Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Kartu Suara 'Full Color'

29 Maret 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pemilu mendatang akan lebih ''berwarna". Rapat pleno Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kamis pekan lalu memutuskan untuk mencetak kartu coblosan berwarna. Sebelumnya, karena anggaran yang cekak?cuma Rp 100 per lembar?kartu suara hanya akan dicetak hitam putih. Namun untunglah, dana bantuan dari Jepang, yang semula diperuntukkan bagi pembuatan kotak suara, bisa dialihgunakan.

Menurut Ketua KPU Rudini, kartu itu ditetapkan berwarna dasar putih dengan lambang berwarna dari ke-48 partai yang akan berlaga, plus nama dan nomor urut masing-masing. Simbol partai tersusun enam horizontal dan delapan vertikal. Warna sampul belakang kartu disesuaikan dengan kotak suara: putih untuk DPR-RI, merah muda untuk DPRD tingkat provinsi, dan abu-abu tua untuk DPRD tingkat kabupaten atau kota madya.

Urusan warna jadi teramat penting. Bayangkan saja kebingungan sekian juta pemilih buta huruf sewaktu mencoblos, misalnya, Partai Politik Islam Indonesia Masyumi atau Partai Bulan Bintang. Soalnya, kedua partai itu punya logo yang sama-sama berbentuk bulan sabit dan bintang. Apalagi, nomor urutnya pun berdampingan: 21 dan 22.

Kartu suara akan dicetak di percetakan lokal. Bahan yang dipergunakan pun berupa sejenis kertas khusus yang akan disiapkan dan dipasok pemerintah. Total jenderal jumlahnya diperkirakan mencapai 400 juta lembar. Perhitungannya: 133 juta pemilih dikali tiga kotak suara ditambah tiga persen untuk cadangan. Dan, entah jurus apa yang akan digunakan, cuma tersedia waktu 20 hari untuk mencetak kartu seabrek-abrek itu. Pada 1 Mei mendatang, seluruh kartu harus sudah siap untuk disebarkan ke Panitia Pemilihan Daerah tingkat provinsi dan kabupaten. Untuk itu, sejumlah percetakan akan disaring lewat tender tertutup di sidang pleno KPU.

Grasi Buat Boengkoes, Latief, dan Alhabsyi

Ada yang istimewa di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cipinang, Jakarta, Kamis malam pekan lalu. Empat narapidana politik (napol) PKI dibebaskan atas grasi Habibie. Mereka adalah Abdoel Latief, mantan kolonel Angkatan Darat; Boengkoes, eks bintara Cakrabirawa?pasukan khusus kepresidenan Soekarno?berpangkat sersan mayor; Asep Soerjaman, eks sekretaris pribadi Syam Kamarulzaman, Ketua Biro Khusus PKI, yang (konon) sudah dieksekusi mati pada 1986; dan Natanael Marsoedi. Enam napol lainnya juga dilepaskan, dari penjara lain. (Lihat tabel.)

Upacara pelepasan dimulai tepat pukul 20.00, yang didahului dengan ikrar setia para napol kepada Pancasila dan UUD 1945 di hadapan pejabat LP, plus kuasa hukum Johnson Panjaitan dan Hendardi. Sehari sebelumnya, pemerintah membebaskan 40 napol GPK Aceh dan 2 napol Jihad Islam, termasuk Ustad Husein Alhabsyi, yang didakwa sebagai dalang peledak Borobudur, bus Pemudi, dan Gedung BCA Malang. ''Saya dimasukkan ke penjara karena cinta saya kepada Allah, tapi saya tidak akan dendam kepada pemerintah," kata ustad tunanetra ini.

Seperti diakui Boengkoes, juru bicara para napol, sebenarnya mereka enggan menerima grasi. Sebab, hal ini sama artinya dengan mengakui kesalahan yang membuat mereka terpaksa menghuni penjara selama 33 tahun. Padahal ada banyak sisi seputar G-30-S/PKI yang masih gelap atau sengaja dibuat gelap. Abdoel Latief, misalnya, menolak dikategorikan sebagai pengikut PKI. ''Saya hanya prajurit yang menjalankan perintah komandan," katanya. Latief juga berniat meluruskan sejarah yang selama ini disajikan dari satu pihak: pemerintah Orde Baru.

Seperti Latief, Boengkoes akan melakukan hal serupa. Menurut Boengkoes, banyak fakta tak benar yang dikampanyekan melalui film tentang G-30-S/PKI. ''Yang benar cuma satu, yakni para jenderal dimasukkan ke lubang," kata Boengkoes. Cuma, setelah sekian lama menghuni penjara, Boengkoes mengaku tak tahu harus berbuat apa. Meluruskan sejarah? ''Itu tergantung yang meminta. Kalau saya, sih, siap saja," katanya, ''Selama 33 tahun di penjara, kami ini kan seperti buta. Jakarta sudah begitu banyak berubah, sehingga tolong kami untuk bisa berbuat sesuatu."

BIA Dimekarkan

April mop akan muncul dari Markas Besar ABRI. Tepat 1 April nanti, berbarengan dengan pelepasan Kepolisian RI (Polri) dari ABRI, Badan Intelijen ABRI (BIA) akan didandani. Maklumlah, kerusuhan, kejahatan ekonomi, dan intrik politik kian canggih. Sehingga, kalau tak ingin terus kedodoran, lembaga intelijen harus dibuat lebih lincah. Nantinya, Kepala BIA tetap dijabat Mayjen Tyasno Sudarto, yang naik pangkat menjadi letnan jenderal. Sedangkan nama yang beredar untuk Wakil Kepala BIA ada dua: Mayjen Bimo Prakoso dan Mayjen Slamet Supriyadi?keduanya dari Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas).

Nantinya, BIA langsung bertanggung jawab kepada Panglima ABRI. Sebelumnya, BIA bertanggung jawab kepada Panglima ABRI melalui supervisi Kepala Staf Umum (Kasum) ABRI. Menurut sumber TEMPO di Markas Besar ABRI, konsep rinci pemekaran BIA masih digodok di Mabes ABRI. Kabarnya, beberapa perwira tinggi keberatan atas status Kepala BIA yang setaraf dengan Kepala Staf Teritorial dan Kepala Staf Umum. Alasannya, dalam posisi baru, Kepala BIA bisa menggerakkan para panglima daerah, yang akan membuat tumpang tindih komando.

Yang menarik, akan ada beberapa posisi yang diniatkan membuat BIA jadi lebih bergigi, antara lain Direktur Intelijen Teknologi dan Satuan Tugas Intelijen Ekonomi. Dengan demikian, urusan sadap-menyadap kaset, misalnya, akan lebih intensif dipantau. Patgulipat di dunia ekonomi dan perbankan pun bakal lebih ketat diatasi. Itu teorinya. Prakteknya kita tunggu saja.

Napol PKI yang dibebaskan
NamaUmurLapas
Isnanto 72 th Tanjunggusta, Medan
Boejoeng Ketek 72 th Muara, Padang
Sri Soeharjo 78 th Muara, Padang
Markoes Giroth 78 th Gunungsahari, Ujungpandang
Sido 76 th Gunungsahari, Ujungpandang
Soma Soerjabrata 76 th Pamekasan, Madura
Abdoel Latief 74 th Cipinang, Jakarta
Boengkoes 73 th Cipinang, Jakarta
Asep Soerjawan 73 th Cipinang, Jakarta
Natanael Marsoedi 73 th Cipinang, Jakarta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum