Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Hasil kajian Kaukus Perempuan Pembela HAM (PPHAM) yang terdiri dari berbagai organisasi masyarakat sipil telah mengidentifikasi penyebab kekerasan dan kriminalisasi terhadap pembela HAM. Tidak adanya kebijakan komprehensif untuk melindungi Pembela HAM masih menjadi perhatian. Hasil penelitian itu disampaikan di Hotel Ashley, Jakarta Pusat, Jumat 27 September 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Direktur Eksekutif KEMITRAAN, Laode M. Syarif, mengatakan penyebab terjadinya kekerasan tersebut adalah akibat peran dan aktivitas pembela HAM sering kali diabaikan dan kurang mendapat perlindungan dari negara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“PPHAM merasa perlu untuk mendukung kerja-kerja Pembela HAM dan meningkatkan dukungan publik terhadap pemenuhan HAM. Salah satunya, dengan melakukan pemetaan dan analisis situasi, khususnya mengenai perlindungan pembela HAM selama periode 10 tahun terakhir,” katanya saat membuka Diskusi Publik Peluncuran dan Diseminasi Hasil Riset “Catatan Kelabu Pelindungan Pembela HAM”," Jum’at 27 September 2024.
Penelitian ini mencatat terjadi peningkatan jumlah serangan terhadap Pembela HAM selama 10 tahun terakhir. Penyebabnya adalah pemerintah lebih fokus pada kebijakan pembangunan ekonomi yang ditopang dengan upaya menciptakan stabilitas politik dan keamanan. Oligarki politik di ranah eksekutif dan legislatif juga menjadi penyebab meningkatnya jumlah serangan tersebut.
Akibatnya, muncul upaya pelemahan partisipasi publik dan gerakan masyarakat sipil. Pelemahan itu diperkuat dengan pembentukan peraturan hukum represif yang makin menggerus pengakuan hak dan pelindungan bagi pembela HAM.
Perempuan pembela HAM juga mengalami serangan atau ancaman, contohnya Christina Rumahlatu dari Maluku, Mareta Sari Direktur Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Kaltim dan Perwakilan Perempuan Rempang. Serangan atau ancaman yang mereka terima seperti kekerasan seksual, pembunuhan karakter berdasarkan stereotip perempuan, serta penolakan aktivitas dengan dasar moralitas, agama, budaya, dan reputasi keluarga.
Mantan Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan, Mahfud MD mengatakan penting bagi pemerintah sebagai pembuat kebijakan untuk mengambil inisiatif. “Pembentukan Undang-undang Perlindungan terhadap Pembela HAM perlu segera dimasukkan di dalam prolegnas (Program Legislasi Nasional),” katanya di acara tersebut.
Senada dengan itu, Direktur Jenderal Hak Asasi Manusia (HAM) Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) Dhahana Putra, mengatakan banyak regulasi yang tidak sesuai dengan konteks bisnis dan HAM, perlu regulasi yang lebih teknis dan tidak normatif untuk memberikan perlindungan penuh terhadap pembela HAM. “UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM sudah ada ketentuan tetapi bersifat normatif, makanya perlu aturan turunan, misalnya dalam bentuk PP (Peraturan Pemerintah),” tuturnya pada acara itu.
Hal itu juga didukung oleh Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro yang menyoroti kurangnya pemahaman tentang Pembela HAM, yang belum menjadi kultur hukum di Indonesia. Hal itu diperparah dengan adanya sengkarut hukum ketika terjadi konflik antara warga dengan korporasi atau pemerintah. “Mestinya kewenangan negara disesuaikan dengan norma dan hukum internasional yang mengakui prinsip-prinsip Pembela HAM," ujarnya di acaranya yang sama.
Pilihan Editor: Polisi Sudah Tahu Lokasi Bos Brandoville Studios Cherry Lai, Kini Koordinasi dengan Interpol