Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Hasil kajian Kaukus Perempuan Pembela HAM (PPHAM) yang terdiri atas berbagai organisasi masyarakat sipil mencatat isu advokasi yang paling berisiko mendapatkan serangan atau ancaman terhadap pembela HAM adalah terkait isu kelompok minoritas. Ada 2.652 korban dari diskriminasi terhadap warga Papua sepanjang November 2014 hingga Desember 2023. Diikuti isu kebebasan pers 914 orang dan isu buruh sebanyak 569 orang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peneliti Kemitraan Zainal Abidin mengatakan bentuk-bentuk serangan bervariasi. Ada yang dalam satu peristiwa itu terjadi berbagai macam serangan atau dalam satu korban itu mereka mengalami juga berbagai macam bentuk serangan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Zainal menyampaikan bentuk serangan itu berupa serangan fisik ringan maupun sedang, kemudian sampai pada proses pemenjaraan atau pemidanaan. Pengusiran dan pembubaran juga cukup tinggi. Selain itu, perusakan menyasar pada tempat-tempat organisasi. “Tertinggi tetap pada serangan fisik seperti penganiayaan," kata Zainal di Diskusi Publik Peluncuran dan Diseminasi Hasil Riset “Catatan Kelabu Pelindungan Pembela HAM”, Jumat, 27 September 2024.
Ia mengatakan di Papua hingga kini terjadi kekerasan terus-menerus serta pendekatan keamanan yang excessive (berlebihan). Di Papua, juga terjadi excessive use of force oleh aparat, pembatasan akses informasi dan peliputan, kriminalisasi, tuduhan makar dan separatisme. “Termasuk intimidasi, diskriminasi, dan juga soal isu rasisme. Konteks Papua ini juga saya kira perlu mendapatkan perhatian khusus karena dari sisi jumlah korban di Papua selama sembilan tahun terakhir itu cukup tinggi,” ujarnya.
Ia menyampaikan isu advokasi yang juga menjadi sorotan adalah isu korupsi sebanyak 421 orang, RUU/UU Cipta Kerja 373 orang, dan isu tambang sebanyak 249 orang. Adapun penelitian tersebut mencatat ada total 5.700 orang jumlah korban dalam isu advokasi paling berisiko yang mendapatkan serangan atau ancaman.
Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro menyoroti kurangnya pemahaman tentang Pembela HAM yang belum menjadi kultur hukum di Indonesia. Hal itu diperparah dengan adanya sengkarut hukum ketika terjadi konflik antara warga dan korporasi atau pemerintah. Sebab, masih ada kekosongan hukum atau regulasi yang justru menjadi peluang penyerangan terhadap korban dan pembela HAM.
Karena itu, Nova mengatakan semestinya kewenangan negara disesuaikan dengan norma dan hukum internasional yang mengakui prinsip-prinsip Pembela HAM. Sudah menjadi kewajiban negara untuk melindungi HAM.
“Oleh karena itu siapa pun presidennya, Komnas HAM akan selalu mengawasi negara sebagai penanggung jawab dalam pemenuhan hak asasi manusia,” tutur Nova di acara yang sama, Jumat, 27 September 2024.