Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Aroma 'Krak' Pertama

Bisnis sangrai kopi tumbuh sejalan dengan bertebarannya kedai anak muda. Kuncinya jemput bola ke pelanggan.

25 Maret 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BAU harum karamel menguar dari mesin sangrai kopi di sudut ruang tamu sebuah rumah di kompleks Buncit Indah, Pejaten Barat, Jakarta Selatan. Ahad awal Maret itu, sang operator, Ratna Yuriasari, sibuk mengawasi mesin berkelir hitam yang terus meraung.

Ratna beberapa kali menarik pipa cokelat di pinggir mesin untuk memeriksa tingkat kematangan kopi yang tengah disangrai. Sesekali ia mengecek penanda waktu dan menuliskannya di sebuah kertas bertabel.

Pada menit kedelapan, terdengar ada bunyi seperti kulit kacang pecah dari arah mesin. Bunyi inilah yang ditunggu para tukang sangrai kopi alias roaster seperti Ratna. "Disebut juga first crack," kata Ratna. "Bunyi krak ini menjadi salah satu penanda untuk menentukan rasa kopi yang roaster inginkan."

Sore itu, salah satu pendiri Kopi Katalis Micro Roastery ini sedang menyangrai biji hijau dari Gunung Sinabung, Sumatera Utara. Ratna mendapatkan pesanan dari salah satu pelanggannya yang memperoleh biji kopi itu dari perkebunan Sinabung pada awal Februari lalu. Untuk jasa sangrai, Katalis mematok Rp 40 ribu per kilogram.

Katalis Micro Roastery merupakan salah satu rumah sangrai kopi yang berdiri pada pertengahan 2015. "Kapasitas mesin kami hanya 1 kilogram," ujar Wulan Pusponegoro, yang juga pendiri Kopi Katalis.

Ratna dan Wulan memutuskan terjun ke bisnis kopi setelah Wulan menyelesaikan program master di Tias School for Business and Society, Belanda, akhir 2014. Mereka sepakat berbisnis kopi karena produk itu tengah naik daun. Wulan tidak mau mengulangi kesalahannya dengan membuka kafe karena pernah gagal. Mereka mengawali dengan bisnis cold brew.

Karena sering mencari biji kopi yang pas untuk minuman dingin mereka, Wulan dan Ratna kerap bersinggungan dengan tukang goreng kopi. Dari sinilah mereka tertarik menekuni bisnis sangrai kopi. "Sebab, sangrai itu unik," kata Wulan. "Kami bisa menentukan akan seperti apa kopi ini di pelanggan."

Mereka pun memutuskan ikut kelas sangrai yang diadakan oleh Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia. Pada pertengahan 2015, keduanya mulai menekuni bisnis sangrai.

Ratna dan Wulan membuka rumah sangrai di saat yang tepat. Ketika itu, kafe-kafe memiliki kecenderungan bergeser dari robusta menjadi arabika spesialti. Makanya permintaan kopi sangrai pun terus meningkat.

Wulan mengatakan, dalam sebulan, Katalis menggoreng sekitar 60 kilogram kopi. Angka ini naik jika dibandingkan dengan tahun-tahun awal mereka membuka usaha, yakni sekitar 30 kilogram kopi per bulan. "Kami ingin menaikkan produksi dengan meningkatkan mesin," ucap Ratna. "Tapi harga mesin sangrai mahal."

Bisnis sangrai kopi memang sedang naik daun. Arief Said, pemilik Gordi-kurator kopi kedai sangrai-mencatat ada sekitar 100 roastery yang muncul di Jakarta dan sekitarnya. Gordi mengambil kopi dari rumah sangrai untuk mereka jual lagi dengan sistem berlangganan. "Butuh waktu dua tahun bagi Gordi jika ingin mengirimkan produk semua rumah sangrai itu ke pelanggan," katanya.

Bisnis sangrai kopi juga bergeliat di daerah. Di Semarang, misalnya, ada Panna Coffee. Panna menjual hasil sangrainya yang digoreng cokelat muda (light). Model ini dikenal dengan gaya Nordic, Eropa Timur, dengan ciri rasa yang cenderung beraroma buah-buahan (fruity). Hasil gorengannya masyhur di kalangan pencinta kopi di pantai utara, seperti Kudus, Pekalongan, dan Tegal.

Menurut pemilik Panna Coffee, Fritz Januar Ajie, bisnis di ceruk ini menjanjikan. "Kedai bisa kehilangan pelanggan, sedangkan bisnis sangrai bisa sebaliknya," ucap Fritz, awal Maret lalu, di Jakarta. "Karena roastery tidak hanya mengandalkan kafe sebagai konsumen."

Persinggungan Fritz dengan kopi bermula ketika ia membuka kedai di Semarang pada 2013. Ketika itu, biji kopi yang ada di kedainya digoreng gelap. Hingga pada suatu hari, ia jatuh cinta pada kopi yang disangrai dengan kematangan medium.

Setelah kontrak kedainya habis pada pertengahan 2015, Fritz memutuskan tidak memperpanjangnya. Ia banting setir ke bisnis sangrai. "Kalau kedai kan tunggu pelanggan, nah roasting ini jemput bola," katanya. Fritz kemudian membuka Panna-dari bahasa Sanskerta yang artinya bijak.

Fritz sering membuka kelas secara cuma-cuma untuk para pencinta kopi. Tujuannya, selain untuk mengajari para third wave bagaimana memproses dan mengolah kopi, Fritz melihat peluang marketing. "Dari mereka, kopi Panna menyebar," ujarnya. "Marketing getok tular, dari mulut ke mulut."

Pada tahun pertamanya, Panna Coffee menghabiskan sekitar 60 kilogram biji kopi per bulan karena kapasitas mesin juga hanya 1 kilogram. Saat ini, jumlahnya naik beberapa kali lipat menjadi 800 kilogram per bulan. Fritz mencatat sedikitnya ada 15 kafe yang menjadi pelanggan tetapnya. Ini belum termasuk retail seperti hotel dan rumah makan. Para pelanggan Fritz ini sebagian besar berada di wilayah pantai utara Jawa Tengah.

Menurut Fritz, kunci keberhasilan bisnis rumah sangrai adalah mendengarkan pasar. "Jangan terlalu idealis, misalnya tidak mau menggoreng robusta," ucapnya. "Sebab, masih ada juga orang yang membutuhkan robusta."

Rumah sangrai, kata Fritz, merupakan jembatan antara kedai dan pelanggan. Kafe-kafe, dia melanjutkan, bisa ditinggalkan pelanggan jika biji kopi yang disajikan tidak enak.

Di tengah maraknya rumah sangrai kopi kekinian, pemain lama di bisnis ini, seperti Kopi Aroma di Bandung, yang berdiri pada 1930, pun masih bisa bertahan. Meski sekarang banyak rumah sangrai menggunakan teknik gorengan dengan ciri khas cokelat muda alias light, Kopi Aroma masih bertahan dengan gaya cokelat tua menuju kehitaman alias medium to dark.

"Setiap roastery punya ciri khas tersendiri dan kami akan tetap dengan gaya kami," ujar Widyapratama, generasi kedua pemilik rumah sangrai ini. Makanya, ia mengatakan, meski terkesan kuno, Kopi Aroma tetap bisa menyangrai 120 kilogram per dua jam. "Pasar kami adalah mereka yang enggak pakai dasi."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus