Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Kedokteran, Dari Khazanah Islam

Masalah pengobatan dan kesehatan telah banyak mendapat perhatian di zaman Nabi Muhammad. Mazhab ilmu pengobatan yunani berhasil diintegrasikan dengan mazhab ilmu pengobatan dari india, persia.

3 Oktober 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADA peribahasa Arab kuno yang mengatakan: Aakhir al-dawua al-Kayy. Maksudnya: Tinggal hanya selomotan api saja obatnya. Ada lagi: Ilaa an ya'tiya al-tiryaaq min al-Iraaq maat al-Iadiigh. Sebelum obat penawar bisa didatangkan dari Irak, matilah orang yang digigit ular. Dari situ tercermin, betapa langkanya obat-obatan di negeri Arab di masa tersebut. Dan itulah masa pra-lslam. Sebab di zaman Nabi Muhammad, masalah penyakit, penobatan dan kesehatan ternyata banyak mendapatperhatian. Terbukti misalnya--menurut Muhammad Zubayr Siddiqi dalam Studies in Arabic and Persian Medical Literature--istilah-istilah pathologi dalam bahasa Arab seperti judham (lepra), dhat al-jamb (radang selaput dada) dan lain-lain terdapat dalam hadis Nabi sebagai istilah-istilah baru. Nabi misalnya mengajarkan sebuah doa begini: "Tuhan, lindungilah aku dari penyakit gila, dari judham (lepra) dan jenis-jenis penyakit jahat" --termasuk kanker, barangkali, untuk zaman kini. Begitu pula bahan-bahan untuk pengobatan sepertl qust, 'ud Hindi, ithmid, shuniz, yang dalam istilah Baratnya masing-masing dikenal sebagai costus, agallocha, antimonium dan nigella sativa--untuk sekedar menyebutkan beberapa contoh--juga dikenal mulai masa itu. Dalam pada itu madu dan kayu merah (angsana) termasuk enis bahan yang dianjurkan Nabi untuk pengobatan, seperti disebutkan oleh. Hakim Abdul Hamid dalam paper-nya yang berjudul The Holy Prophet as a Healer (1976). Untuk mempropagandakan khasiat madu, misalnya Nabi sampai-sampai pernah mengatakan: " Madu itu obat semua penyakit" (Ai-'asal dawaa-u kulli syaii). Dan bukan tanpa maksud yang berhubungan dengan kesehatan tentunya bila Nabi biasa berbuka puasa dengan kurma sebagai santapan pertama. Sedang puasa itu sendiri pun, di luar arti spiritualnya, dikatakan pula manfaatnya bagi jasad. Begitulah Nabi pernah mengatakan: "Berpuasalah agar kamu sehat." Demikian menurut Prof. Dr. A. Ramali dalam bukunya Peraturan untuk Memelihara Kesehatan dalam Hukum Syara' Islam. Sementara itu, bila penyakit perut--menurut Prof. Dr. Ramali pula--merupakan musibah yang paling banyak diderita orang, demikian pula bagi Nabi dahulu . Katanya: "Perut itu rumah segala penyakit. Dan penjagaan atas makanan adalah permulaan therapi. Permulaan segala penyakit adalah mengisi perut dengan berlebih-lebihan." Dalam sabda yang lain: "Perut ialah semisal kolam air dalam badan manusia, dan pembuluh-pembuluh darah pergi ke sana untuk diisi. Kalau perut sehat, kesehatanlah yang dibawa kembali oleh pembuluh darah itu." Dan sebaliknya. APA yang diajarkan Nabi dalam masalah pemeliharaan perut itu ternyata sejalan dengan yang kemudian dikemukakan Ibn Sina sebagai prinsip keseimbangan antara keempat cairan dalam jasad, unsur-unsur dalam jasad dan alam. Dan itulah dasar ilmu pengobatan. "Setiap penyakit sebenarnya ada obatnya" (Likullid-inwaa'), kata Nabi "Allah tidak menurunkan penyakit yang tidak diturunkan-Nya pula obatnya." Kewajiban kitalah untuk mencari obat itu. Dan kelihatannya apa yang diperbuat Ibn Sina dan seluruh dunia kedokteran Islam beberapa abad kemudian, merupakan hasil pencarian alias realisasi perintah itu. Seorang ahli terkemuka di bidang ilmu keislaman, yang tak disebatkan namanya, dalam sebuah wawancara dengan majalah Hemisphere, Melbourne, ada memberikan uraian singkat mengenai ini. Adalah mulanya tiga tradisi ilmu pengobatan, yang amat berbeda satu dengan yang lain. Pertama yang terdapat di Mesir. Kedua, yang di Mesopotamia. Dan ketiga yang ada di Persia. Ketiganya, bersama pula dengan ilmu pengobatan Yunani, daerah-daerah Laut Tengah dan beberapa wilayah di anak benua India, kemudian diintegrasikan menjadi satu mazhab ilmu pengobatan baru--ketika pengaruh Islam meliputi bagian-bagian dunia itu. Nah, mazhab baru itulah yang dikenal di India sebagai 'ilmu pengobatan Islam' atau 'ilmu pengobatan Ibn Sina'. Di Barat orang kadang menyebutnya 'ilmu pengobatan Arab', lantaran tulisan-tulisan mengenai itu yang diterjemahkan ke bahasa Latin --berhuruf dan berbahasa Arab. Memang penamaan itu kurang tepat--karena banyak tokoh terkemuka mazhab baru ini justru berasal dari luar Arab. Bahkan Ibn Sina, tokoh puncak, orang Persia. Nah. Sampai abad kesebelas, hanya ada satu mazhab ilmu pengobatan Islam. Berpusat di negeri-negeri antara Persia dan Mesir, mazhab ini mencapai kemantapannya dengan tampilnya Ibn Sina (980-1037) sebagai tokoh terbesar, di samping antara lain al-Razi (841-926) sebagai tokoh terbesar sebelum dia. Kemudian sesudah Ibn Sina muncullah empat mazhab ilmu pengobatan Islam. Pertama: mazhab Afrika Utara & Spanyol. Mazhab ini sebenarnya di abad ketigabelas sudah mati di Spanyol sendiri, namun masih bertahan di Kota Granada hingga abad kelimabelas. Maklum, Granada adalah benteng terakhir pertahanan Islam di tanah Andalus itu. Jatuh ke tangan Kristen pada 1492--persis ketika orang Eropa menemukan Amerika. Namun di Maroko, Tunisia dan wilayah-wilayah Islam sebelah barat, mazhab ini masih hidup terus hingga kini. Kedua, mazhab Mesir & Suriah serta wilayah antara keduanya. Hubungan yang rapat terlihat dengan adanya tabib-tabib dari Damaskus yang tinggal di Kairo serta rumah-rumah sakit yang mempunyai cabang-cabang di kedua kota. Ketiga: mazhab Persia, yang juga tersebar ke India. Dalam hal ini India amat bergantung pada Persia. Naskahnaskah terpenting yang dipelajari di negeri ini lebih banyak ditulis dalam bahasa Persia ketimbang dalam bahasa Arab. Begitu pun tokoh-tokoh terpenting di sana kebanyakan emigran dari kota-kota bagian selatan Persia, seperti Shiraz misalnya. Dan keempat, mazhab Turki & negeri-negeri Balkan. DI belahan barat, ilmu pengobatan Islam dengan giat dipelajari dan dihidupkan di Spanyol. Kota-kota yang merupakan pusat-pusatnya antara lain Salamanca, Granada, dan yang terpenting Cordoba. Yang disebut terakhir itu termasyhur untuk berbagai bidang. Antara lain filsafat ilmu pengobatan, farmakologi dan semua masalah penggunaan bahan-bahan, khususnya tumbuh-tumbuhan, untuk keperluan medis. Kecuali itu Cordoba juga terkenal untuk ilmu bedah. Ahli-ahli bedah kenamaan seperti al-Razi--adalah orang-orang Spanyol. Dan dari Spanyollah orang Nasrani dan Yahudi menyebarkan ilmu pengobatan ini ke suluruh Eropa. Bahwa penyebaran itu memang meluas ke seluruh Eropa, terbukti dengan adanya pusat-pusat ilmu pengobatan Islam di kota-kota seperti Paris, Bologna di Italia, dan kemudian Oxford--kota universitas di Inggris itu. Bahkan jauh di utara: Uppsala di Swedia--ketika universitas di kota ini didirikan di abad kelimabelas. Penemuan-penemuan Ibn Sina dan al-Razi diajarkan sebagai bagian terpenting, atau bahkan sebagai dasar pendidikan kedokteran. Barangkali dengan menilik pula hubungannya dengan ilmu-ilmu pengobatan lain, terutama yang dari Yunani dan India, akan terlihat gambaran lebih jelas. Hakim Muhammad Said, dalam makalahnya berjudul Ours in Trust Only seperti dimuat pula dalam Hemisphere, ada melakukan penelitian dari segi ini. Dapat disimpulkan, dalam ilmu pengobatan Islam ada beberapa hal yang berasal dari Yunani. Terpenting ialah teori tentang keempat cairan dalam jasad (darah, lendir, empedu kuning dan empedu hitam) sebagai prinsip dasar, di samping keempat unsur (tanah, air, udara, api) yang membentuk alam dan jasad. Dengan apa yang diterimanya dari Yunani itu ilmu pengobatan Islam kemudian sepenuhnya mengembangkan kreativitasnya sendiri dan melahirkan dasar-dasar pemikiran baru. Dapat disebut misalnya teori tentang mizaj (pencampuran). Teori itu bisa dijelaskan begini: lantaran alam (jadi juga obat-obatan alami, yang berasal dari tumbuh-tumbuhan) dan jasad si pasien, keduanya terjadi dari tanah, air, udara dan api, percampuran antara semua itu dapat menimbulkan berbagai kondisi: sedang atau seimbang (kondisi ideal), atau panas, dingin, kering, dan sebagainya. KELASNYA, seseorang bisa dibilang sehat bila ia berada dalam suatu kondisi yang disebut mu 'tadil tibbi (sedang atau seimbang menurut ilmu kedokteran) atau mu'tadil fardl (sedang atau seimbang seperti yang diidamkan). Di luar itu ada delapan macam kondisi tak-sedang, yaitu harr (kelewat panas), barid (kelewat dingin), yabis (kelewat kering), ratb (kelewat lembab), harr-yabis kelewat panas-kering), harr-ratb (kelewat panas-lembab), barid-yabis (kelewat dingin-kering) dan barid-ratb (kelewat dingin-lembab). Dan berdasarkan teori mkaj itu perumusan resep obat-obatan dibuat-dengan mengingat derajat kondisi setiap bahan ramuan. Lantas dari hasil penjumlahan derajat-derajat kondisi segala bahan yang mesti diramu, diketahui kondisi mana yang berderajat paling tinggi. Sebuah perumusan resep dari al-Kindi (dianggap sebagai pemikir besar pertama dalam Islam dan satu-satunya filosof yang murni Arab, lahir di Hadramaut dan pengaruhnya besar di Spanyol, meninggal 870 M), perintis metode eksak dalam hal ini, kiranya dapat memberikan gambaran lebih jelas: (lihat tabel). Dari hasil penjumlahan itu dapat diketahui bahwa kondisi kering berderajat paling tinggi dalam ramuan itu. Di bidang materia medica, dunia pengobatan Islam juga mewarisi dari Yunani beberapa jenis tumbuhan berkhasiat. Tapi jumlahnya hanya sedikit --hanya sekitar dua ratus jenis. Dan dari jumlah itu dunia Islam yang sedang berkembang itu memperkaya persediaannya sendiri, sehingga di abad kedelapanbelas telah melimpah sampai menjadi sekitar sepuluh ribu jenis. Banyak buku ditulis di bidang itu. Misalnya Kitab al-Nabat (Buku Tumbuh-tumbuhan) oleh Abu Hanifa alDinawari (wafat 895), atau Kitab al Saydanah (Buku tentang Farmasi dan Materia Medica oleh al-Biruni (telah diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh Hakim Muhammad Said sendiri, 1973). Tetapi yang paling penting ialah Jami' al-Mufradat al-Ad wiya wal Aghdhiya (Buku Utama Kumpulan Bahan Obatobatan dan Makanan) oleh Ibn al-Baytar, seorang Spanyol muslim. Ia istimewa karena banyak mempelajari bahan obat-obatan kuno dan mempertahankan penggunaannya seperti aslinya-namun dengan menetapkan nilai khasiatnya secara ilmiah. Kecuali itu banyak sumbangan orang-orang Arab sendiri di bidang ini, berkat berbagai perlawatan jauh yang mereka lakukan. Menurut Donald Cambell dalam Arabian Medicine 1, seperti dikutip Hakim Muhammad Said dalam makalahnya, mereka sampai pula jauh ke Timur, ke Borneo (Kalimantan), ke Cina, ke Kepulauan Maladewa di Laut Hindia--dan tentu juga ke Pasai dan daerah-daerah lain di Nusantara. Di antara bahan-bahan berharga yang mereka temukan termasuk cengkih, pala, kayu merah (angsana) dan kayu cendana--di samping mur, kapur barus dan air raksa. Di bidang itu patut pula dicatat bahwa kina, meskipun telah lebih dulu dikenal di Eropa non-Islam, penggunaannya hanya berdasar pengalaman orang Indian yang mula-mula menemukannya. Adalah seorang tabib muslim di abad ketigabelas, Mir Muhammad Huseyn al-Khurasani, yang pertama meneliti dan menganalisanya. Barg, demikian kulit pohon kina itu disebutnya, menurut kesimpulannya berkondisi panas-kering pada derajat kedua. Dan berkhasiat menyembuhkan demam yang berlangsung setiap hari dan demam menahun (kronis) di samping juga sebagai--sungguh tepat disebutnya-penangkal demam berkala. ADAPUN mengenai hubungan antara ilmu pengobatan Islam dengan ilmu pengobatan India (Yajurveda-Hindu), Said mengutip keterangan Siddiqi dalam Studies in Arabic and Persian Medical Literature. Di situ dijelaskan: meskipun banyak tulisan tentang diterjemahkannya buku-buku ilmu pengobatan India ke bahasa Arab di awal zaman Dinasti Abbasiyah, sistem ilmu pengobatan India yang berasaskan filsafat Hindu itu sebenarnya tidak menarik perhatian para penulis Arab. Yang terakhir ini berpikiran lebih realistis, dan sejak semula telah dipengaruhi kebudayaan Yunani. Karena itulah ilmu pengobatan Islam menerima dari Yunani teori tentang keempat cairan dalam jasad sebagai prinsip dasar--sementara ilmu pengobatan India berpegang pada paham tiga cairan (tridosha). Dan perbedaan prinsip dasar itu telah menyebabkan terjadinya penggunaan jenistumbuhan yang sama dengan maksud yang berbeda. Demikianlah misalnya sejenis setawar (costus), dalam ilmu pengobatan India dipandang mengandung sifat panas, pahit, pedas--dan dapat menyembuhkan batuk, bengek (asma), demam, salah cerna dan penyakit-penyakit kulit. Sedang dal-am pengobatan Islam dianggap punya sifat-sifat meruapi, semerbak hangat, liver tonic, melenyapkan gigilan pada demam-demam kuartan dan menyembuhkan rematik serta mulas. Atau misalnya pula cuscuta (sejenis benalu), yang dalam pengobatan India dipandang kulit akarnya dapat menyembuhkan penyakit-penyakit kulit, pembengkakan isi perut bagian bawah, cacingan, batuk, dan dapat memudah kan proses pemisahan produk-produk cairan dan lain sebagainya dalam jasad. Sementara dalam pengobatan Islam air sarinya dipandang lebih penting, dan diperikan sebagai pedas (macam soda api), pembersih lendir, penghilangkan rambut, penyembuh nyeri-nyeri pada persendian, bengkak-bengkak dan sebagainya. Sedang serbuk daunnya yang dikeringkan dapat mempercepat penyembuhan luka. Adakah hubungan ilmu pengobatan Islam dan ilmu pengobatan Cina? Ahli yang diwawancari Hemisphere menjawab ya--melalui Persia. Ada pertukaran jenis-jenis tumbuhan. Dapat dipastikan kayu manis misalnya--tak cuma untuk keperluan memasak, tapi juga pengobatan. Kecuali itu ada tulisan mengenai tusuk jarum (akupunktur) yang termasyhur dari Cina itu diterjemahkan ke bahasa Persia--atau ditulis dalam bahasa Persia dengan bantuan tabib-tabib Cina di Tabriz, di abad ke-13. Hanya saja, praktek pengobatan dengan tusuk jarum seperti dilakukan di Cina itu sebegitu jauh tak meninggalkan pengaruh yang berarti di kalangan Islam. Tapi mungkin juga ada hubungan di bidang kimia, yakni yang berhubungan dengan obat-obatan atau yang terkenal dengan sebutan 'kimia hijau'--kimia yang berurusan dengan khasiat tumbuh-tumbuhan sebagai bahan ramuan. DI banyak bidang lain, dur nia ilmu pengobatan Islam sendiri banyak menghasilkan penemuan baru. Di bidang farmasi, orang-orang Arab--menurut Campbell--memperkenalkan produk-produk baru seperti berbagai sirop, julep dan obat-obatan yang dipersedap dengan air wangi, antara lain dari mawar dan jeruk manis, di samping juga pembuatan alkohol. Kecuali itu, kemungkinan-kemungkinan dalam pembiusan telah lama dikenal orang Arab. Cerita-cerita dalam Alfu Laila wa Laila (Seribu Satu Malam) sering sekali menyuguhkan adegan yang menunjuk pada peristiwa bius ini. Begitulah Theodoric de Bologna (1206-1298), yang namanya banyak dihubungkan dengan 'spon pembius', mendapatkan formula untuk itu dari sumber-sumber Arab: spon itu direndam dalam wangian dan obat bius, lalu dikeringkan. Cara mempergunakannya: dibasahi, kemudian ditempelkan ke mulut dan hidung. Selain untuk keperluan pengobatan, spon pembius juga banyak menunjang kemajuan ilmu bedah di dunia Islam. Di bidang anatomi adalah Ibn alNafis (1210-1288) yang pertama memberikan pemerian dengan jelas tentang peredaran darah kecil--jauh sebelum Harvey (1576-1658) dari Inggris menemukan teori tentang peredaran darah besar. Sedang Ali Ibn Abbas al-Majusi (wafat 994), menurut Geoffrey Bowder (The Middle East), adalah orang pertama yang menggunakan tourniquet (aLat penyumbat darah) dalam kasus perdarahan pembuluh nadi. Al-Majusi ini, sesuai dengan namanya, bukan orang muslim. Ia salah satu saja dari berbagai teknokrat yang bekerja di bawah khalifah-khalifah Islam. Sarjana sarjana Kristen dan Yahudi misalnya cukup banyak yang dipakai dalam proyek besar penerjemahan kitab-kitab Yunani khususnya. Berikutnya Ibn al-Latif terkenal dengan kritiknya mengenai struktur rahang menurut sistem Galen. Di bidang ilmu bedah, al-Zahrawi (wafat 1013), orang Spanyol muslim, ahli bedah kenamaan, telah memberikan sumbangannya yang begitu berharga dengan bukunya al-Tasrif (Buku Pedoman). Pada bagian terakhir dari ketiga puluh babnya ia menulis tentang ilmu bedah dan perlengkapan alat-alatnya--yang kemudian ternyata amat besar pengaruhnya hagi perkembangan ilmu bedah di dunia Islam dan kemudian Eropa. Di bidang-bidang lain al-Rai, tokoh terbesar sebelum Ibn Sina, adalah otak penemuan. Mengagumkan, bahwa di samping kesibukannya sebagai tabib yang berpraktek, jenius ini masih sempat pula menulis sejumlah besar buku--tak kurang dari 237 judul menurut Said--meskipun banyak di antaranya tak dapat ditemukan lagi. Amat terkenal misalnya Kitab al-Hawi (Buku Lengkap), yang mencakup berbagai bidang dalam ilmu pengobatan: farmakologi, studi-studi klinik, materia medica dan lain-lain. Kecuali itu amat terkenal pula karyanya yang lain: Kitab al-Judri (Buku tentang Penyakit Cacar dan Campak). Inilah yang pertama membicarakan kedua penyakit itu secara integral--termasuk pembedaan antara keduanya. Tak kurang mengagumkan pula ketekunannya mencatat observasi, diagnosa dan terapi yang ia lakukan dalam praktek--dan dengan begitu mewariskan bahan-bahan studi tentang banyak kasus kepada angkatan-angkatan sesudahnya, seperti dituturkan Geoffrey Bowder dalam The Middle East. Sedang Ibn Sina, tokoh sentral, khusus di bidang materia medica telah banyak menemukan bahan nabati baru. Di antaranya yang terkenal-menurut Said--ialah apa yang disebut faghirah ('yang bermulut terbuka', arti harfiahnya), yakni "butiran yang mengandung biji hitam sebesar biji ganja, berasal dari Sakala di Hindustan" seperti diperikan Ibn Sina sendiri. Tumbuhan itu, yang dalam istilah Barat disebut Zanthoxyllum budrunga, di kalangan tabib muslim diperikan sebagai berkondisi panas dan kering, berkhasiat merangsang dan mencernakan. Sementara dalam hal terapi, Ibn Sina adalah yang pertama berhasil melakukan pengobatan terhadap beberapa penyakit tertentu seperti miningitis (radang selaput otak). KECUALI itu, meskipun Galen dan lain-lain telah lebih dulu menulis tentang ilmu pengobatan psikosomatik, penulisannya secara benar-benar menyeluruh baru dilakukan kemudian buat yang pertama tak lain oleh Ibn Sina. Dapat disebutkan pula, menurut Geoffrey Bowder, bahwa buku terbesar Ibn Sinaal-Qanun Fi'l Tibb (Kanun dalam Ilmu Pengobatan), setelah diterjemahkan ke bahasa Latin menjadi referensi ilmu pengobatan yang baku di Eropa selama empat ratus tahun. Ilmu pengobatan Islam memang mencapai kemantapannya berkat sumbangan terbesar Ibn Sina dalam beberapa hal yang lebih mendasar, lebih fundamental dan esensial. Yang pertama dapat disebutkan, dialah yang harus dikatakan telah mengintegrasikan mazhab-mazhab ilmu pengobatan Yunani dengan mazhab-mazhab ilmu pengobatan dari Timur: Persia kuno, India dan lain-lain--menjadi suatu sintesa berupa mazhab ilmu pengobatan baru. Yang kedua, ia telah menciptakan suatu kerangka dasar untuk meletakkan pemikiran dan pengertian tentang ilmu pengobatan Islam. Dengan kata lain suatu filsafat tentang suatu ilmu, yang memberi landasan bagaimana hendaknya berpikir tentang atau mengartikan ilmu itu. Dan yang ketiga, menciptakan metodologi yang memungkinkan ilmu pengobatan itu dipraktekkan. Mengenai kerangka dasar atau filsafat tentang ilmu pengobatan Islam itu, lebih lanjut ahli yang disebutkan itu menjelaskan bahwa yang penting dalam hal ini ialah prinsip keseimbangan antara keempat cairan dalam jasad, unsur-unsur dalam jasad dan alam itu. Apa pun yang masuk ke dalam tubuh kita hendaknya diusahakan begitu rupa, sehingga dapat memperkuat keseimbangan itu dan bukan merusakkannya. Sedang garis batas yang jelas antara makanan dan obat-obatan, hakikatnya tidak ada: apa yang kita makan-jika kita makan dengan tepat--akan berpengaruh baik pada kesehatan kita, lebih dari yang kita duga: Dan itulah obat. Prof. Dr. A. Ramali, dalam bukunya yang telah disebut, ada menukilkan Al Quran VII : 31: " . . . dan makan dan minumlah kamu, tapi jangan sampai melampaui batas. Allah tiada suka orang yang melampaui batas." Dan khusus tentang kebiasaan melampaui batas itu, ada ajaran Nabi Muhammad yang menarik--meski kelihatannya lebih berat tendensi kerohaniannya. "Kita ini orang-orang yang tidak makan kecuali kalau lapar. Dan kalau makan, kita tidak sampai kenyang

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus