirkan air dengan kapasitas 10 liter per
detik. Lebih banyak tidah mungkin, karena untuk itu hanya
instalasi air yang lamalah yang dapat diandalkan. Instalasi
yang baru belum juga selesai, padahal pembangunannya sudah
dimulai sejak 1977. Akibatnya tidak semua langganan PAM menerima
kiriman air. Di kawasan perumahan pegawai negeri di Kota Baru
misalnya, sampai akhir Februari orang terpaksa membeli air
dengan tarif sampai Rp 7.000 untuk 1 tangki (10 drum). Harga
resmi PAM hanya Rp 400/tangki.
Selain Kalimantan Barat, musim kemarau juga sudah menyerang
pantai timur Sumatera, terutama Kepulauan Riau.
Akibat musim kemarau memang cepat terasa di Pontianak, mungkin
karena debit air di sana terbatas. Lagipula di sekitar kota itu
sulit didapatkan sumber air yang tidak terjangkau air asin.
Sumber yang demikian ditemukan di Sei Penepat, setelah survei
tahun 1972.
Jika kemudian pembangunan instalasi Penepat tersendat-sendat,
itu tak lain karena pembangunan fisiknya juga tertunda 5 tahun.
Baru pada 1977 dipasang pipa transmisi sepanjang 24 km, intake
berupa 4 pompa diesel, bangunan sumber baku air (intake), 2 pipa
crossing dasar, juga pembangunan instalasi baru yang dilanjutkan
dengan pemasangan pipa distribusi untuk 2.000 rumah, 60 kran
umum dan 20 kran kebakaran.
Tentu saja 2.000 saluran itu sangat tidak memadai bagi 265.000
warga Kota Pontianak, tapi dengan adanya kran umum kekurangan
air agaknya bisa sedikit tertolong. Terutama karena kapasitasnya
bisa mencapai 200 liter per detik.
Instalasi baru seharusnya sudah selesai awal 1980. Tapi menurut
Ir. Sinabutar, Kepala proyek air bersih Kal-Bar, baru akan
rampung awal 1982. Padahal peralatan dari Prancis sudah sejak
lama selamat tiba di Pontianak. Dan biaya juga tersedia.
Ternyata Kenop 15 merupakan salah satu hambatan di samping
banyak sebab lain, seperti menghilangnya semen di pasaran,
sulitnya penggalian tanah, lumpur yang tiap kali timbul lagi dan
kesukaran mendapat tenaga manusia.
Sebagai pemborong, sesungguhnya PT Waskita Karyalah yang
bertanggungjawab untuk segala keterlambatan itu. Ketika
disinggung soal denda, Sinabutar malah berkata, "Saya pikir
walau Waskita Karya perusahaan swasta, tentu ia sudah
meninggalkan pekerjaan ini." Itu saja. Dan ini berarti air di
Penepat masih akan terus keruh.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini