Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BISNIS kedai kopi naik daun di kota-kota besar di Tanah Air dalam beberapa tahun terakhir. Di Jakarta saja, misalnya, sudah ada seribu lebih coffee shop yang menyajikan aneka menu kopi. Paralel dengan itu, rumah sangrai dan usaha minuman kopi siap saji berkembang. Tak melulu bisnis, kedai juga menggelar pelatihan kopi, dari yang paling dasar seperti "kopi 101" hingga baracik. Dampak "kopi gelombang ketiga".
Gerai Gelombang Ketiga
Konsep kopi spesialti dan kompetisi baracik memacu tumbuhnya gerai kopi. Bila tak diimbangi daya beli masyarakat, demam kopi bisa terjun ke titik jenuh.
BELUM genap setahun merintis kedai kopi di Jakarta lewat bendera First Crack Coffee, Evani Jesslyn melebarkan bisnisnya dengan membuka cabang pertama di Pacific Century Place, Kawasan Bisnis Sudirman (SCBD), pada awal Maret lalu. Ia tak banyak berpikir ketika mendapat tawaran membuka kafe di kawasan mentereng itu. "Saya langsung mengiyakan," kata Evani.
Finalis Barista and Farmer 2016, kompetisi Asosiasi Kopi Spesialti Eropa, ini melihat kopi sudah menjadi bagian gaya hidup kelas menengah. Karena itu, ia tidak mau menyediakan kopi asal-asalan. Evani hanya menggunakan arabika dengan grade specialty dan fine robusta dalam racikan kopinya.
Perempuan 27 tahun itu mendirikan First Crack pada Agustus 2017. Bertempat di Altira Business Park, Sunter, Jakarta Utara, kedai ini menawarkan konsep akademi kopi sekaligus kafe. Dalam sebulan, First Crack menyangrai 100 kilogram kopi. Meski orang baru di Jakarta, sebenarnya Evani sudah memiliki kedai bernama Strada Coffee di Semarang, kota kelahirannya, pada 2012. "Waktu itu bisnis kedai kopi mulai merangkak naik," ujarnya.
Bisnis kedai kopi saat itu memang sedang tumbuh bak cendawan. Pengurus Barista Guild Indonesia-wadah yang menampung peracik kopi-Mira Yudhawati mengatakan salah satu penyebab kedai kopi semarak adalah adanya fenomena ledakan "kopi gelombang ketiga" pada 2010-2011. "Kebanyakan dari mereka pernah bekerja atau sekolah di luar negeri, seperti Australia," kata Mira, yang juga Q grader dari Caswell’s Coffee. "Mereka membawa tren ngopi di kafe."
Para ahli kopi membagi perkembangan kopi dalam tiga gelombang. Penikmat "kopi gelombang ketiga" tidak sekadar menyesap kopi di kafe. Mereka yang hanya nongkrong di kedai dan menikmati kopi spesialti masuk "kopi gelombang kedua". Sedangkan "kopi gelombang pertama" adalah kelompok penikmat kopi kemasan, yang tak terlalu mengacuhkan grade kopi yang diminumnya.
Kelompok "kopi gelombang ketiga" dicirikan sebagai orang-orang yang mulai mencari tahu asal-usul biji kopi yang mereka minum, bagaimana proses pengolahan setelah panen, dan sesekali memelototi cara penyajiannya. "Bahkan ada yang lebih cerewet daripada barista kafe," kata Mira.
Mira menyatakan para penikmat kopi jenis ini memang menyumbang tumbuhnya kedai kopi di Indonesia. Laporan Financial Times pada Mei 2016 menyebutkan, berdasarkan data lembaga riset pasar, Euromonitor, dalam kurun lima tahun terakhir, ada 1.083 gerai kedai kopi di Indonesia. Sebagian besar kedai, baik yang artisan maupun jejaring, terkonsentrasi di Jakarta. Euromonitor memprediksi angka tersebut akan tumbuh 7 persen per tahun hingga 2020.
Tren pertumbuhan kedai-kedai ini juga bisa dibaca dari angka konsumsi kopi dalam negeri. International Coffee Organization mencatat kenaikan konsumsi kopi-baik robusta maupun arabika-di Indonesia mulai terasa pada 2011. Berdasarkan data dari badan yang kerap menjadi acuan harga kopi dunia ini, pada 2006-2010 konsumsi kopi dalam negeri ada di kisaran 2,8-3,3 juta ton per tahun.
Pada 2011, International Coffee Organization mencatat titik balik kenaikan konsumsi kopi dalam negeri. Ketika itu, angka konsumsi mulai naik menjadi 3,8 juta ton pada 2011. Setelah itu, melejit di atas 4 juta ton per tahun. Termutakhir, International Coffee Organization mencatat orang Indonesia menghabiskan 4,6 juta ton pada tahun panen 2017.
Jauh sebelum "kopi gelombang ketiga" menyerbu dalam negeri, beberapa kedai nonjaringan internasional yang menawarkan kopi kualitas unggul sebenarnya sudah muncul. Salah satunya ketika Henry Caswell Harmon mendirikan Caswell’s Coffee pada 1999.
Ketika itu, Caswell’s tidak sekadar membuka kafe. Mereka juga memasok biji kopi kualitas premium ke hotel-hotel atau rumah makan. "Waktu itu belum ada istilah spesialti," ujar Mira Yudhawati. "Pelanggan hanya tahu ini kopi enak, belum cerewet seperti sekarang."
Istilah kopi spesialti baru muncul pada sekitar 2008 ketika lembaga donor asal Amerika, United States Agency for International Development (USAID), menggagas "Agribusiness Market and Support Activity (Amarta) Project". Program ini bertujuan meningkatkan mutu hasil pertanian Indonesia. Salah satunya kopi. Dari sinilah petani mulai mengenal kopi spesialti. Program ini juga yang menjadi cikal-bakal lahirnya Asosiasi Kopi Spesialti Indonesia (SCAI).
Sebagai kedai kopi, Caswell’s sebenarnya tidak terlalu populer di masyarakat Jakarta. Sebab, kebanyakan pelanggan mereka adalah ekspatriat. "Apalagi kami buka di Kemang, yang identik dengan bule-bule," kata Mira. Pada awal usahanya, Caswell’s tidak hanya menyediakan kopi, mereka juga menyuplai bumbu dapur untuk masakan Barat yang tak tersedia di toko swalayan lokal.
Selain Caswell’s, kedai kopi yang buka pada era 2000-an adalah La Tazza di Mall Ambassador, Jakarta Selatan. "Waktu itu ngopi di kafe masih barang mewah," ujar Heri Setiadi, pemilik La Tazza, pertengahan Maret lalu. Dua belas tahun kemudian, ketika demam "kopi gelombang ketiga" melanda, lulusan Akademi Perhotelan Les Roches Bluche di Swiss ini membuka cabang "Si Cangkir"-terjemahan La Tazza-di Electronic Center, SCBD.
Heri mengatakan, di tengah serbuan "kopi gelombang ketiga", La Tazza termasuk kafe kecil. Dalam sehari, paling banter ia menyangrai 5 kilogram biji kopi untuk konsumsi di kedai. "Masih banyak yang lebih besar," katanya.
Salah satu kedai kopi lokal yang menonjol adalah Anomali Coffee. Kedai ini didirikan oleh Irvan Helmi dan Muhammad Abgari pada 2007. "Orang boleh bilang Anomali itu kafe," ucap Irvan. "Tapi, sejak awal berdiri, kami mendeklarasikan diri sebagai kurator kopi lokal."
Anomali, kata Irvan, muncul ketika orang-orang masih mendewakan kopi dari luar negeri. Sejak awal, Anomali berikrar hanya akan mengambil kopi dari petani lokal. Alasannya sederhana. Irvan ingin menaikkan daya saing petani dari Indonesia. "Toh, kopi Indonesia juga enak," ujarnya.
Bisnis Anomali berkembang pesat. Sebelas tahun setelah berdiri, Anomali melahirkan tiga anak usaha. Pertama, Anomali sebagai kedai kopi. Saat ini Anomali memiliki sepuluh cabang di Jakarta dan Bali. Berikutnya, kafe ini juga memiliki lini khusus untuk pendidikan kopi, yakni Indonesia Coffee Academy. Baik kafe maupun akademi menyerap 1 ton kopi per bulan.
Anak usaha yang terakhir adalah PT Kopi Asli Indonesia. Perusahaan ini memasok kopi ke 150-an pelanggan, seperti rumah makan, hotel, bioskop, bahkan sesama kedai kopi. Selain itu, perusahaan ini mengimpor alat-alat seduh, termasuk mesin espresso.
Irvan mengatakan keberhasilan Anomali tidak lepas dari gaya hidup generasi milenial. "Mereka sudah menganggap kedai kopi sebagai kantor," katanya. "Anak-anak ini merasa kantor itu bisa di mana saja dan kedai kopi selalu menjadi tujuan." Bahkan pola ngantor di kedai kopi, menurut Irvan, sudah terlihat sejak Anomali berdiri.
Intan Andini, karyawan Unilever Indonesia, menyebutkan kedai kopi sudah menjadi kantor keduanya. Perempuan 30 tahun ini memilih kafe jika ada pekerjaan yang harus diselesaikan dari luar kantor. "Bahkan, kalau ada tugas ke luar kota, saya lebih dulu mencari kafe," ucap Intan.
Tentu yang dicari bukan sembarang kedai. Intan, yang jatuh hati pada kopi spesialti sejak 2013, punya standar sendiri. Selain tempat yang nyaman dan kopinya harus spesialti, ia menambah syarat lain. Barista alias baracik mesti ramah dan paham pada apa yang disajikan. "Sering sebal kalau ada barista yang ditanya jenis kopi bilang enggak tahu," ujarnya.
Baracik memang menjadi kunci utama dari keberlangsungan kafe. Karena itu, Yoshua Tanu, pemilik kedai Common Grounds, mewajibkan barista di kedainya memahami setiap jenis kopi yang mereka seduh. Yoshua adalah juara tiga kali Indonesia Barista Championship dan semifinalis World Barista Championship 2017 di Seoul, Korea Selatan.
Common Grounds termasuk kafe yang didirikan ketika "kopi gelombang ketiga" meledak. Mulanya Yoshua, yang baru pulang dari Amerika Serikat, mendirikan Pandava Cafe di Epicentrum Walk pada 2012 bersama tiga sahabatnya. Tapi usaha ini gagal. Dua tahun kemudian, Yoshua mendirikan Common Grounds.
Yoshua belajar dari kegagalan Pandava. "Waktu itu hanya jualan kopi. Tidak ada makanan," katanya. Maka Common Grounds tidak hanya menonjolkan kopi, tapi juga santapan. Menurut Yoshua, 65 persen pendapatan kedai berasal dari makanan.
Bisnis Common Grounds melesat. Hanya dalam tiga tahun, kedai ini memiliki sepuluh gerai, satu rumah sangrai, plus akademi kopi. Selain itu, Yoshua mengantongi lisensi kedai St. Ali, yang berlokasi di Setiabudi Building One, Jakarta Selatan. St. Ali adalah gerai kopi kenamaan asal Australia.
Dalam satu bulan, Common Grounds menghabiskan 600 kilogram kopi di semua gerai. Jika ditambah penjualan ke sejumlah hotel dan restoran di luar anak usaha, biji kopi yang terserap bisa lebih dari 1 ton per bulan.
Yoshua mengatakan baracik sebagai kunci keberhasilan kedainya. Ia belajar dari kejuaraan barista yang diikutinya. "Penilaian tidak hanya dari rasa, tapi bagaimana barista menyajikan kopi," ucap Yoshua. "Semangat ini yang saya tekankan kepada barista di kafe saya."
Tapi, di balik booming kedai kopi, Yoshua menyimpan kekhawatiran. Ia berpendapat menjamurnya kedai tak diimbangi dengan daya beli masyarakat. "Banyak kafe muncul, tapi mereka yang mampu beli tidak bertambah," ujarnya. "Kalau seperti ini terus, bisa sampai ke titik jenuh."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo