Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Pramoedya ke Luar Negeri

Sastrawan Pramoedya Ananta Toer berkelana dua bulan ke luar negeri. Akhir sebuah era, awal untuk belajar dari sejarah.

29 Maret 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INI momen bersejarah bagi Pramoedya Ananta Toer. Ini juga saat bersejarah di Indonesia. Novelis yang beberapa puluh tahun dibungkam itu sebentar lagi akan bisa pergi ke luar negeri. Paspor sudah didapat, visa ke AS dengan cepat sudah diperoleh (pelbagai pihak di AS memang banyak membantu ke arah bebasnya dia), dan pihak Imigrasi mengatakan tak akan ada soal bila tahanan politik termasyhur ini akan berangkat. Singkat kata: Pramoedya kini orang bebas. Pram sejak 1959 tak pernah ke luar negeri. Setelah dilepas dari tahanan politik pada 1979—ia mendekam di Pulau Buru selama 13 tahun—sastrawan ini tak bisa bebas pergi. Tahun 1988, Pram mendapat hadiah sastra dari PEN Club, sebuah lembaga tempat bernaungnya para penyair, penulis drama, esais, editor, yang berkedudukan di New York. Namun, Pram tak bisa terbang ke sana. Ia praktis "tahanan kota" di Jakarta. Riwayatnya memang penuh hambatan. Tahun1995, Yayasan Magsaysay yang berkedudukan di Manila memberikan hadiah sastra buat Pram. Bukan saja Pram tak boleh pergi, sejumlah seniman di Indonesia menyatakan keberatan atas hadiah itu,. antara lain Mochtar Lubis, Rendra, dan Taufiq Ismail. Kini reaksi yang sama pasti tak akan terjadi, juga bila nanti Pram akan mendapat gelar doktor honoris causa di Universitas Michigan. Reaksi seperti itu tak menguntungkan siapa-siapa. Perginya Pramoedya ke luar negeri, serta dilepasnya semua bekas tahanan politik "G30S-PKI", menunjukkan berakhirnya sebuah era. Bahkan dalam pemilu nanti mereka sudah dapat kembali sebagai warga negara dengan segala haknya. Terlampau panjang perlakuan tak semena-mena itu pada mereka, tapi apa yang dilakukan Pemerintah tahun ini menunjukkan, tak ada tindakan adil yang terlambat. Kini terbuka lebih luas kesempatan untuk menengok masa lalu yang penuh trauma itu—baik sebelum maupun setelah 1965—dengan sikap lebih terbuka. Baik tentang kesalahan dan keteguhan pendirian, dalam diri Pram dan lawan politiknya. Indonesia memang perlu belajar dari kesalahan dalam sejarahnya sendiri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus