DESA Dolok Martali-Uli sejak awal tahun ini sudah tenggelam
ditelan air Bendungan Siruar, salah satu bendungan di Proyek
Asahan. Tapi 38 KK penduduknya sampai sekarang merasa dibohongi,
karena ternyata di tempat penampungan sekarang mereka hampir tak
menghasilkan apa-apa.
Sebelum mereka meninggalkan desa di Kecamatan Porsea, di tepi
Danau Toba itu, memang dijanjikan selain menerima ganti rugi Rp
130 per-m2 mereka akan dipindahkan ke desa lain dengan fasilitas
pertanian yang memadai. Janji ini pun diperkuat Bupati Tapanuli
Utara, Drs Salmon Sagala.
Salmon Sagala lantas menunjuk lungguk (dukuh) Si Oma-oma di Desa
Silantom, Kecamatan Pangaribuan--195 km dari Dolok Martali-tali.
Lokasi ini dipilih karena berdekatan dengan Sungai Saipartolong
yang diharapkan bisa menjadi sumber irigasi. Setiap KK
dijanjikan 2 ha tanah: 1 ha untuk lahan persawahan dan sisanya
untuk perumahan dan pekarangan. Lokasi pemukiman itu juga akan
dilengkapi dengan berbagai sarana.
Tapi janji itu ternyata meleset. Menurut Yusuf Siahaan,
jurubicara ke-38 KK itu, lahan yang mereka terima kini baru 2-3
rante (1 rante = 400 meter persegi). Lahan sempit itu pun tidak
siap tanam. Selebihnya masih akan ditentukan kemudian--di tempat
lain. Sampai dua pekan lalu sarana seperti balai desa dan
sebagainya belum juga rampung.
Irigasi sepanjang 7 km dari Sungai Saipartolong juga tidak
berdaya mengairi sawah. Menurut Bupati Sagala, hal itu karena
irigasi tersebut dua kali bobol, yaitu pada Februari dan April
lalu. Tapi, menurut sebagian penduduk, ada beberapa bagian dari
irigasi itu yang letaknya 1 meter lebih rendah dari sawah,
sehingga air tidak bisa mengalir.
Dua jembatan dari besi dan beton berikut jalan aspal 15 km
memang sudah selesai--di samping 5 km lagi dari batu. Tapi masih
ada 18 km lagi yang belum tergarap. Bupati berjanji lagi,
"sebelum Desember sisa antara Pangaribuan - Sioma-oma sudah akan
selesai. "
Enggan Menyebut
Karena lahan-lahan di Si Oma-oma belum siap tanam, para petani
sudah memastikan, panen yang akan datang bakal gagal sama
sekali. Dalam musim tanam bulan Oktober ini mereka terpaksa
mangordang (menugal): menyebar benih padi di tanah kering.
Celakanya, lahan itu masih penuh dengan akar ilalang dan
tetumbuhan lainnya, bertanah lempung merah dan berpasir. Kurang
cocok untuk padi.
Ketika baru saja tiba, bulan November tahun lalu, petani sudah
berusaha bertanam padi. Tapi gagal. Satu kaleng benih padi (16
kg) hanya menghasilkan 3 - 5 kaleng gabah. Padahal di desa asal
mereka, satu kaleng benih padi lazimnya menghasilkan sekitar 60
kaleng. "Di Dolok Martali-tali bila panen besar saya biasanya
bisa memetik sampai 500 atau 700 kaleng," ujar Ompu Dogor boru
Manurung, nenek tertua di proyek Si Oma-oma.
Lahan-lahan di Porsea dan sekitarnya memang terkenal subur.
Apalagi di sana mereka juga bisa beternak babi, ayam atau
kambing. Atau menangkap ikan di Danau Toba atau di Sungai
Asahan. Ketika pindah ke Si Oma-oma, Ompu Dogor hanya membawa
enam kaleng bibit padi, dua kaleng beras, delapan lembar tikar
pandan, dua cangkul dan satu garu. Rumahnya kini sempit, ukuran
30 m2, berdinding papan beratap seng.
Betapa pun Bupati Salmon Sagala enggan menyebut proyek pemukiman
di Si Oma-oma gagal. Proyek itu disebutnya belum rampung karena
dana yang terbatas. "Untuk menggarap 1 ha mestinya tersedia dana
Rp 1 juta. Itu standar nasional. Tapi di Si Oma-oma hanya
tersedia Rp 500.000/ha," katanya.
Padahal dana untuk proyek itu cukup banyak: Rp 200 juta dari PT
Inalum (perusahaan pengolahan aluminium di Proyek Asahan)
ditambah Rp 65 juta dari APBD Provinsi Sum-Ut. Tapi uang
sebanyak Itu rupanya tidak cukup untuk membiayai seluruh proyek
pemukiman Si Oma-oma dengan berbagai sarananya. Mulai dari
jembatan, jalan beraspal, irigasi, perumahan.
Akan halnya sawah yang tidak siap tanam, menurut Camat Frans
Walsink Gultom menjadi tanggungjawab CV Pakpahan Service.
Perusahaan ini semula menyanggupi mencetak 100 ha sawah dan 100
ha ladang dengan biaya Rp 17 juta lebih. Tapi, menurut Pakpahan,
kontraktor tersebut, baru menyelesaikan 80 ha sawah dan 15 ha
ladang.
Pihak Pakpahan sendiri mengaku telah menyelesaikan 200 areal
yang menjadi tanggungjawabnya itu. "Tapi rupanya ada
ketidakcocokan pengukuran antara perusahaan saya dengan pihak
agraria," kata Pakpahan. Cuma soal ukuran?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini