Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LUKISAN Ali Sadikin mengenakan seragam putih Korps Komando Angkatan Laut terpaku di ruang utama rumah mantan Gubernur DKI Jakarta itu di Menteng, Jakarta Pusat. Gambar replika karya maestro Hendra Gunawan itu juga menampilkan sejumlah anggota laskar bersenjata. Lukisan itu menggambarkan kronik Ali bertempur melawan Belanda di Tegal, Jawa Tengah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Boy Bernadi Sadikin, putra sulung Ali, mengatakan bapaknya terpesona oleh kegagahan prajurit Angkatan Laut yang mengenakan pakaian serba putih. Karena kostum tentara itu, Ali tertarik masuk Angkatan Laut. “Putih itu gagah,” ujar Boy saat ditemui di Menteng pada Senin, 1 Agustus lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ali mengakui terpikat masuk korps baju putih—seragam khas Angkatan Laut—dalam buku Pers Bertanya, Bang Ali Menjawab. Ia mengatakan potret marinir berbaju putih terlihat tampan. “Gambarnya ganteng-ganteng,” kata Ali. Ia tak mengikuti jejak kakaknya, Abu Sadikin, yang menjadi prajurit Angkatan Darat.
Sejak kanak-kanak, Ali dikenal pemberani. Dalam buku yang sama, Ali mengaku kerap berkelahi dengan teman sekolahnya yang mewajibkan murid lain menyetor uang sebesar 5 sen setiap pekan. Kabar perkelahian itu sampai ke telinga Raden Sadikin, ayahnya. Raden tertawa jika anaknya menang dan marah kalau dia kalah.
Karier Ali di Angkatan Laut bermula saat ia diterima di Sekolah Tinggi Pelayaran Tegal, Jawa Tengah, pada 1945. Ia kemudian menjadi anggota Badan Keamanan Rakyat, cikal bakal Tentara Nasional Indonesia, bersama Waloejo Soegito. Waloejo belakangan menjadi Kepala Staf Angkatan Laut periode 1977-1982.
Ali dan Waloejo kerap berdinas bersama di Angkatan Laut. Mereka terjun ke palagan saat agresi militer Belanda di Pekalongan, Jawa Tengah, pada 1947-1949. Ali menjabat Wakil Komandan Resimen Pasukan Samudera CA IV. Tugasnya memimpin gerilya yang menghalau pasukan Belanda menguasai Pekalongan dan Batang.
Repro foto Presiden pertama RI Soekarno saat melantik Ali Sadikin menjadi Gubernur DKI Jakarta di Rumah Ali Sadikin jalan Borobudur, Jakarta, 1 Agustus 2022. TEMPO/M Taufan Rengganis
Kelompok gerilya itu tak hanya diisi prajurit Angkatan Laut. Ali mengomandani pasukan Angkatan Darat, polisi dari Keresidenan Pekalongan, dan laskar rakyat. Waloejo, sebagaimana dikutip dari buku Empu Ali Sadikin 80 Tahun, bercerita sempat beberapa kali hampir tertembak dalam pertempuran. “Beberapa kali kami berdua menghadapi maut,” ujarnya.
Ali pun ikut berperang melawan pasukan Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) di Amurang, Sulawesi Utara, pada 1959. Pemberontakan Permesta meletus pada 1957 dan dipimpin Kolonel Jacob Frederick Warouw serta Kolonel Alexander Evert Kawilarang. Mereka menuntut pemberian otonomi yang luas bagi daerah.
Pertempuran dengan prajurit Permesta rupanya membuat Ali kondang di kalangan tentara. Boy Sadikin, anak sulung Ali, mengatakan bapaknya memimpin pasukan dengan berlari menuju wilayah musuh sambil memuntahkan peluru. Boy tak pernah mendengar kisah perang Permesta dari bapaknya. Tapi ia mendapat cerita itu dari Hasna, salah satu prajurit Ali di Amurang.
“Gaya perang Bapak dijuluki gaya Hollywood karena mirip di film-film,” kata Boy, bekas politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.
Mengutip wawancara majalah Matra pada Desember 1990, Ali mengaku aksi koboi di Amurang merupakan taktik untuk menggertak musuh. Sebab, senjata milik Ali dan pasukannya kalah canggih dengan milik pasukan Permesta. Ia juga diperintahkan harus bisa menguasai Amurang dalam dua pekan.
Menurut Ali, pasukan Kawilarang sudah menggunakan meriam berkaliber 35 milimeter. “Kami membuat nyali mereka ciut,” ujarnya.
Kepala Staf TNI Angkatan Udara 1973-1977, Saleh Basarah, yang ikut dalam perang Permesta, bercerita, Ali bergerak cepat saat memimpin pasukan. Ali, misalnya, memerintahkan Saleh yang menerbangkan pesawat bomber jenis North American B-25 Mitchell untuk mengintai poros menuju Amurang. Gerakan kilat dari udara itu berhasil memotong pertahanan musuh.
Operasi Tri Komando Rakyat (Trikora) pada 1961 menjadi penugasan terakhir Ali di medan tempur. Kepala Staf TNI Angkatan Laut 2002-2005, Bernard Kent Sondakh, mengungkapkan Ali diperintahkan menjadi perwira strategi operasi. Ia tak diterjunkan melawan pasukan Belanda di Irian Jaya.
Meski berstatus perwira strategi, kontribusi Ali dalam Operasi Trikora cukup besar. Atas perintah Deputi Operasi Markas Besar Angkatan Laut Kolonel Yos Sudarso, Ali mencari kapal untuk mengangkut 3.000 anggota pasukan ke Irian Jaya. Ia terbang ke Amerika Serikat pada Mei 1960 bersama Panglima Angkatan Laut Raden Eddy Martadinata.
Di Negeri Abang Sam, Ali dan Martadinata berjumpa dengan Presiden Amerika Dwight David Eisenhower. Kepada Eisenhower, mereka meminta bantuan kapal dan senjata untuk merebut Irian dari Belanda. Tapi Eisenhower menolak proposal Ali dan Martadinata. “Kami langsung lapor ke Presiden Sukarno,” kata Ali kepada majalah Matra edisi Desember 1990.
Ditolak di Amerika, Martadinata dan Ali beralih ke Uni Soviet. Keduanya bertemu dengan Perdana Menteri Uni Soviet Nikita Khrushchev. Sebagaimana presentasi kepada Eisenhower, Ali meminta kiriman kapal dan senjata. Khrushchev menyanggupi permintaan Indonesia.
Uni Soviet memberikan selusin kapal selam, kapal penjelajah, kapal perusak, dan kapal roket. Ali menyiapkan logistik dan pelabuhan untuk bersandar di Makassar dan Ambon. “Saya serahkan ke Panglima Angkatan Laut Mandala Sudomo setelah persiapan selesai,” tuturnya.
Empat dekade peristiwa Trikora berlalu, Ali rupanya masih mempedulikan para sejawatnya. Bernard Kent Sondakh mengatakan pernah berdiskusi dengan Ali soal aset tanah Angkatan Laut di Surabaya saat Bernard menjabat Kepala Staf TNI Angkatan Laut.
Ali menginginkan lahan itu dihibahkan kepada prajurit yang berperang ke Irian. Dananya diambil dari uang duka personel Marinir yang diterjunkan dalam Operasi Trikora. Sayangnya, Bernard tak bisa mewujudkan permintaan Ali karena grup itu urung berlayar ke Irian Jaya. “Keinginan Ali batal terlaksana,” kata Bernard.
Kiprah Ali di Angkatan Laut membuat Presiden Sukarno menariknya ke kabinet. Awalnya Ali didapuk menjadi Menteri Perhubungan Laut pada Kabinet Kerja IV. Ali dilantik pada 13 November 1963. Bung Karno kemudian menggesernya menjadi Menteri Koordinator Kompartemen Kemaritiman pada Agustus 1964. Ali memimpin lembaga ini selama hampir dua tahun sampai Maret 1966.
Ajudan Sukarno, Sidarto Danusubroto, mengatakan Sukarno mengenal Ali saat masih berdinas di Korps Komando Angkatan Laut. Saat itu KKO Angkatan Laut terkenal sebagai satuan yang loyal kepada Sukarno. Menurut Sidarto, ada jargon yang populer pada era itu, yakni “hitam kata Bung Karno, hitam kata KKO”. “Itu menunjukkan kesetiaan KKO kepada Bung Karno,” ucap anggota Dewan Pertimbangan Presiden tersebut.
Foto Ali Sadikin saat sudah berpangkat Letnan Jenderal koleksi keluarga. Repro Foto: TEMPO/M Taufan Rengganis
Sidarto pun meyakini Ali masuk kabinet Sukarno karena pemahaman terhadap masalah maritim di Indonesia. Tapi Ali sulit bekerja karena pemerintah tak punya duit. Program Ali di Kementerian Koordinator Kemaritiman tak banyak yang terlaksana. Padahal Sukarno memberikan banyak mandat kepada Ali untuk membereskan sektor kelautan.
Salah satunya menciptakan armada niaga. Ini adalah kebijakan yang bisa dieksekusi Ali saat menjadi menteri. Wartawan senior Rosihan Anwar, dalam buku Empu Ali Sadikin 80 th, menyebutkan pembentukan rombongan kapal dagang merupakan perintah langsung Sukarno. Ali pun meyakinkan Sukarno untuk menerbitkan peraturan presiden yang menetapkan semua aktivitas pelayaran harus melalui perusahaan perkapalan.
Isi regulasi itu antara lain mewajibkan setiap perusahaan pelayaran memiliki kapal. Sebab, saat itu, sebanyak 200 perusahaan pelayaran yang ada di Indonesia tak semuanya punya perahu. Belakangan, perusahaan kapal menyusut menjadi 29 perusahaan nasional dan 4 korporasi internasional.
Mencermati rekam jejak Ali saat menjadi menteri, Presiden Sukarno kemudian menugasi dia memimpin Ibu Kota. Sidarto Danusubroto mengatakan Ali diminta menata Jakarta dan membereskan masalah pesisir. Sukarno menilai Ali sebagai pemimpin yang koppig, alias keras kepala dalam bahasa Belanda, dan mampu menyelesaikan berbagai problem.
Adapun Rosihan menyebutkan Ali didapuk menjadi Gubernur Jakarta karena dianggap mampu bekerja. “Ali Sadikin merupakan doer bukan talker,” tulis Rosihan dalam buku Empu Ali Sadikin 80 th.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Marinir Bergaya Hollywood"