Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEBERADAAN Setiawan Djody di ruang rapat Gedung Heritage Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral pada Rabu akhir April lalu membuat Dwi Soetjipto gelisah. Direktur Utama Pertamina ini tak pernah mengundang Djody dalam pertemuan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said dengan Chief Executive Officer Rosneft OJSC Igor Sechin. Pertemuan tertutup dengan Sudirman pada sore itu mestinya hanya dihadiri Pertamina dan perusahaan minyak asal Rusia tersebut.
Dwi duduk tak tenang. Meski Igor Sechin dan timnya sudah berada di ruangan, Dwi keluar-masuk ruang rapat menanti datangnya tuan rumah. Ia ingin memberi tahu Sudirman soal kehadiran tamu tak diundang itu. "Anda kok tahu saja, sih," kata Dwi saat dimintai konfirmasi untuk peristiwa tersebut, Selasa pekan lalu. "Saya sudah wanti-wanti betul ke Igor, ini bisnis direct, please control your team. Kalau sejak awal ada yang bermain, bisa kacau."
Tamu tak diundang itu rupanya membaca kecemasan Dwi. Melihat bos Pertamina itu berkali-kali melongok ke luar ruang pertemuan, Djody cepat-cepat menyingkir. Seorang peserta rapat yang mengetahui kejadian tersebut mengatakan, bersama Hendra Rahtomo, Djody akhirnya keluar tak lama sebelum rapat dimulai. Hendra tak lain putra sulung Rachmawati Soekarnoputri.
Lama tak terdengar beritanya, lelaki asal Solo yang bernama lengkap KPH Salahuddin Setiawan Djodi Nur Hadiningrat ini berada di tengah pusaran tender proyek Kilang Tuban. Djody disebut-sebut sebagai sosok yang sukses "mengantarkan" Rosneft menjadi mitra Pertamina. Keputusan ini menyedot perhatian karena sinyal kemenangan Aramco sebagai investor di Kilang Tuban sempat mengemuka pada Februari lalu.
Seorang bekas petinggi perusahaan pelat merah menyebut Djody sebagai promotor Rosneft. Melalui Djody, produsen minyak Rusia ini masuk ke Indonesia. Djody memang telah lama mengurus hubungan dagang Indonesia-Rusia. "Dia memang punya hubungan ke Rusia," kata mantan pejabat tersebut.
Djody tak membantah perannya memuluskan jalan Rosneft berkiprah di Tanah Air. Upaya Djody menghubungkan Rosneft ke Indonesia dimulai satu tahun lalu. Apalagi Indonesia tengah membutuhkan kilang baru. "Saya punya idealisme. Negara kita sudah 35 tahun tidak punya refinery, kok, membeli ke trader terus," kata Djody, yang sedang berada di Guangzhou, Cina, saat dihubungi melalui sambungan telepon dan WhatsApp, Rabu pekan lalu.
Djody menampik kehadirannya di Kementerian Energi pada 27April lalu sebagai tamu tak diundang. "Enggak begitu ceritanya," ujar Djody. Ia mengaku hanya mengantar pejabat dan tim dari Rosneft. "Setelah mengantar mereka, saya pulang," katanya.
Kedekatan Djody dengan Rosneft terjalin sejak dulu. Lebih dari 15 tahun, pria kelahiran Solo, 15 Maret 1949, ini merajut bisnis dengan produsen minyak di Rusia. "Walaupun saya bersekolah di Amerika, bisnis saya banyak dengan pengusaha Rusia," kata lulusan S-2 filsafat Universitas California Berkeley ini.
Rusia memang bukan negara yang asing bagi pengusaha yang juga berkecimpung di dunia musik ini. Petualangannya di negeri beruang merah bermula pada 1982. Djody punya rupa-rupa usaha di sana: sejumlah tambang minyak di Kazakstan dan ekspor aneka jenis barang. Bersama sejumlah mitra dari Australia, Jepang, dan Eropa, ia juga mendirikan konsorsium yang bergerak di bidang teknologi.
Djody sempat menjadi Ketua Komite Rusia di Kamar Dagang dan Industri Indonesia. Hingga kini, ia aktif sebagai Ketua Perhimpunan Indonesia-Rusia. Urusan persahabatan itu membuat ia mengenal banyak orang Rusia: dari model, pengusaha, pejabat militer di Kremlin, hingga seniman.
Kedekatannya dengan Rusia pula yang membuat namanya meramaikan pemberitaan pada 2003. Ia disebut-sebut kecewa karena tak diajak dalam negosiasi pembelian pesawat Sukhoi. Padahal Djody sebenarnya sudah lama mengincar bisnis pesawat tempur dari negeri Lenin dan Tolstoy itu. Ketika Abdurrahman Wahid duduk di kursi presiden, Djody pernah berusaha merayu sang Presiden supaya membeli sejumlah peralatan tempur Rusia.
Kiprah Setiawan Djody tidak cuma di luar negeri. Di Tanah Air, sosoknya tak pernah lepas dari orang-orang besar. Ketika Setdco, perusahaan miliknya, didirikan pada 1974, Djody bermitra dengan Yanto Tjokropranolo, anak mantan Gubernur DKI Tjokropranolo. Dua tahun kemudian, Djody menjajaki bisnis tanker. Ia juga berkongsi dengan Sigit Harjojudanto-putra kedua bekas presiden Soeharto-di bisnis pengangkutan minyak dan gas. Melalui Sigit, Djody mendapat kontrak dari Pertamina untuk mengangkut minyak ke mancanegara. Djody juga masuk ke sektor pertambangan, telekomunikasi, kelapa sawit, dan tekstil.
Tak cuma luwes berbisnis, Djody lihai menjalin kedekatan dengan petinggi negara, dari Soeharto, Megawati Soekarnoputri, hingga Joko Widodo. Kedekatannya dengan Jokowi terjalin sejak di Solo, saat Djody masih aktif menjadi gitaris Kantata Takwa. Jokowi, yang gemar musik rock, kerap melihat band itu berlatih.
Hubungan dekat itu terbawa hingga mantan Wali Kota Solo ini melenggang ke Ibu Kota. Saat menjadi Gubernur DKI Jakarta, Jokowi pernah meluangkan waktu menghadiri undangan buka puasa di kediaman Djody pada awal Agustus 2013. Saat ditanya apakah ada alasan khusus Jokowi datang ke situ, "Ini kan senior," ujar Jokowi sambil menunjuk Setiawan Djody.
Bahkan, ketika Jokowi pindah ke Istana Negara, hubungan mereka tak berhenti. Seorang pengusaha dari Solo yang dekat dengan Jokowi mengatakan beberapa kali Djody mengantar Jokowi ke Bandar Udara Halim Perdanakusuma ketika bepergian ke luar negeri. Salah satunya saat Presiden Jokowi berangkat ke Amerika Serikat pada 24 Oktober 2015. Djody tampak berbincang akrab dengan Presiden Jokowi.
Bekas pejabat perusahaan pelat merah mengatakan kedekatan Djody dengan Istana memuluskan jalan Rosneft bermitra dengan Pertamina. Dalam kunjungannya ke Sochi, Rusia, 19 Mei lalu, Jokowi menyatakan akan meningkatkan kerja sama investasi di sejumlah bidang, termasuk pengilangan minyak. Tapi, menurut Djody, urusan kerja sama Rosneft dan Pertamina murni bisnis, tak ada kaitannya dengan pertemanannya dengan Jokowi.
Meski berhasil membantu Rosneft mendapat proyek kilang senilai US$ 13-14 miliar, Djody mengaku tak mendapat imbalan. Ia menunggu proyek kilang terealisasi, kemudian menjadi mitra dalam kerja sama pengelolaan produk petrokimia. "Saya akan bergabung sebagai partner investment," ujar Djody. Untuk rencana ini, Djody menggandeng Hendra Rahtomo berbisnis di fasilitas pengolahan petrokimia.
Hendra Rahtomo, yang biasa disapa Romy Soekarno, mengatakan kongsi bisnisnya dengan Djody akan menggandeng konsorsium Jepang, Korea, dan Cina yang memiliki kompetensi di bidang petrokimia. "Mas Djody menggandeng saya karena perusahaan saya memiliki jaringan di banyak lembaga keuangan," kata Presiden Direktur Mahadana Group ini, Kamis pekan lalu.
Romy mengakui Mohamad Rizky Pratama, putra sulung bekas presiden Megawati Soekarnoputri, ada di perusahaan yang sama. Namun dia memastikan kongsi bisnis dengan Djody tak ada hubungannya dengan Rizky Pratama. "Pratama tidak ikut campur. Saya yang in charge di sini," ujar Romy. Ia membenarkan ikut menemani Djody datang ke Kementerian Energi, akhir April lalu.
Ayu Prima Sandi, Agus Supriyanto, Akbar Tri Kurniawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo