ADA peribahasa Arab kuno yang mengatakan: Aakhir al-dawua
al-Kayy. Maksudnya: Tinggal hanya selomotan api saja obatnya.
Ada lagi: Ilaa an ya'tiya al-tiryaaq min al-Iraaq maat
al-Iadiigh. Sebelum obat penawar bisa didatangkan dari Irak,
matilah orang yang digigit ular. Dari situ tercermin, betapa
langkanya obat-obatan di negeri Arab di masa tersebut.
Dan itulah masa pra-lslam. Sebab di zaman Nabi Muhammad, masalah
penyakit, penobatan dan kesehatan ternyata banyak
mendapatperhatian. Terbukti misalnya--menurut Muhammad Zubayr
Siddiqi dalam Studies in Arabic and Persian Medical
Literature--istilah-istilah pathologi dalam bahasa Arab seperti
judham (lepra), dhat al-jamb (radang selaput dada) dan lain-lain
terdapat dalam hadis Nabi sebagai istilah-istilah baru. Nabi
misalnya mengajarkan sebuah doa begini: "Tuhan, lindungilah aku
dari penyakit gila, dari judham (lepra) dan jenis-jenis penyakit
jahat" --termasuk kanker, barangkali, untuk zaman kini.
Begitu pula bahan-bahan untuk pengobatan sepertl qust, 'ud
Hindi, ithmid, shuniz, yang dalam istilah Baratnya masing-masing
dikenal sebagai costus, agallocha, antimonium dan nigella
sativa--untuk sekedar menyebutkan beberapa contoh--juga dikenal
mulai masa itu.
Dalam pada itu madu dan kayu merah (angsana) termasuk enis bahan
yang dianjurkan Nabi untuk pengobatan, seperti disebutkan oleh.
Hakim Abdul Hamid dalam paper-nya yang berjudul The Holy Prophet
as a Healer (1976). Untuk mempropagandakan khasiat madu,
misalnya Nabi sampai-sampai pernah mengatakan: " Madu itu obat
semua penyakit" (Ai-'asal dawaa-u kulli syaii).
Dan bukan tanpa maksud yang berhubungan dengan kesehatan
tentunya bila Nabi biasa berbuka puasa dengan kurma sebagai
santapan pertama. Sedang puasa itu sendiri pun, di luar arti
spiritualnya, dikatakan pula manfaatnya bagi jasad. Begitulah
Nabi pernah mengatakan: "Berpuasalah agar kamu sehat." Demikian
menurut Prof. Dr. A. Ramali dalam bukunya Peraturan untuk
Memelihara Kesehatan dalam Hukum Syara' Islam.
Sementara itu, bila penyakit perut--menurut Prof. Dr. Ramali
pula--merupakan musibah yang paling banyak diderita orang,
demikian pula bagi Nabi dahulu . Katanya: "Perut itu rumah
segala penyakit. Dan penjagaan atas makanan adalah permulaan
therapi. Permulaan segala penyakit adalah mengisi perut dengan
berlebih-lebihan."
Dalam sabda yang lain: "Perut ialah semisal kolam air dalam
badan manusia, dan pembuluh-pembuluh darah pergi ke sana untuk
diisi. Kalau perut sehat, kesehatanlah yang dibawa kembali oleh
pembuluh darah itu." Dan sebaliknya.
APA yang diajarkan Nabi dalam masalah pemeliharaan perut itu
ternyata sejalan dengan yang kemudian dikemukakan Ibn Sina
sebagai prinsip keseimbangan antara keempat cairan dalam jasad,
unsur-unsur dalam jasad dan alam. Dan itulah dasar ilmu
pengobatan.
"Setiap penyakit sebenarnya ada obatnya" (Likullid-inwaa'),
kata Nabi "Allah tidak menurunkan penyakit yang tidak
diturunkan-Nya pula obatnya." Kewajiban kitalah untuk mencari
obat itu. Dan kelihatannya apa yang diperbuat Ibn Sina dan
seluruh dunia kedokteran Islam beberapa abad kemudian, merupakan
hasil pencarian alias realisasi perintah itu.
Seorang ahli terkemuka di bidang ilmu keislaman, yang tak
disebatkan namanya, dalam sebuah wawancara dengan majalah
Hemisphere, Melbourne, ada memberikan uraian singkat mengenai
ini.
Adalah mulanya tiga tradisi ilmu pengobatan, yang amat berbeda
satu dengan yang lain. Pertama yang terdapat di Mesir. Kedua,
yang di Mesopotamia. Dan ketiga yang ada di Persia. Ketiganya,
bersama pula dengan ilmu pengobatan Yunani, daerah-daerah Laut
Tengah dan beberapa wilayah di anak benua India, kemudian
diintegrasikan menjadi satu mazhab ilmu pengobatan baru--ketika
pengaruh Islam meliputi bagian-bagian dunia itu.
Nah, mazhab baru itulah yang dikenal di India sebagai 'ilmu
pengobatan Islam' atau 'ilmu pengobatan Ibn Sina'. Di Barat
orang kadang menyebutnya 'ilmu pengobatan Arab', lantaran
tulisan-tulisan mengenai itu yang diterjemahkan ke bahasa Latin
--berhuruf dan berbahasa Arab. Memang penamaan itu kurang
tepat--karena banyak tokoh terkemuka mazhab baru ini justru
berasal dari luar Arab. Bahkan Ibn Sina, tokoh puncak, orang
Persia.
Nah. Sampai abad kesebelas, hanya ada satu mazhab ilmu
pengobatan Islam. Berpusat di negeri-negeri antara Persia dan
Mesir, mazhab ini mencapai kemantapannya dengan tampilnya Ibn
Sina (980-1037) sebagai tokoh terbesar, di samping antara lain
al-Razi (841-926) sebagai tokoh terbesar sebelum dia.
Kemudian sesudah Ibn Sina muncullah empat mazhab ilmu pengobatan
Islam. Pertama: mazhab Afrika Utara & Spanyol. Mazhab ini
sebenarnya di abad ketigabelas sudah mati di Spanyol sendiri,
namun masih bertahan di Kota Granada hingga abad kelimabelas.
Maklum, Granada adalah benteng terakhir pertahanan Islam di
tanah Andalus itu. Jatuh ke tangan Kristen pada 1492--persis
ketika orang Eropa menemukan Amerika. Namun di Maroko, Tunisia
dan wilayah-wilayah Islam sebelah barat, mazhab ini masih hidup
terus hingga kini.
Kedua, mazhab Mesir & Suriah serta wilayah antara keduanya.
Hubungan yang rapat terlihat dengan adanya tabib-tabib dari
Damaskus yang tinggal di Kairo serta rumah-rumah sakit yang
mempunyai cabang-cabang di kedua kota.
Ketiga: mazhab Persia, yang juga tersebar ke India. Dalam hal
ini India amat bergantung pada Persia. Naskahnaskah terpenting
yang dipelajari di negeri ini lebih banyak ditulis dalam bahasa
Persia ketimbang dalam bahasa Arab. Begitu pun tokoh-tokoh
terpenting di sana kebanyakan emigran dari kota-kota bagian
selatan Persia, seperti Shiraz misalnya. Dan keempat, mazhab
Turki & negeri-negeri Balkan.
DI belahan barat, ilmu pengobatan Islam dengan giat dipelajari
dan dihidupkan di Spanyol. Kota-kota yang merupakan
pusat-pusatnya antara lain Salamanca, Granada, dan yang
terpenting Cordoba.
Yang disebut terakhir itu termasyhur untuk berbagai bidang.
Antara lain filsafat ilmu pengobatan, farmakologi dan semua
masalah penggunaan bahan-bahan, khususnya tumbuh-tumbuhan, untuk
keperluan medis. Kecuali itu Cordoba juga terkenal untuk ilmu
bedah. Ahli-ahli bedah kenamaan seperti al-Razi--adalah
orang-orang Spanyol.
Dan dari Spanyollah orang Nasrani dan Yahudi menyebarkan ilmu
pengobatan ini ke suluruh Eropa. Bahwa penyebaran itu memang
meluas ke seluruh Eropa, terbukti dengan adanya pusat-pusat ilmu
pengobatan Islam di kota-kota seperti Paris, Bologna di Italia,
dan kemudian Oxford--kota universitas di Inggris itu. Bahkan
jauh di utara: Uppsala di Swedia--ketika universitas di kota ini
didirikan di abad kelimabelas. Penemuan-penemuan Ibn Sina dan
al-Razi diajarkan sebagai bagian terpenting, atau bahkan sebagai
dasar pendidikan kedokteran.
Barangkali dengan menilik pula hubungannya dengan ilmu-ilmu
pengobatan lain, terutama yang dari Yunani dan India, akan
terlihat gambaran lebih jelas. Hakim Muhammad Said, dalam
makalahnya berjudul Ours in Trust Only seperti dimuat pula dalam
Hemisphere, ada melakukan penelitian dari segi ini.
Dapat disimpulkan, dalam ilmu pengobatan Islam ada beberapa hal
yang berasal dari Yunani. Terpenting ialah teori tentang keempat
cairan dalam jasad (darah, lendir, empedu kuning dan empedu
hitam) sebagai prinsip dasar, di samping keempat unsur (tanah,
air, udara, api) yang membentuk alam dan jasad.
Dengan apa yang diterimanya dari Yunani itu ilmu pengobatan
Islam kemudian sepenuhnya mengembangkan kreativitasnya sendiri
dan melahirkan dasar-dasar pemikiran baru. Dapat disebut
misalnya teori tentang mizaj (pencampuran). Teori itu bisa
dijelaskan begini: lantaran alam (jadi juga obat-obatan alami,
yang berasal dari tumbuh-tumbuhan) dan jasad si pasien, keduanya
terjadi dari tanah, air, udara dan api, percampuran antara semua
itu dapat menimbulkan berbagai kondisi: sedang atau seimbang
(kondisi ideal), atau panas, dingin, kering, dan sebagainya.
KELASNYA, seseorang bisa dibilang sehat bila ia berada dalam
suatu kondisi yang disebut mu 'tadil tibbi (sedang atau seimbang
menurut ilmu kedokteran) atau mu'tadil fardl (sedang atau
seimbang seperti yang diidamkan). Di luar itu ada delapan macam
kondisi tak-sedang, yaitu harr (kelewat panas), barid (kelewat
dingin), yabis (kelewat kering), ratb (kelewat lembab),
harr-yabis kelewat panas-kering), harr-ratb (kelewat
panas-lembab), barid-yabis (kelewat dingin-kering) dan
barid-ratb (kelewat dingin-lembab).
Dan berdasarkan teori mkaj itu perumusan resep obat-obatan
dibuat-dengan mengingat derajat kondisi setiap bahan ramuan.
Lantas dari hasil penjumlahan derajat-derajat kondisi segala
bahan yang mesti diramu, diketahui kondisi mana yang berderajat
paling tinggi. Sebuah perumusan resep dari al-Kindi (dianggap
sebagai pemikir besar pertama dalam Islam dan satu-satunya
filosof yang murni Arab, lahir di Hadramaut dan pengaruhnya
besar di Spanyol, meninggal 870 M), perintis metode eksak dalam
hal ini, kiranya dapat memberikan gambaran lebih jelas: (lihat
tabel).
Dari hasil penjumlahan itu dapat diketahui bahwa kondisi kering
berderajat paling tinggi dalam ramuan itu.
Di bidang materia medica, dunia pengobatan Islam juga mewarisi
dari Yunani beberapa jenis tumbuhan berkhasiat. Tapi jumlahnya
hanya sedikit --hanya sekitar dua ratus jenis. Dan dari jumlah
itu dunia Islam yang sedang berkembang itu memperkaya
persediaannya sendiri, sehingga di abad kedelapanbelas telah
melimpah sampai menjadi sekitar sepuluh ribu jenis.
Banyak buku ditulis di bidang itu. Misalnya Kitab al-Nabat (Buku
Tumbuh-tumbuhan) oleh Abu Hanifa alDinawari (wafat 895), atau
Kitab al Saydanah (Buku tentang Farmasi dan Materia Medica oleh
al-Biruni (telah diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh Hakim
Muhammad Said sendiri, 1973). Tetapi yang paling penting ialah
Jami' al-Mufradat al-Ad wiya wal Aghdhiya (Buku Utama Kumpulan
Bahan Obatobatan dan Makanan) oleh Ibn al-Baytar, seorang
Spanyol muslim. Ia istimewa karena banyak mempelajari bahan
obat-obatan kuno dan mempertahankan penggunaannya seperti
aslinya-namun dengan menetapkan nilai khasiatnya secara ilmiah.
Kecuali itu banyak sumbangan orang-orang Arab sendiri di bidang
ini, berkat berbagai perlawatan jauh yang mereka lakukan.
Menurut Donald Cambell dalam Arabian Medicine 1, seperti dikutip
Hakim Muhammad Said dalam makalahnya, mereka sampai pula jauh ke
Timur, ke Borneo (Kalimantan), ke Cina, ke Kepulauan Maladewa di
Laut Hindia--dan tentu juga ke Pasai dan daerah-daerah lain di
Nusantara. Di antara bahan-bahan berharga yang mereka temukan
termasuk cengkih, pala, kayu merah (angsana) dan kayu
cendana--di samping mur, kapur barus dan air raksa.
Di bidang itu patut pula dicatat bahwa kina, meskipun telah
lebih dulu dikenal di Eropa non-Islam, penggunaannya hanya
berdasar pengalaman orang Indian yang mula-mula menemukannya.
Adalah seorang tabib muslim di abad ketigabelas, Mir Muhammad
Huseyn al-Khurasani, yang pertama meneliti dan menganalisanya.
Barg, demikian kulit pohon kina itu disebutnya, menurut
kesimpulannya berkondisi panas-kering pada derajat kedua. Dan
berkhasiat menyembuhkan demam yang berlangsung setiap hari dan
demam menahun (kronis) di samping juga sebagai--sungguh tepat
disebutnya-penangkal demam berkala.
ADAPUN mengenai hubungan antara ilmu pengobatan Islam dengan
ilmu pengobatan India (Yajurveda-Hindu), Said mengutip
keterangan Siddiqi dalam Studies in Arabic and Persian Medical
Literature. Di situ dijelaskan: meskipun banyak tulisan tentang
diterjemahkannya buku-buku ilmu pengobatan India ke bahasa Arab
di awal zaman Dinasti Abbasiyah, sistem ilmu pengobatan India
yang berasaskan filsafat Hindu itu sebenarnya tidak menarik
perhatian para penulis Arab. Yang terakhir ini berpikiran lebih
realistis, dan sejak semula telah dipengaruhi kebudayaan Yunani.
Karena itulah ilmu pengobatan Islam menerima dari Yunani teori
tentang keempat cairan dalam jasad sebagai prinsip
dasar--sementara ilmu pengobatan India berpegang pada paham tiga
cairan (tridosha). Dan perbedaan prinsip dasar itu telah
menyebabkan terjadinya penggunaan jenistumbuhan yang sama dengan
maksud yang berbeda.
Demikianlah misalnya sejenis setawar (costus), dalam ilmu
pengobatan India dipandang mengandung sifat panas, pahit,
pedas--dan dapat menyembuhkan batuk, bengek (asma), demam, salah
cerna dan penyakit-penyakit kulit. Sedang dal-am pengobatan
Islam dianggap punya sifat-sifat meruapi, semerbak hangat, liver
tonic, melenyapkan gigilan pada demam-demam kuartan dan
menyembuhkan rematik serta mulas.
Atau misalnya pula cuscuta (sejenis benalu), yang dalam
pengobatan India dipandang kulit akarnya dapat menyembuhkan
penyakit-penyakit kulit, pembengkakan isi perut bagian bawah,
cacingan, batuk, dan dapat memudah kan proses pemisahan
produk-produk cairan dan lain sebagainya dalam jasad. Sementara
dalam pengobatan Islam air sarinya dipandang lebih penting, dan
diperikan sebagai pedas (macam soda api), pembersih lendir,
penghilangkan rambut, penyembuh nyeri-nyeri pada persendian,
bengkak-bengkak dan sebagainya. Sedang serbuk daunnya yang
dikeringkan dapat mempercepat penyembuhan luka.
Adakah hubungan ilmu pengobatan Islam dan ilmu pengobatan Cina?
Ahli yang diwawancari Hemisphere menjawab ya--melalui Persia.
Ada pertukaran jenis-jenis tumbuhan. Dapat dipastikan kayu manis
misalnya--tak cuma untuk keperluan memasak, tapi juga
pengobatan.
Kecuali itu ada tulisan mengenai tusuk jarum (akupunktur) yang
termasyhur dari Cina itu diterjemahkan ke bahasa Persia--atau
ditulis dalam bahasa Persia dengan bantuan tabib-tabib Cina di
Tabriz, di abad ke-13. Hanya saja, praktek pengobatan dengan
tusuk jarum seperti dilakukan di Cina itu sebegitu jauh tak
meninggalkan pengaruh yang berarti di kalangan Islam.
Tapi mungkin juga ada hubungan di bidang kimia, yakni yang
berhubungan dengan obat-obatan atau yang terkenal dengan sebutan
'kimia hijau'--kimia yang berurusan dengan khasiat
tumbuh-tumbuhan sebagai bahan ramuan.
DI banyak bidang lain, dur nia ilmu pengobatan Islam sendiri
banyak menghasilkan penemuan baru. Di bidang farmasi,
orang-orang Arab--menurut Campbell--memperkenalkan produk-produk
baru seperti berbagai sirop, julep dan obat-obatan yang
dipersedap dengan air wangi, antara lain dari mawar dan jeruk
manis, di samping juga pembuatan alkohol.
Kecuali itu, kemungkinan-kemungkinan dalam pembiusan telah lama
dikenal orang Arab. Cerita-cerita dalam Alfu Laila wa Laila
(Seribu Satu Malam) sering sekali menyuguhkan adegan yang
menunjuk pada peristiwa bius ini. Begitulah Theodoric de Bologna
(1206-1298), yang namanya banyak dihubungkan dengan 'spon
pembius', mendapatkan formula untuk itu dari sumber-sumber Arab:
spon itu direndam dalam wangian dan obat bius, lalu dikeringkan.
Cara mempergunakannya: dibasahi, kemudian ditempelkan ke mulut
dan hidung. Selain untuk keperluan pengobatan, spon pembius juga
banyak menunjang kemajuan ilmu bedah di dunia Islam.
Di bidang anatomi adalah Ibn alNafis (1210-1288) yang pertama
memberikan pemerian dengan jelas tentang peredaran darah
kecil--jauh sebelum Harvey (1576-1658) dari Inggris menemukan
teori tentang peredaran darah besar.
Sedang Ali Ibn Abbas al-Majusi (wafat 994), menurut Geoffrey
Bowder (The Middle East), adalah orang pertama yang menggunakan
tourniquet (aLat penyumbat darah) dalam kasus perdarahan
pembuluh nadi. Al-Majusi ini, sesuai dengan namanya, bukan orang
muslim. Ia salah satu saja dari berbagai teknokrat yang bekerja
di bawah khalifah-khalifah Islam. Sarjana sarjana Kristen dan
Yahudi misalnya cukup banyak yang dipakai dalam proyek besar
penerjemahan kitab-kitab Yunani khususnya.
Berikutnya Ibn al-Latif terkenal dengan kritiknya mengenai
struktur rahang menurut sistem Galen.
Di bidang ilmu bedah, al-Zahrawi (wafat 1013), orang Spanyol
muslim, ahli bedah kenamaan, telah memberikan sumbangannya yang
begitu berharga dengan bukunya al-Tasrif (Buku Pedoman). Pada
bagian terakhir dari ketiga puluh babnya ia menulis tentang ilmu
bedah dan perlengkapan alat-alatnya--yang kemudian ternyata amat
besar pengaruhnya hagi perkembangan ilmu bedah di dunia Islam
dan kemudian Eropa.
Di bidang-bidang lain al-Rai, tokoh terbesar sebelum Ibn Sina,
adalah otak penemuan. Mengagumkan, bahwa di samping kesibukannya
sebagai tabib yang berpraktek, jenius ini masih sempat pula
menulis sejumlah besar buku--tak kurang dari 237 judul menurut
Said--meskipun banyak di antaranya tak dapat ditemukan lagi.
Amat terkenal misalnya Kitab al-Hawi (Buku Lengkap), yang
mencakup berbagai bidang dalam ilmu pengobatan: farmakologi,
studi-studi klinik, materia medica dan lain-lain.
Kecuali itu amat terkenal pula karyanya yang lain: Kitab
al-Judri (Buku tentang Penyakit Cacar dan Campak). Inilah yang
pertama membicarakan kedua penyakit itu secara
integral--termasuk pembedaan antara keduanya. Tak kurang
mengagumkan pula ketekunannya mencatat observasi, diagnosa dan
terapi yang ia lakukan dalam praktek--dan dengan begitu
mewariskan bahan-bahan studi tentang banyak kasus kepada
angkatan-angkatan sesudahnya, seperti dituturkan Geoffrey Bowder
dalam The Middle East.
Sedang Ibn Sina, tokoh sentral, khusus di bidang materia medica
telah banyak menemukan bahan nabati baru. Di antaranya yang
terkenal-menurut Said--ialah apa yang disebut faghirah ('yang
bermulut terbuka', arti harfiahnya), yakni "butiran yang
mengandung biji hitam sebesar biji ganja, berasal dari Sakala di
Hindustan" seperti diperikan Ibn Sina sendiri. Tumbuhan itu,
yang dalam istilah Barat disebut Zanthoxyllum budrunga, di
kalangan tabib muslim diperikan sebagai berkondisi panas dan
kering, berkhasiat merangsang dan mencernakan.
Sementara dalam hal terapi, Ibn Sina adalah yang pertama
berhasil melakukan pengobatan terhadap beberapa penyakit
tertentu seperti miningitis (radang selaput otak).
KECUALI itu, meskipun Galen dan lain-lain telah lebih dulu
menulis tentang ilmu pengobatan psikosomatik, penulisannya
secara benar-benar menyeluruh baru dilakukan kemudian buat yang
pertama tak lain oleh Ibn Sina. Dapat disebutkan pula, menurut
Geoffrey Bowder, bahwa buku terbesar Ibn Sinaal-Qanun Fi'l Tibb
(Kanun dalam Ilmu Pengobatan), setelah diterjemahkan ke bahasa
Latin menjadi referensi ilmu pengobatan yang baku di Eropa
selama empat ratus tahun.
Ilmu pengobatan Islam memang mencapai kemantapannya berkat
sumbangan terbesar Ibn Sina dalam beberapa hal yang lebih
mendasar, lebih fundamental dan esensial. Yang pertama dapat
disebutkan, dialah yang harus dikatakan telah mengintegrasikan
mazhab-mazhab ilmu pengobatan Yunani dengan mazhab-mazhab ilmu
pengobatan dari Timur: Persia kuno, India dan lain-lain--menjadi
suatu sintesa berupa mazhab ilmu pengobatan baru. Yang kedua, ia
telah menciptakan suatu kerangka dasar untuk meletakkan
pemikiran dan pengertian tentang ilmu pengobatan Islam. Dengan
kata lain suatu filsafat tentang suatu ilmu, yang memberi
landasan bagaimana hendaknya berpikir tentang atau mengartikan
ilmu itu. Dan yang ketiga, menciptakan metodologi yang
memungkinkan ilmu pengobatan itu dipraktekkan.
Mengenai kerangka dasar atau filsafat tentang ilmu pengobatan
Islam itu, lebih lanjut ahli yang disebutkan itu menjelaskan
bahwa yang penting dalam hal ini ialah prinsip keseimbangan
antara keempat cairan dalam jasad, unsur-unsur dalam jasad dan
alam itu. Apa pun yang masuk ke dalam tubuh kita hendaknya
diusahakan begitu rupa, sehingga dapat memperkuat keseimbangan
itu dan bukan merusakkannya. Sedang garis batas yang jelas
antara makanan dan obat-obatan, hakikatnya tidak ada: apa yang
kita makan-jika kita makan dengan tepat--akan berpengaruh baik
pada kesehatan kita, lebih dari yang kita duga: Dan itulah obat.
Prof. Dr. A. Ramali, dalam bukunya yang telah disebut, ada
menukilkan Al Quran VII : 31: " . . . dan makan dan minumlah
kamu, tapi jangan sampai melampaui batas. Allah tiada suka orang
yang melampaui batas."
Dan khusus tentang kebiasaan melampaui batas itu, ada ajaran
Nabi Muhammad yang menarik--meski kelihatannya lebih berat
tendensi kerohaniannya. "Kita ini orang-orang yang tidak makan
kecuali kalau lapar. Dan kalau makan, kita tidak sampai kenyang
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini