Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PULUHAN ribu pemuda antikomunis dilatih dan diterjunkan dalam operasi penumpasan Partai Komunis Indonesia. Budi Yuwono Imam Chourmain, 73 tahun, mantan aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan mantan anggota Resimen Mahasiswa Universitas Gadjah Mada, salah satu aktivis mahasiswa yang direkrut Komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) Sarwo Edhie Wibowo. Budi Yuwono mengenyam pelatihan Para Komando di Pusat Pendidikan Pasukan Khusus di Batujajar.
Tiga setengah tahun ia meninggalkan bangku kuliah untuk operasi pengejaran orang-orang merah. Tatkala Soeharto mengatakan operasi menumpas PKI sampai ke akar-akarnya tuntas, Budi pamit kepada Sarwo Edhie untuk balik ke sekolah. Berikut ini cuplikan pengakuan Budi kepada Tempo, yang menemuinya dalam dua kali kesempatan pada pertengahan September lalu. Budi meminta beberapa keterangan mengenai operasi yang dia ikuti tidak ditulis.
Anda dulu mahasiswa apa? Bagaimana ceritanya Anda terlibat dalam pelatihan militer?
Saya masuk Fakultas Ekonomi UGM tahun 1962. Saat itu suasana sudah tidak nyaman. Kampus dan dosen-dosen dikuasai GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia) dan CGMI (Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia). Ada diskriminasi yang sistematis. Mahasiswa Islam, apalagi aktivis HMI, terasing. Kuliah kebagian duduk paling belakang, cari buku di perpustakaan tidak dikasih. Sesama mahasiswa saling curiga. Sangat tidak nyaman.
Pada 27 September 1965, ada Pekan Olahraga Mahasiswa di Istora Senayan. Saya ikut cabang atletik. Pertandingan atletik dilaksanakan paling awal sehingga saya bisa menengok paman saya di Jakarta, Mayor Jenderal Sutoyo, di Jalan Sumenep 17, Menteng. Bu Toyo itu sepupu ibu saya. Saya tiba di rumah Mayor Jenderal Sutoyo sudah agak siang. Ternyata Om Toyo masih di rumah. Padahal saya tahu persis setengah tujuh biasanya beliau sudah di kantor. Kok, tumben?
Saya diajak sarapan. Setelah selesai sarapan, saya ditarik ke kamar kerjanya. Kepada saya, Om Toyo mengatakan: "Aku tahu kamu anak HMI. Harus saya jelaskan situasi politik Indonesia sekarang ini." Ia kemudian berpesan kepada saya: "Kalau nanti ada gerakan begini-begini, nah itu PKI...."
Akhir September itu, Aidit berpidato di Kongres Persatuan Insinyur Indonesia di Senayan. Di situ Aidit bilang: "Kalau tidak bisa membubarkan HMI, PKI sarungan saja." Surat Waperdam (Wakil Perdana Menteri) Soebandrio membubarkan HMI disobek Ahmad Yani. Yani bilang: "Lewati mayat saya kalau mau bubarkan HMI." HMI ditakuti PKI karena HMI organisasi kader, mencetak calon-calon pemimpin.
Setelah itu, Apa yang Anda lakukan?
Saya segera pulang ke Yogya. Sampai Yogya tanggal 28 pagi, saya langsung menuju Markas Cabang HMI di Ngabean. Saya sampaikan kepada teman-teman apa yang diceritakan Om Toyo. Waktu itu ketua cabangnya Sudarji. Saya mengatakan situasi sudah gawat. Kalau terjadi sesuatu, kita perang. Kalau kalah, gerilya.
Tanggal 1 Oktober pagi, saya mendengar di Radio Australia ada kup Dewan Jenderal. Mayor Jenderal Sutoyo, om saya, mati terbunuh. Saya langsung mbatin: "Wis ora liyo, pasti kerjaan PKI." Saya lari ke Cabang HMI. Di Ngabean juga ada kantor CC PKI. Ratusan orang komunis sudah berkumpul berpakaian hitam-hitam. Anak-anak HMI berkonsolidasi sambil menyelamatkan dokumen. Berhari-hari kami penuh ketegangan, tidak tahu siapa teman siapa musuh.
Bagaimana Anda ikut dalam operasi penumpasan PKI?
Saya risau karena seorang teman intel menemukan dokumen PKI Yogya. Isinya, nomor satu di daftar yang harus dihabisi adalah saya: Budi Yuwono. Saya sewaktu mahasiswa menjadi Kasi I (Intelijen) Resimen Mahasiswa Mahakarta UGM. Saya di HMI anggota biasa, bukan pengurus cabang. Pengurus komisariat pun tidak. Saya mencurigai teman SMA saya, Dharmoko. Dia Sekretaris CGMI Yogyakarta. Dia tahu sejarah saya di Semarang.
Bapak saya, Abu Umar, adalah Sekretaris Masyumi Jawa Tengah. Paman saya dibunuh PKI di Blora saat affair Madiun 1948. Saat peristiwa Madiun, saya kelas I SR (Sekolah Rakyat). Keluarga saya tinggal di dekat alun-alun Madiun, jadi tahu bagaimana PKI di sana waktu itu. Musso dibakar, saya juga tahu. Akhirnya saya hanya punya dua pilihan: to kill or to be killed.
Anda direkrut Sarwo Edhie Wibowo saat ia keliling Jawa Tengah dan Yogyakarta?
Begini, saat saya menjadi Kasi I (Intelijen) Resimen Mahasiswa Mahakarta UGM, markas saya di Korem. Sewaktu Pak Sarwo ke Korem Pamungkas, saya segera disodorkan ke Pak Sarwo oleh Komandan Korem Kolonel Mulyono. Pak Sarwo meng-interview saya. Saya bilang saya keponakan Mayjen Sutoyo. Ya wis, langsung masuk. Itu akhir Oktober 1965. Saya dikirim pendidikan ke Markas RPKAD di Batujajar. Saya mungkin satu-satunya mahasiswa yang direkrut. Tidak ada teman-teman saya yang tahu. Anak HMI banyak yang dilatih, tapi hanya di area, di kampung saja.
Rekrutmen RPKAD itu sedikit. Di angkatan saya yang ikut pendidikan ada 196 orang, yang non-ABRI cuma tiga. Dua gugur, yang lulus cuma saya. Latihan RPKAD berat sekali. Menyeberangi Segoro Anakan (ke Nusakambangan). Jalan kaki dari Batujajar. Tidak dikasih bekal, hanya bawa tujuh pisau komando, kompas, dan peta. Bawa senapan tapi tidak dikasih peluru.
Setelah itu, Anda ditugasi ke mana?
Setelah mendapat brevet, saya langsung bergabung dengan pasukan Pak Sarwo. Pekerjaannya kelayaban (intel). Saya ikut terus sampai terakhir Operasi Trisula di Blitar Selatan.
Banyak pemuda dilatih korem dan RPKAD?
Banyak. Semuanya di Jawa dan Bali kalau dijumlahkan mungkin puluhan ribu orang kami latih. Materinya ideologi, baris, menggunakan senjata. Di Kesatrian Kandang Menjangan, Kartasura, misalnya, kami kumpulkan pemuda dari banyak organisasi. Dari Pemuda Muhammadiyah sampai Pemuda Ansor. Kami tahunya orangnya saja yang datang. Siapa yang ikut itu urusan kodim. Latihan tersebut untuk membentuk perlawanan rakyat kepada PKI. Nah, para pemuda itu saat dilatih kan tidak berani membunuh. Saat latihan perang-perangan di Kandang Menjangan, karung-karung itu diisi tubuh orang betulan. Lalu para pemuda itu diperintahkan menyerbu dan menusuk karung tersebut dengan sangkur. Serbu... jleb. Sangkur ditarik, curr, darah semua. Siapa yang dibunuh, mereka tidak tahu. Pokoknya mereka harus berani. Biasanya, kalau sudah merasakan membunuh, mereka jadi berani.
Berapa lama pelatihan itu? Senjata juga dikasihkan ke mereka?
Paling-paling tiga-empat hari. Tidak semua dikasih senjata. Senjata yang paling gampang waktu itu, ya, LE (Lee-Enfiled buatan Inggris). Ini senapan laras panjang Belanda, sisa-sisa perang kemerdekaan 1945. AK-47 dipakai belakangan, tapi kami (tentara) yang pakai.
Sebagai intel mahasiswa, Anda punya daftar untuk mengejar para aktivis mahasiswa yang terlibat PKI?
Tidak. Pembersihan di kampus diserahkan ke rektor.
Tapi Anda ikut menginterogasi?
Ya, satu per satu kami interogasi. Ada kader PKI yang GTM (gerakan tutup mulut)-nya kuat sekali. Tapi saya punya jurus andalan, yaitu menggunakan orong-orong (serangga tanah). Kaki-tangan mereka saya ikat, lalu orong-orong saya taruh di pusar mereka, saya tutup asbak. Sembilan puluh persen berhasil. Tidak sampai lima menit mereka ngomong. Saya diajari teknik itu oleh adik sepupu saya, Haki Charomain. Dia Kasdam di Aceh sewaktu G-30-S. Hasil interogasi itu, yang kategori A dibawa ke Jakarta. Tapi, ya, itulah, kami mengakui bisa jadi ada salah eksekusi karena kurang keakuratan data. Daftar PKI itu kan belum tentu semua PKI. Seperti petani disodori BTI, itu kan tidak berani nolak.
Anda sendiri pernah melakukan eksekusi?
(Diam sesaat.) Ya. Suatu hari kami membawa tahanan. Kami bawa ke LP Wirogunan (Yogya), penuh; LP Klaten penuh; LP Solo penuh. Lalu kami diperintahkan balik. Di tengah perjalanan, truk kami minta berhenti di tengah sawah antara Delanggu dan Klaten. Kami menawari tahanan: siapa yang mau kencing? Saat kencing, satu tahanan berusaha lari. Semua lalu kami tembak. Satu truk 50-an orang tidak ada yang tersisa. Mati semua. Sopir truk bertanya: kernetnya ke mana? Lha, dia ikutan mau lari, ya kami bunuh juga....
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo