Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Palapa

Keruntuhan kerajaan majapahit dikarenakan kelaliman penguasa, terutama patih gajah mada. seluruh kerajaan akhirnya memprotes & landasan kekuasaan majapahit runtuh. gajah mada lupa diri setelah berkuasa

7 Maret 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Palapa I SYAHDAN, di persidangan agung kerajaan Majapahit, Patih Gajah Mada menguraikan konsepsi pemerintahannya yang menggemparkan. Para menteri, banyak di antaranya telah mengabdi di Majapahit sejak zaman pemerintahan raja sebelumnya, menganggap gagasan Gajah Mada menundukkan Nusantara sebagai kecap seorang perdana menteri baru semata-mata. Memang Gajah Mada belum lama diserahi tampuk pemerintahan. Namun beliau telah berhasil menyelesaikan tugas utamanya untuk menegakkan wibawa politik dan integritas wilayah Majapahit dari rentetan pemberontakan. Trauma pertumpahan darah sejak pemberontakan Nambi di Lumajang, pemberontakan komplotan Kuti dan peristiwa Tanca membayangi suasana batin para pejabat negara di Majapahit saat itu. Walaupun sesungguhnya dengan gemilang Gajah Mada telah berhasil menunjukkan ketrampilannya sebagai panglima menumpas beberapa di antaranya, ambisi Gajah Mada untuk menaklukkan kerajaan Lombok, Seram, Tanjungpura, Haru (Sumatera Utara), Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Pajajaran, Palembang (Sriwijaya) dan Tumasik (Singapura) didengar rekan menterinya sebagai sebuah mimpi. Dalam krisis kepercayaan akan kemampuan negara semacam ini, Gajah Mada harus meneguhkan tekadnya. Program politiknya itu telah ia pikirkan masak-masak. Ia yakin akan keampuhan dirinya. Maka di hadapan sang Maharani, beliau pun bersumpah baru akan beristirahat, bila telah berhasil menundukkan Nusantara. Sasaran itu harus dicapai dalam masa pemerintahannya. Lamun huwus kalah nuswantara isun amukti palapa. Palapa II Program politik Nusantara dilaksanakan oleh Gajah Mada selama 21 tahun. Memang, ternyata gebrakan sang mangkubumi berhasil menghimpun rakyat dan nayaka Majapahit dalam panji-panji Majapahit yang agung. Rakyat ditempa semangat menjadi kawula yang patuh dan penuh kepercayaan pada kemampuan sang Patih. Pembangunan angkatan perang dan armada lautnya berhasil menegakkan bulu roma calon pemberontak maupun kerajaan di seberang lautan. Karena itu penundukan daerah sasaran dengan mudah tampaknya dapat terlaksana. Banyak di antaranya menyerah tanpa pertempuran yang berarti. Malah banyak utusan raja-raja berdatangan, menyatakan diri berada di bawah keluarga besar Palapa. Konon beberapa di antara mereka, bergabung demi kesempatan berusaha di negara yang kaya itu. Untuk mewujudkan impiannya, Gajah Mada harus bekerja keras sebagai perdana menteri selama pemerintahan dua tahta. Beliau juga berada di bawah pemerintahan Prabu Hayam Wuruk yang mewarisi tahta dari ibundanya, Maharani Wisnuwardani. Umur Gajah Mada makin lanjut, prajurit makin capek melayani tuntutan pertempuran demi pertempuran dan tahta dipegang oleh raja muda belia. Karena itu untuk menyelesaikan program penaklukan sisa kawasan nusantara, oleh sejumlah teman seperjuangan Gajah Mada dan beberapa menteri diusulkan pendekatan baru. Saat itu kerajaan Pasundan adalah salah satu daerah yang belum terkalahkan oleh Gajah Mada. Putra terbaik dan patriot Majapahit -- selain Gajah Mada --menyarankan pemerintahan yang lebih manusiawi. Pendekatan kerukunan dan perdamaian. Nayaka Madu mengajukan gagasan yang elok dan menyejukkan, untuk menyelesaikan secara konkrit kasus kerajaan Sunda. Maka diam-diam Madu dikirim sebagai duta persahabatan ke kerajaan Pasundan. Betapa terharu sang raja Sunda menerima uluran tangan persaudaraan dari kerajaan besar di ujung timur, Pulau Jawa itu. Pertanda persahabatan itu dikekalkan dengan rencana perkawinan sang raja muda Hayam Wuruk, 23 tahun dengan sekar kedaton kerajaan Sunda, Dyah Pitaloka, sebagai permaisuri. Palapa III Alkisah pada hari yang telah disepakati, muhibah persahabatan dan iringan temanten dari Barat itu pun datang dengan segala simbul kehormatannya. Sesuai dengan adat tatakrama, sang prabu yang memimpin sendiri misi persahabatan ini, beserta seluruh rombongan dipersilakan beristirahat di wisma nayaka di Bubat, tak seberapa jauh di luar gerbang kerajaan Majapahit. Selaku pemimpin muhibah sang prabu pun datang ke istana Majapahit, memberitahukan kedatangan misinya. Sesuai dengan kelaziman diplomatik, temanten lelaki diharap menjemput temanten putri dari luar gerbang kerajaan untuk memboyongnya ke dalam kerajaan. Manakala prabu Hayam Wuruk bersiap hendak memenuhi aturan itu, beliau ditahan oleh mahapatih Gajah Mada. Mahapatih Majapahit hanya ingin menyaksikan Raja Sunda menyerahkan Dyah Pitaloka sebagai tanda takluk di bawah naungan kekuasaan Majapahit. Perdana Menteri yang selama hampir duapuluh tahun dibuai kemenangan demi kemenangan dan berhasil memupuk kekuasaan hampir tanpa batas ini, menjadi terkecoh oleh bayangan kebesarannya sendiri. Gajah Mada yang sopan dan rendah diri itu, kini berselimut kekuasaan menjadi congkak dan lalim. Harga diri dan kehormatannya menjadi demikian melambung menjelma ke dalam kesewenang-wenangan. Norma pergaulan dan kenegarawanan yang paling elementer tidak mau ia mematuhi. Janji yang sudah dibuat, aturan yang sudah disepakati dirobek-robek oleh kecongkakan dan keangkuhan. Harkat sesama diabaikan dan enggan menghormati. Yang dituntut, hanya orang lain yang harus ikut aturannya. Mana ada ksatria yang siap dinistakan demikian? Raja dan para menak kerajaan Sunda itu pun menolak dengan geram syarat Gajah Mada itu. Mereka memilih mati daripada menuruti kelakuan yang menginjak-injak aturan sopan santun kenegarawanan itu. Dalam pertempuran Bubat itu Maharaja Sunda dan Dipati Usus gugur pada permulaan sekali timbul tanggungjawab kepemimpinan. Semua misi yang tidak siaga berperang itu, akhirnya habis dibabat angkatan bersenjata Gajah Mada. Palapa IV Prabu Hayam Wuruk, raja muda yang belum mabuk kekuasaan dan kebesaran itu, dengan amat manusiawi segera menuju pesanggrahan raja putri Dyah Pitaloka. Ia bermaksud menjemputnya dan melipur dari kedukaan. Alangkah terkejut sang raja, ketika kedapatan Dyah Pitaloka lagi bersandar bantal dengan wajah iklas telah pralaya. Putri raja Sunda ini Bela pati ia tahu aturan dasar menjaga martabat dan harga diri negara dan orang tuanya. Tidak ada kenistaan yang dirasakan sang prabu, daripada bercermin atas peristiwa yang memalukan itu. Yang gemerlapan pada kerajaan besar Majapahit yang hebat itu ternyata hanya kulit belaka. Isinya, jiwanya, ksatria dan kebrahmanaannya masih mencerminkan tingkat budaya yang amat nista. Perdana menteri simbul kebesaran Majapahit itu, sekaligus ternyata juga cermin dari masih rendahnya martabat kenegarawanan dan kemanusiaan. Arogansi Perdana Menteri Gajah Mada telah mengundang huru-hara di seluruh kerajaan. Mereka memprotes praktek kelaliman yang telah menjatuhkan martabat Prabu Hayam Wuruk dan Majapahit itu. Sejak saat itu, legitimasi kelanjutan pemerintahan Gajah Mada kehilangan landasan. Mulai saat itu pamor kerajaan mulai memudar dan lajulah proses keruntuhan Majapahit.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus