Palapa I
SYAHDAN, di persidangan agung kerajaan Majapahit, Patih Gajah
Mada menguraikan konsepsi pemerintahannya yang menggemparkan.
Para menteri, banyak di antaranya telah mengabdi di Majapahit
sejak zaman pemerintahan raja sebelumnya, menganggap gagasan
Gajah Mada menundukkan Nusantara sebagai kecap seorang perdana
menteri baru semata-mata.
Memang Gajah Mada belum lama diserahi tampuk pemerintahan. Namun
beliau telah berhasil menyelesaikan tugas utamanya untuk
menegakkan wibawa politik dan integritas wilayah Majapahit dari
rentetan pemberontakan. Trauma pertumpahan darah sejak
pemberontakan Nambi di Lumajang, pemberontakan komplotan Kuti
dan peristiwa Tanca membayangi suasana batin para pejabat negara
di Majapahit saat itu. Walaupun sesungguhnya dengan gemilang
Gajah Mada telah berhasil menunjukkan ketrampilannya sebagai
panglima menumpas beberapa di antaranya, ambisi Gajah Mada untuk
menaklukkan kerajaan Lombok, Seram, Tanjungpura, Haru (Sumatera
Utara), Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Pajajaran, Palembang
(Sriwijaya) dan Tumasik (Singapura) didengar rekan menterinya
sebagai sebuah mimpi.
Dalam krisis kepercayaan akan kemampuan negara semacam ini,
Gajah Mada harus meneguhkan tekadnya. Program politiknya itu
telah ia pikirkan masak-masak. Ia yakin akan keampuhan dirinya.
Maka di hadapan sang Maharani, beliau pun bersumpah baru akan
beristirahat, bila telah berhasil menundukkan Nusantara. Sasaran
itu harus dicapai dalam masa pemerintahannya. Lamun huwus kalah
nuswantara isun amukti palapa.
Palapa II
Program politik Nusantara dilaksanakan oleh Gajah Mada selama 21
tahun. Memang, ternyata gebrakan sang mangkubumi berhasil
menghimpun rakyat dan nayaka Majapahit dalam panji-panji
Majapahit yang agung. Rakyat ditempa semangat menjadi kawula
yang patuh dan penuh kepercayaan pada kemampuan sang Patih.
Pembangunan angkatan perang dan armada lautnya berhasil
menegakkan bulu roma calon pemberontak maupun kerajaan di
seberang lautan. Karena itu penundukan daerah sasaran dengan
mudah tampaknya dapat terlaksana. Banyak di antaranya menyerah
tanpa pertempuran yang berarti. Malah banyak utusan raja-raja
berdatangan, menyatakan diri berada di bawah keluarga besar
Palapa. Konon beberapa di antara mereka, bergabung demi
kesempatan berusaha di negara yang kaya itu.
Untuk mewujudkan impiannya, Gajah Mada harus bekerja keras
sebagai perdana menteri selama pemerintahan dua tahta. Beliau
juga berada di bawah pemerintahan Prabu Hayam Wuruk yang
mewarisi tahta dari ibundanya, Maharani Wisnuwardani.
Umur Gajah Mada makin lanjut, prajurit makin capek melayani
tuntutan pertempuran demi pertempuran dan tahta dipegang oleh
raja muda belia. Karena itu untuk menyelesaikan program
penaklukan sisa kawasan nusantara, oleh sejumlah teman
seperjuangan Gajah Mada dan beberapa menteri diusulkan
pendekatan baru.
Saat itu kerajaan Pasundan adalah salah satu daerah yang belum
terkalahkan oleh Gajah Mada. Putra terbaik dan patriot Majapahit
-- selain Gajah Mada --menyarankan pemerintahan yang lebih
manusiawi. Pendekatan kerukunan dan perdamaian.
Nayaka Madu mengajukan gagasan yang elok dan menyejukkan, untuk
menyelesaikan secara konkrit kasus kerajaan Sunda. Maka
diam-diam Madu dikirim sebagai duta persahabatan ke kerajaan
Pasundan.
Betapa terharu sang raja Sunda menerima uluran tangan
persaudaraan dari kerajaan besar di ujung timur, Pulau Jawa itu.
Pertanda persahabatan itu dikekalkan dengan rencana perkawinan
sang raja muda Hayam Wuruk, 23 tahun dengan sekar kedaton
kerajaan Sunda, Dyah Pitaloka, sebagai permaisuri.
Palapa III
Alkisah pada hari yang telah disepakati, muhibah persahabatan
dan iringan temanten dari Barat itu pun datang dengan segala
simbul kehormatannya. Sesuai dengan adat tatakrama, sang prabu
yang memimpin sendiri misi persahabatan ini, beserta seluruh
rombongan dipersilakan beristirahat di wisma nayaka di Bubat,
tak seberapa jauh di luar gerbang kerajaan Majapahit. Selaku
pemimpin muhibah sang prabu pun datang ke istana Majapahit,
memberitahukan kedatangan misinya.
Sesuai dengan kelaziman diplomatik, temanten lelaki diharap
menjemput temanten putri dari luar gerbang kerajaan untuk
memboyongnya ke dalam kerajaan.
Manakala prabu Hayam Wuruk bersiap hendak memenuhi aturan itu,
beliau ditahan oleh mahapatih Gajah Mada. Mahapatih Majapahit
hanya ingin menyaksikan Raja Sunda menyerahkan Dyah Pitaloka
sebagai tanda takluk di bawah naungan kekuasaan Majapahit.
Perdana Menteri yang selama hampir duapuluh tahun dibuai
kemenangan demi kemenangan dan berhasil memupuk kekuasaan hampir
tanpa batas ini, menjadi terkecoh oleh bayangan kebesarannya
sendiri.
Gajah Mada yang sopan dan rendah diri itu, kini berselimut
kekuasaan menjadi congkak dan lalim. Harga diri dan
kehormatannya menjadi demikian melambung menjelma ke dalam
kesewenang-wenangan. Norma pergaulan dan kenegarawanan yang
paling elementer tidak mau ia mematuhi. Janji yang sudah dibuat,
aturan yang sudah disepakati dirobek-robek oleh kecongkakan dan
keangkuhan. Harkat sesama diabaikan dan enggan menghormati.
Yang dituntut, hanya orang lain yang harus ikut aturannya.
Mana ada ksatria yang siap dinistakan demikian? Raja dan para
menak kerajaan Sunda itu pun menolak dengan geram syarat Gajah
Mada itu. Mereka memilih mati daripada menuruti kelakuan yang
menginjak-injak aturan sopan santun kenegarawanan itu. Dalam
pertempuran Bubat itu Maharaja Sunda dan Dipati Usus gugur pada
permulaan sekali timbul tanggungjawab kepemimpinan. Semua misi
yang tidak siaga berperang itu, akhirnya habis dibabat angkatan
bersenjata Gajah Mada.
Palapa IV
Prabu Hayam Wuruk, raja muda yang belum mabuk kekuasaan dan
kebesaran itu, dengan amat manusiawi segera menuju pesanggrahan
raja putri Dyah Pitaloka. Ia bermaksud menjemputnya dan melipur
dari kedukaan.
Alangkah terkejut sang raja, ketika kedapatan Dyah Pitaloka lagi
bersandar bantal dengan wajah iklas telah pralaya. Putri raja
Sunda ini Bela pati ia tahu aturan dasar menjaga martabat dan
harga diri negara dan orang tuanya. Tidak ada kenistaan yang
dirasakan sang prabu, daripada bercermin atas peristiwa yang
memalukan itu.
Yang gemerlapan pada kerajaan besar Majapahit yang hebat itu
ternyata hanya kulit belaka. Isinya, jiwanya, ksatria dan
kebrahmanaannya masih mencerminkan tingkat budaya yang amat
nista. Perdana menteri simbul kebesaran Majapahit itu, sekaligus
ternyata juga cermin dari masih rendahnya martabat kenegarawanan
dan kemanusiaan.
Arogansi Perdana Menteri Gajah Mada telah mengundang huru-hara
di seluruh kerajaan. Mereka memprotes praktek kelaliman yang
telah menjatuhkan martabat Prabu Hayam Wuruk dan Majapahit itu.
Sejak saat itu, legitimasi kelanjutan pemerintahan Gajah Mada
kehilangan landasan. Mulai saat itu pamor kerajaan mulai memudar
dan lajulah proses keruntuhan Majapahit.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini