Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LEMBAH surga yang kamu jelajahi dulu nyaris punah. Penduduknya tinggal 30 persen." Suara Teuku Kamal agak serak ketika menyampaikan kabar duka di kampung kelahirannya, Lamno, Aceh Jaya, setelah musibah tsunami melanda Aceh, 26 Desember 2004. "Kuala Daya dan Lambeuso rata tanah," kata pria berdarah bangsawan Lamno ini.
Kamal sengaja meninggikan suaranya saat mengucap Kuala Daya dan Lambeuso. Sebab, sepuluh tahun lalu saya sempat hilir-mudik di dua kampung ini. Waktu itu saya ingin tahu keberadaan orang Aceh keturunan Portugis asli dari Eropa. Maklum, para pemuda kampung saya, Ulee Gle, Pidie, sering bercerita tentang bidadari di Lamno, kota kecil di Lembah Geurute, Aceh Daya. Mereka sampai termimpi-mimpi menyunting sang bidadari.
Ahad pagi setelah Lebaran haji 1995, saya menjejakkan kaki saya di Lamno. Daerah ini tepat berada di Lembah Geurute. Dalam kondisi normalsebelum tsunamimembutuhkan waktu 3-4 jam berkendaraan mobil dari Banda Aceh. Jaraknya cuma 156 kilometer, tapi harus melintas jalan berkelok-kelok di Gunung Geurute.
Lamno adalah kota kecil, toko-toko waktu itu masih terbuat dari kayu. Jalanan di tengah kota juga ada yang belum diaspal. Kebetulan hari itu bertepatan dengan hari pekan Kota Lamno. Hari pekan ini sekaligus menjadi hiburan penduduk kecamatan, yang waktu itu tercatat 24 ribu jiwa. Sebagian warga menyesaki pasar.
Di tengah kota di Losmen Singgahan, di sinilah saya singgah. Sejam melepas penat, saya langsung menelusuri pasar Kota Lamno. Sayang, tak satu pun saya temui dara rupawan berambut pirang itu. Setelah tanya-tanya, baru saya paham. Pada hari pekan itu, yang meramaikan kota adalah warga pucok (orang pegunungan), yang turun membawa buah-buahan yang lagi musim.
Sedangkan warga dari pesisir, tempat bermukimnya bule Lamno, mengurung diri di rumah. Masalahnya, hari itu sedang meuseuke eungkot alias paceklik ikan. Mereka terutama menempati kampung Kuala Daya, Lambeuso, dan Ujong Muloh. Hari menjelang senja, yang saya cari belum ada. Penasaran, saya langsung keluyuran. Satu RBTrakyat banting tulang, istilah untuk ojek di Acehmembantu saya menyusuri Ujong Muloh, yang berjarak sekitar lima kilometer dari Lamno.
Kampung ini berada di bibir pantai. Pantainya landai berpasir putih bersih, dan ombaknya besar. Cocok untuk berselancar. Agar lebih mudah menemui orang, jalan kaki adalah pilihan utama. Si pengojek saya suruh balik saja ke Kota Lamno. Di sebuah kedai kopi di desa itu, saya singgah menyeruput kopi Aceh. Ups, si peracik kopi ternyata bermata cokelat berambut pirang keriting. Namanya Jamaluddin. Beberapa pria bertampang bule terlihat berseliweran di kampung ini.
Tapi, jangan harap di sini bisa menemukan pria berpakaian seperti bule di dalam televisi. Untuk mencari pria muda berwajah mirip C. Ronaldo atau Luis Figo, dua pemain bola top dari Portugal, memang gampang. Tak memasang anting di telinga, Jamaluddin dan Abu sebaliknya berpeci dan bersarung. Begitu juga dengan gadis-gadis bulenya, yang lebih memilih berkerudung ketimbang berbikini.
Dari si Jamal inilah mulai ada cerita tentang warga bule ini. "Wajah saya Portugis, tapi saya Aceh asli," katanya. Lima anaknya yang masih kecil-kecil (waktu itu) juga berciri khas bule. Salah satu anaknya (waktu itu berumur 5 tahun) sedang bermain dengan teman sebayanya. Tapi, begitu saya mendekat, dia langsung kabur.
Beberapa warga Ujong Muloh bercerita, bocah itu takut diculik pendatang. Ketakutan serupa juga tertanam pada diri dara-dara bulenya. Masalahnya, ada beberapa orang yang mengaku dari Jakarta dan Medan pernah datang ke Lembah Geurute. Mereka menawarkan sejumlah uang kepada orang tuanya, lalu berharap bisa memboyong si gadis. Maka, warga di sini marah dan selalu curiga pada pendatang.
Jangan-jangan mereka juga curiga pada saya, yang menenteng kamera dan memang pendatang. Itu sebabnya tak ada tawaran menginap dari setiap bule yang saya temui. Padahal orang Aceh biasanya sangat terbuka dan menawari tamu makan dan menginap di rumahnya, meskipun mereka miskin. Saya pun malam itu luput melihat cewek bermata biru.
Celakanya, karena sudah malam, tak ada lagi pengojek. Saya terpaksa berjalan kaki. Karena sudah gelap, akhirnya saya singgah di kebun durian. Di situ ada rangkang (dangau penjaga durian) dengan penerang teplok. Dibikin cukup tinggi, kakinya saja hampir dua meter. Untung ada tangga. Di dalamnya ada seorang pria setengah baya, tapi bukan bule. Ayah Cut Lias, begitu dia memperkenalkan namanya.
Rangkang inilah satu-satunya pilihan menghabiskan malam. Cut Lias cukup ramah. Dia cepat-cepat menyuruh saya naik karena sudah malam. Sambil menghirup rokok, kami bertukar cerita. Tentu termasuk soal bule-bule itu. Di saat sedang bercerita, beberapa durian jatuh. Saya hendak turun. Dia melarang. "Ada harimau," katanya.
Kecut saya mendengarnya. Apalagi jika teringat saya berjalan malam ke tempatnya. Pantas dia sampai menarik tangan saya hingga terangkat ke atas dangau itu. Dia bercerita, harimauyang doyan duriansering turun gunung setiap musim durian. Cerita mengalir sampai ke soal harimau jadi-jadian. Warga Lamno menyebutnya rimung daya, manusia yang mampu mengubah wujud menjadi harimau.
Dia menunjuk Lhok Kruet, sebuah desa di Lamno, sebagai sarang rimung daya. Keesokan harinya, saya mencoba mencari tahu cerita ini ke Lhok Kruet. Tapi di sana hanya ada petani dan nelayan. Warga Lhok Kruet mengatakan rimung daya sudah puluhan tahun minggat dari kampung itu. Akhirnya saya kembali berfokus untuk menelusuri keturunan bule.
Dan tibalah saya di bibir pantai Kuala Daya. Di sini ada sebuah bukit bernama Gle (Bukit) Surga. Bukit yang terletak di tepi pantai ini dihuni burung walet. Di atasnya ada batu besar yang ada bekas tapak kaki, yang dipercayai warga setempat sebagai milik Datok Pahlawan Syah. Sekitar 200 meter dari tempat ini ada Gle Kandang, tempat berkuburnya Po Teumeurehom. Ke makam Po Teumeurehom inilah warga Lamno mengejar berkah setiap 10 Zulhijah, yang dikenal dengan adat "Seumuleueng".
Ada beberapa pria bertampang bule yang berpapasan dengan saya. Mereka bersedia diajak bicara. Tapi lagi-lagi saya tak bisa bersua dengan dara bermata biru. Mereka lebih memilih sembunyi di dalam rumahnya. Masalahnya sama dengan di Ujong Muloh. Persoalan yang sama terjadi lagi di Lambeuso. Jalan lain untuk menemui anak dara ini adalah mendatangi sekolah.
Hanya ada satu sekolah menengah pertama negeri di Lamno. Inilah sekolah paling tinggi di sana waktu itu. Cara menemui gadis belia di sekolah ini ya meyakinkan mereka melalui gurunya, bahwa saya datang bukan bermaksud jahat. Di sinilah saya baru bisa bertemu dengan beberapa gadis Lamno bermata biru. Mereka berkulit putih, berhidung mancung. Ada yang bermata biru, ada juga yang cokelat. Rambut mereka pirang, tapi ada yang sudah dicat menjadi hitam. Mereka seperti ingin menyembunyikan kebuleannya.
Rupanya, inilah dia sebagian bidadari dari Lembah Geurute. Tapi mereka lugu dan pemalu. Sudah pasti tak mau memulai pembicaraan, hanya menjawab jika ditanya. Itu pun sambil menundukkan kepala. Bukan perkara gampang pula memotret mereka. Setiap dibidik, langsung kabur ke dalam kelas.
Tak apa, saya sudah melihat keindahan Lamno yang begitu lengkap. Ada bidadarinya, ada pula Gle Surga. Kini, setelah sepuluh tahun, tempat ini porak-poranda digasak tsunami. Yang tersisa cuma tanah, puing, dan jejak sejarah di sana-sini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo