Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SETELAH Presiden Joko Widodo dan keluarganya mampir pada Juli tahun lalu, kedai kopi Tuku seakan-akan tak pernah sepi. Pembeli datang berjela-jela untuk memesan es kopi susu, menu andalan kedai yang terletak di Cipete, Jakarta Selatan, itu.
Es kopi susu dipilih sebagai jualan utama kedai yang dirintis sejak 2015 ini berdasarkan riset yang serius. Andanu Prasetyo, pemilik Tuku, sampai tinggal di Melbourne, Australia, selama sebulan pada 2012 untuk mengamati perilaku warga kota itu menikmati kopi. Melbourne dikenal sebagai salah satu kota di dunia dengan kultur kopi yang kental.
Di Melbourne, Tyo-sapaannya-menemukan kedai kopi berjejer hampir setiap seratus meter. Dalam pengamatannya, sebagian besar penikmat kopi yang mampir ke kedai keluar dengan menggenggam segelas kopi panas. Lain kali, ia mengamati jadwal warga Melbourne menyeruput kopi. "Mereka ngopi dua kali sehari, pagi dan sore ketika berangkat dan pulang kerja," kata Tyo, awal Maret lalu.
Pulang ke Jakarta, Tyo memantapkan hati membuka kedai kopi. Tapi ia tak meniru mentah-mentah konsep kedai kopi di Melbourne. Setidaknya, menurut Tyo, ada tiga hal yang membuat kedai di Jakarta harus berbeda dengan Australia.
Pertama, kopi spesialti single origin yang disajikan hangat seperti di Australia kurang cocok dengan iklim tropis Jakarta. Kedua, warga Melbourne bisa menyeruput kopi sambil jalan kaki ke kampus atau kantor, sedangkan warga Jakarta berkendara ketika ke luar atau menuju rumah. "Tak ada kesempatan ngopi enak sambil menyetir," ucapnya.
Tyo juga menghitung warga Melbourne bisa menghabiskan duit setara dengan separuh upah minimum pegawai di Jakarta dalam sebulan untuk ngopi. Ia yakin segelas kopi di Jakarta tak akan laku bila dibanderol sama dengan di Melbourne.
Alumnus sekolah bisnis Prasetya Mulya ini melihat ceruk yang belum banyak digarap pebisnis kopi di Indonesia. Ceruk itu berada di tengah pasar kopi instan dengan kopi artisan yang mengandalkan kopi spesialti. "Saya ingin masyarakat minum kopi yang benar dulu sebelum menjadi penikmati kopi spesialti," tuturnya.
Maka pilihan jatuh pada kopi susu dingin sebagai andalan Tuku. Kopi susu anyes, menurut Tyo, adalah formula paling pas karena cocok dengan iklim tropis, mudah dikemas, harganya terjangkau, dan bisa diterima penikmat baru kopi.
Riset panjang Tyo menuai hasil. Kini, Tuku bisa menjual lebih dari 1.000 gelas tiap hari dari satu kedai dengan harga Rp 18 ribu per gelas. Tuku punya empat cabang yang tersebar di Jakarta.
Inovasi Tyo tak berhenti di situ. Melihat kedai Tuku sesak oleh pelanggan yang datang membeli sendiri dan pengemudi ojek online yang dititipi pelanggan, Tyo membuka kedai baru di Kemang, Jakarta Selatan. Ia ingin memusatkan transaksi pesanan lewat ojek online, yang jumlahnya separuh dari transaksi Tuku, di sana. Dengan membuka kedai khusus pesanan dari aplikasi ojek, pelanggan Tuku tak perlu berdesak-desakan di kedai yang lain.
Tyo berbagi resep bahwa biji kopi dalam racikannya berasal dari Garut, Temanggung, Aceh Gayo, dan Lintong. Tyo memilih biji kopi kualitas kedua agar harga segelas kopi susu Tuku terjangkau pelbagai kalangan. Susu yang ia pakai adalah merek yang jamak ditemukan di toko swalayan. Sedangkan gula arennya dipasok dari Jawa Barat. "Dikemas dengan konsep siap minum, Tuku mudah diterima masyarakat," ujar Tyo.
Ceruk kopi siap minum juga dirambah Gambino. Merek besutan Wenty A. Rasjid ini punya dua lini: kopi susu dan spesialti. Semuanya dikemas dalam botol kaca dan dibanderol Rp 38 ribu per botol. "Kemasan botol membidik penikmat kopi yang tak punya waktu nongkrong di kedai," kata Wenty.
Wenty menyebutkan Gambino dibuat dari 100 persen biji kopi yang dipasok dari Toraja, Ciwidey, dan Aceh Gayo. Di fasilitas pembuatan yang ada di Kramat, Jakarta Pusat, Gambino bisa menyerap setengah ton biji kopi saban bulan.
Syahdan, Wenty memutuskan terjun ke bisnis kopi siap minum karena melihat belum ada pabrikan yang memproduksinya dengan bahan 100 persen kopi asli. Menurut Wenty, kadar kopi produk-produk yang beredar di pasar tak lebih dari 5 persen. "Saya masuk ke pasar ready-to-drink yang 100 persen diolah dari kopi asli," tuturnya.
Bukan hanya pasar lokal, Gambino pun membidik luar negeri. Wenty meretas jalur untuk masuk ke Jepang, Kuwait, Dubai, dan Malaysia. "Masuk lewat retail-retail yang ada di negara tersebut," ujar Wenty.
Kopi siap minum juga menjadi model bisnis 2ndfl-dibaca second floor. Farid Tri Dewanto membuka 2ndfl dengan mengandalkan kopi susu yang dikemas dalam gelas plastik. Salah satunya Loteng, segelas kopi yang dicampur susu dan gula aren, yang dihargai Rp 16 ribu per gelas. Menu lain, Loteng Machiato, kopi susu yang ditambah krim untuk menekan rasa kopi yang masih kuat. Harganya Rp 19 ribu.
Farid mengatakan kopi siap minum sengaja dipilih karena lokasi kedainya di kawasan Senopati, Jakarta Selatan, dekat dengan pusat bisnis Sudirman. Menurut Farid, pegawai kantoran sering tak sempat kongko di kedai karena terlampau sibuk di kantor. Kopi langsung tenggak dalam gelas plastik adalah solusinya. "Kantor-kantor di sekitar Sudirman menjadi pelanggan kami," ujar pria yang pernah mengambil kursus di Pusat Penelitian Kopi dan Kakao, Jember, ini.
Kini, Farid bisa menjual 700 gelas kopi susu tiap hari. Sekitar 60 persen dari pesanan datang dari pelanggan yang memanfaatkan jasa ojek online. Sisanya, pelanggan mampir sendiri ke kedai. Farid berniat menyulap kedainya berdampingan dengan coworking space atau ruang kerja bersama. "Coworking space dan ngopi siap saji semangatnya sama-sama dinamis," tuturnya. *
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo