Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BISNIS kopi tak melulu membutuhkan modal besar. Di Yogyakarta, ada Koling, kependekan dari "kopi keliling". Koling lumayan populer karena ada di pusat-pusat pelancong, seperti Malioboro, Tugu, dan alun-alun selatan Keraton.
Seorang perintis kopi keliling di Yogyakarta adalah Dayu Pratama. Laki-laki 25 tahun ini mendirikan Koling pada 2013, sepulang dari kuliah lapangan di Candiroto, Temanggung, desa sentra kopi. Alumnus Universitas Sanata Dharma ini dongkol melihat petani kopi di desa itu mulai berpaling dari kopi karena harga yang terus merosot. "Kopi itu sebenarnya bisa jadi sumber penghasilan," kata Dayu, awal Maret lalu.
O, ya, jangan bayangkan Koling yang dihela Dayu ini seperti kedai kopi kebanyakan yang punya ruangan lapang dan sejuk dengan kursi empuk. Koling berbentuk gerobak kayu beroda tiga yang mangkal di pinggir jalan. Tak usah pula membayangkan Koling seperti penjaja kopi kemasan yang berjualan dengan sepeda lengkap dengan termos air panas.
Koling menyeduh kopi asli. Maka di gerobak Dayu itu ada sederet stoples berisi biji kopi dari Temanggung, Jawa Tengah, yang ditata sebagai etalase. Di sudut lain gerobak, ada gula, teko, dan mesin penggiling kopi manual. Koling gampang dikenali karena, selain menjajakan kopi dengan gerobak, penjajanya mengenakan kain lurik dan kadang memakai caping.
Dayu menekuni bisnis ini dengan tekad membalik anggapan petani kopi. Dayu awalnya membuka bisnis kopi kecil-kecilan di kampus Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Biji kopi dari petani Temanggung dibeli lebih tinggi 20 persen dari harga pasar. Modal awalnya cuma Rp 80 ribu. Saking cekaknya, Dayu memanfaatkan pintu bekas rumah kakeknya untuk membuat gerobak. Dari sinilah cikal-bakal Koling lahir.
Semula, Koling tak diminati karena Dayu hanya mangkal di kampus. Saban hari, kopinya cuma laku tiga gelas. Koling mulai laris ketika Dayu menggeser gerobaknya ke pusat keramaian. Di sini, ia bisa menjual 1.500 gelas dengan banderol Rp 10-15 ribu per gelas. Harganya lumayan karena Dayu menjual kopi spesialti-kopi arabika kualitas terbaik.
Dengan strategi itu, bisnisnya berkembang. Kini ia punya enam gerobak. "Koling juga mulai merambah Semarang dan Magelang," ujarnya.
Sementara Dayu berbisnis kopi dengan gerobak, Kedai Kopi Kasmaran di Tegal tak kalah nyeleneh. Trio pendiri kedai, yakni Jamaludin, Daimun, dan Martin, memanfaatkan VW Combi sebagai lapak.
Dengan mobil van klasik tersebut, Kedai Kasmaran bisa buka di mana saja. Belakangan, mereka lebih sering mangkal di alun-alun Tegal. Kursi dan meja tamu digelar begitu saja, tanpa atap. "Kalau hujan, terpaksa langsung tutup," kata Jamaludin, 30 tahun. Yang paling penting, kedai tak perlu biaya ekstra untuk menyewa lapak.
Jamaludin mengatakan kedai kopi dengan VW Combi terinspirasi dari model angkringan yang populer di Yogyakarta. Ia yakin bisnisnya akan laku karena kopi sedang populer.
Biji kopi di Kedai Kasmaran dipasok dari salah satu rumah sangrai kopi di Semarang. Setiap dua pekan sekali, roaster kopi itu mengirim 20 kilogram biji kopi ke Jamaludin. Pasokan tersebut masih mencukupi kebutuhan Kedai Asmara, yang bisa menjual lebih dari 30 cangkir per hari. "Pelan-pelan masyarakat Tegal akan mengenal dan menyukai kopi spesialti," ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo