SUASANA di kelas-kelas berukuran 9x9 meter itu terasa sejuk dan lega. Selain dilengkapi pendingin udara, muridnya dibatasi maksimum 25 siswa. Di salah satu kelas terdapat peralatan biologi yang lengkap. Di kelas yang lain ada sarana belajar untuk pelajaran fisika. Ringkasnya, di setiap kelas terdapat fasilitas belajar untuk satu mata pelajaran saja. Inilah bentuk kelas di SMU Bina Nusantara, Jakarta Barat, yang beroperasi sejak Juli 1998.
Sekolah ini berbeda dengan sekolah biasa karena memadukan kurikulum nasional dengan metode belajar dari Western Australian Curriculum Council, Australia. Kalau di sekolah reguler murid menempati kelas yang sama sepanjang satu tahun ajaran, murid di SMU ini tak memiliki kelas yang tetap. Mereka harus berpindah-pindah kelas sesuai dengan mata pelajaran yang hendak diikuti. Dengan demikian, setiap guru bisa mendesain kelasnya sesuai kebutuhan. Guru matematika punya kelas yang khas matematika. "Begitu seorang murid masuk ke kelas sains, ia seperti seorang scientist," ujar Drs. H.J.P. Maryanto, Prinsipal SMU Bina Nusantara.
Perbedaan lain yang juga penting ialah pelajaran tak diberikan secara teoretis murni, tapi dalam bentuk pemahaman melalui contoh soal. Pelajaran matematika, misalnya, bisa dipelajari siswa melalui potongan jahitan atau maket bangunan. Pelajaran Pancasila, yang biasanya membosankan karena hanya menghafal sila-sila, dibuat lebih menarik karena diaplikasikan dalam diskusi antarsiswa yang mengetengahkan berbagai kasus di tingkat nasional. Kasus pemerkosaan atau kerusuhan Mei dipresentasikan dan diperdebatkan. Guru tinggal menyimpulkan bahwa kasus itu berkaitan dengan moral dan hak asasi manusia.
Tak hanya metode Barat saja yang dipakai, tapi juga para pengajarnya. Mereka didatangkan dari Australia, dan hampir semua mata pelajaran disampaikan dalam bahasa Inggris, kecuali pelajaran Pancasila dan bahasa Indonesia. Tidak sulit? Rupanya tidak. Toni, seorang siswa, mengatakan, kendati disampaikan dalam bahasa asing, guru juga menerangkannya dengan berbagai alat bantu dan praktek langsung, seperti menggunakan video.
SMU Bina Nusantara bukanlah sekolah pertama yang menerapkan sistem belajar internasional. Jauh sebelum itu, telah berdiri Sekolah Pelita Harapan di Tangerang (1994) dan Sentul (1995)—keduanya berlokasi di tepi Jakarta. Selain menggunakan pengantar bahasa Inggris dalam porsi besar, bentuk pengajarannya juga sama. Murid mencari kelas sesuai dengan mata pelajaran yang diambil, dan guru menyampaikan materi pelajaran dengan titik berat pemahaman, bukan hafalan.
Pemahaman ini juga yang diberikan dalam pelajaran bahasa Indonesia. Menurut Arta Peto Sinamu, Kepala Sekolah SMU Pelita Harapan Sentul, pelajaran sastra disampaikan dalam bentuk praktek. Sebuah novel, misalnya, didramakan. Begitu pula bahasa Inggris, setiap siswa dipacu untuk berbicara, baik di dalam kelas maupun di lingkungan sekolah.
Pengusaha Ciputra tak mau ketinggalan. Ia juga membangun Sekolah Global Jaya (1995) yang mengembangkan konsep pendidikan gaya Barat. Ada enam guru asing yang mengajar di sekolah yang berlokasi di kawasan Bintaro, Jakarta Selatan, ini. "Kami menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar pelajaran dan pergaulan di sekolah," kata Diah Kusumadewi, Kepala Sekolah SMU Global Jaya.
Hal serupa juga terjadi di Jakarta International Montessori School (JIMS), sekolah setingkat SD yang menerapkan metode belajar rancangan ahli pendidikan Inggris berdarah Italia, Maria Montessori. Menggunakan bahasa Inggris, materi pelajaran disampaikan dengan berbagai alat bantu. "Bila kami ingin menerangkan gunung berapi, kami tunjukkan miniaturnya," tutur Sherisada Richardson, pimpinan JIMS, kepada Ali Nur Yasin dari TEMPO.
Tampaknya semua bagus sehingga sekolah-sekolah itu terkesan sempurna dan tak ada kelemahannya. Namun, ternyata tidak demikian. Keempat sekolah tersebut jauh dari kalangan orang biasa karena hanya terjangkau oleh kaum berduit. Uang pangkal dan SPP-nya amat mahal (lihat tabel), dan itulah satu sisi dari kelemahannya. Selain itu, mereka yang masuk ke sana memang sudah berniat meneruskan kuliah di luar negeri. Maka, hanya beberapa dari 34 siswa SMU Pelita Harapan Sentul yang diterima di perguruan tinggi negeri, sedangkan 25 orang lainnya diterima di universitas di Amerika dan Australia.
Menurut Indra Djati Sidi, Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, tak diharamkan bagi sekolah di Indonesia untuk mengembangkan kurikulum internasional. Asal, itu tak melenceng dari kurikulum nasional. "Misalnya, pelajaran Pancasila tak boleh diabaikan," ujarnya.
Ma'ruf Samudra, Mustafa Ismail, dan Dwi Arjanto
Biaya Sekolah |
SMU Bina Nusantara |
Uang Pangkal Rp 12,5 juta-Rp 20 juta |
SPP Rp 900 ribu-Rp 1.500.000/tahun |
SD-SMU Pelita Harapan |
Uang Pangkal US$ 2.750-US$ 12.975 |
SPP US$ 5.000-US$ 6.495/tahun |
TK-SMU Global Jaya |
Uang Pangkal Rp 50 juta |
SPP Rp 1,75 juta-Rp 1,8 juta |
TK-SD JIMS |
Uang Pangkal US$ 1.500 |
SPP US$ 5.000/tahun |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini