Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUGIRI, 77 tahun, warga Lumajang, Jawa Timur, adalah Komandan Barisan Serbaguna Ansor (Banser) Nahdlatul Ulama pada 1965-1970. Masih segar dalam ingatannya bagaimana Banser bersama para pemuda dari organisasi lain dilatih Tentara Nasional Indonesia menjadi "Hansip Pancasila". "Kami dilatih di alun-alun oleh anggota komando distrik militer. Latihan baris berbaris seperti tentara," katanya kepada Tempo, Jumat dua pekan lalu.
Pelatihnya adalah personel Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD). Sugiri lupa pangkatnya, tapi masih ingat nama pelatih itu, Mahmudi. "Sudah almarhum. Dia komandan dan pelatih Hansip dari Baret Merah yang diperbantukan ke kodim, ditugasi untuk melatih," ucapnya.
Dalam latihan, tak jarang mereka menggunakan senjata api jenis bren. "Semua senjata dilatihkan," ujarnya.
Mereka lalu diterjunkan dalam operasi penangkapan gembong Partai Komunis Indonesia. Pencidukan orang-orang PKI dilakukan setelah mereka mendapat perintah berdasarkan sebuah daftar. Sebagai Komandan Banser, Sugiri menyerahkan daftar buron kepada bawahannya. Sasaran utamanya adalah pengurus, ketua, wakil ketua, sekretaris, bendahara, dan tokoh PKI di kecamatan dan desa. Saat itu, setiap desa harus punya Banser satu peleton.
Hansip dan paramiliter juga mendapat seragam. Sugiri merasa tambah gagah karena seragam Banser bagus-bagus. "Biayanya entah dari siapa, seperti datang sendiri. Perangkat drum band juga ada, padahal berapa harganya," katanya.
Dalam buku John Hughes, The End of Sukarno: A Coup that Misfired, a Purge that Ran Wild, Komandan RPKAD Sarwo Edhie Wibowo mengakui peran pasukannya melatih milisi untuk mengimbangi PKI yang terorganisasi. "Kami beri mereka latihan... agar berani menumpas komunis ke akar-akarnya," ucap Sarwo.
Sarwo mendorong warga sipil antikomunis untuk membantu karena permintaan tambahan pasukan ditolak Menteri Panglima Angkatan Darat Soeharto. "Mereka latihan dua-tiga hari. Kemudian kami lepaskan agar berani menumpas komunis," katanya.
Gelombang pertama pelatihan militer untuk warga sipil dimulai pada akhir 1965 di Semarang. Setelah itu, serempak di semua komando teritorial di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali. Puluhan ribu milisi dilatih. Selain dari Gerakan Pemuda Ansor, ada peserta dari Komando Kesiapsiagaan Angkatan Muda Muhammadiyah, Pemuda Marhaen, dan Pemuda Katolik. Setelah pelatihan singkat itu, milisi dibagi dalam kelompok-kelompok dan diikutkan dalam operasi.
Operasi pengejaran PKI dilakukan terencana, terstruktur, dan sistematis. Rapat-rapat operasi digelar di kodim. "Semua diatur kodim. Kalau akan ada kegiatan bersama, kumpulnya di alun-alun kota," kata Sugiri. "Dilihat kekuatannya berapa peleton, kemudian dilakukan operasi. Kami (pimpinan Banser) ikut bersama-sama tentara mengawal di belakang."
Anggota Baret Merah mengawasi mereka. Di Lumajang, ada 10 anggota RPKAD yang mengawal operasi. Ketika operasi, Banser dan Ansor selalu membawa penjalin (batang rotan) dan senjata tajam. Rotan ini pemberian kiai sebagai jimat. "Kalau sudah mendapat tugas, kami dipinjami senjata (senapan dari kodim). Diberi tahu caranya menembak tapi tidak diberi peluru," ujar Sugiri.
Mereka yang kena sisir Banser dipastikan banyak yang tewas. "Teman-teman saya seperti sudah (lepas kendali).... Jadi sudah tidak bisa melihat orang PKI. Kalau lihat, maunya langsung menghajar saja waktu itu," kata Sugiri.
Banyak simpatisan komunis dan bahkan yang belum tentu anggota PKI kena "sikat" juga. "Manusia kalau sudah pernah berbuat semacam itu (membunuh), tidak diberi (kesempatan) begitu, akan ngawur. Selalu ingin (membunuh)," ucapnya.
Sugiri tidak menampik kabar bahwa ada yang bertindak sendiri di luar operasi. "Ada yang ketinggalan, kemudian diseser (dikejar) sendiri oleh (masyarakat) desa. Kami tidak tahu," katanya. Situasi pada masa awal pembersihan PKI memang kacau dan tidak terkendali.
Sugiri mengaku tidak menyesali perbuatannya. Menurut dia, pada waktu itu Banser melakukannya karena ingin membela negara dan agama. "Khawatir akan terjadi peristiwa Madiun 1948. Itu yang diwaspadai," ucapnya, menyebutkan soal pemberontakan PKI di Madiun.
Banyak santri ikut operasi karena menganggap penumpasan PKI hukumnya wajib. Sebab, kalau PKI menang, Islam akan dihancurkan. Orang tua dan kiai juga merestui. Kalau mati, mereka mati syahid, langsung masuk surga. Sugiri dan pemuda Anshor selalu mengingat pernyataan Yusuf Hasyim, pemimpin pusat Anshor: "Pukul dulu, urusan belakang."
Putmainah, bekas legislator dari Fraksi PKI, mengatakan operasi Banser kejam dan sadistis. Tak jarang kerabat sendiri pun dibantai karena beda ideologi. "Ada tetangga yang bercerita bahwa Banser mendapat upah Rp 5.000 setiap memenggal satu kepala anggota PKI," ujar perempuan 87 tahun itu.
Meski tokoh PKI, Putmainah lolos dari pembantaian. Tapi suaminya, anggota Batalion 29 Blitar, tewas setelah menghadiri rapat PKI di Jakarta. Putmainah mengatakan dia selamat karena dilindungi keluarga Presiden Sukarno. Soekarmini Wardoyo, kakak kandung Sukarno, adalah ayah angkat Putmainah.
Menurut Putmainah, saat itu ada bantuan Al-Quran dari Tentara Nasional Indonesia kepada pondok pesantren dan anggota Ansor yang ikut operasi. Namun Chudlari Hasyim, warga Blitar berusia 79 tahun yang turut dalam operasi, membantahnya dan menyatakan bahwa perjuangannya murni karena ideologi, tanpa iming-iming materi apa pun.
Situasi tidak keruan itu agak tertib setelah TNI Angkatan Darat dari pusat mengambil alih operasi penumpasan di berbagai daerah. Melalui kodim dan koramil, anggota Banser dilatih. Walaupun namanya organisasi paramiliter, tak banyak anggota Banser bisa baris berbaris.
Banser berperan besar dalam Operasi Trisula, operasi penumpasan sisa-sisa PKI di Blitar Selatan. Sebelumnya Banser di depan dan TNI di belakang, kini Banser di belakang sebagai pagar betis. "Kami juga tak lagi pakai sarung, tapi diberi seragam Hansip oleh tentara," kata Chudlari.
Ribuan anggota Banser dikerahkan membentuk pagar betis mengelilingi kawasan Blitar Selatan, yang menjadi lokasi pelarian tokoh PKI dari Jakarta. Meski Banser hanya sebagai pagar betis, tak sedikit simpatisan PKI meregang nyawa di tangan mereka. Simpatisan PKI yang tidak ditahan TNI diserahkan kepada Banser.
Menurut Chudlari, tak terhitung jumlah orang PKI yang diangkut truk tentara untuk diserahkan kepada Banser agar disembelih. Hal ini biasanya dilakukan pada malam hari setelah disiapkan lubang permakaman. "Kadang ada anak buah saya yang bandel memberi saya kuping orang PKI sebagai hadiah," ujar Chudlari.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo