Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Sawah Ompu Dogor Di Si Oma-Oma

Proyek pemukiman di dukuh si oma-oma (tapanuli utara) sebagai penampungan penduduk porsea yang tergusur bendungan siruar, tidak dipersiapkan dengan baik. panen penduduk terancam gagal.

3 Oktober 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DESA Dolok Martali-Uli sejak awal tahun ini sudah tenggelam ditelan air Bendungan Siruar, salah satu bendungan di Proyek Asahan. Tapi 38 KK penduduknya sampai sekarang merasa dibohongi, karena ternyata di tempat penampungan sekarang mereka hampir tak menghasilkan apa-apa. Sebelum mereka meninggalkan desa di Kecamatan Porsea, di tepi Danau Toba itu, memang dijanjikan selain menerima ganti rugi Rp 130 per-m2 mereka akan dipindahkan ke desa lain dengan fasilitas pertanian yang memadai. Janji ini pun diperkuat Bupati Tapanuli Utara, Drs Salmon Sagala. Salmon Sagala lantas menunjuk lungguk (dukuh) Si Oma-oma di Desa Silantom, Kecamatan Pangaribuan--195 km dari Dolok Martali-tali. Lokasi ini dipilih karena berdekatan dengan Sungai Saipartolong yang diharapkan bisa menjadi sumber irigasi. Setiap KK dijanjikan 2 ha tanah: 1 ha untuk lahan persawahan dan sisanya untuk perumahan dan pekarangan. Lokasi pemukiman itu juga akan dilengkapi dengan berbagai sarana. Tapi janji itu ternyata meleset. Menurut Yusuf Siahaan, jurubicara ke-38 KK itu, lahan yang mereka terima kini baru 2-3 rante (1 rante = 400 meter persegi). Lahan sempit itu pun tidak siap tanam. Selebihnya masih akan ditentukan kemudian--di tempat lain. Sampai dua pekan lalu sarana seperti balai desa dan sebagainya belum juga rampung. Irigasi sepanjang 7 km dari Sungai Saipartolong juga tidak berdaya mengairi sawah. Menurut Bupati Sagala, hal itu karena irigasi tersebut dua kali bobol, yaitu pada Februari dan April lalu. Tapi, menurut sebagian penduduk, ada beberapa bagian dari irigasi itu yang letaknya 1 meter lebih rendah dari sawah, sehingga air tidak bisa mengalir. Dua jembatan dari besi dan beton berikut jalan aspal 15 km memang sudah selesai--di samping 5 km lagi dari batu. Tapi masih ada 18 km lagi yang belum tergarap. Bupati berjanji lagi, "sebelum Desember sisa antara Pangaribuan - Sioma-oma sudah akan selesai. " Enggan Menyebut Karena lahan-lahan di Si Oma-oma belum siap tanam, para petani sudah memastikan, panen yang akan datang bakal gagal sama sekali. Dalam musim tanam bulan Oktober ini mereka terpaksa mangordang (menugal): menyebar benih padi di tanah kering. Celakanya, lahan itu masih penuh dengan akar ilalang dan tetumbuhan lainnya, bertanah lempung merah dan berpasir. Kurang cocok untuk padi. Ketika baru saja tiba, bulan November tahun lalu, petani sudah berusaha bertanam padi. Tapi gagal. Satu kaleng benih padi (16 kg) hanya menghasilkan 3 - 5 kaleng gabah. Padahal di desa asal mereka, satu kaleng benih padi lazimnya menghasilkan sekitar 60 kaleng. "Di Dolok Martali-tali bila panen besar saya biasanya bisa memetik sampai 500 atau 700 kaleng," ujar Ompu Dogor boru Manurung, nenek tertua di proyek Si Oma-oma. Lahan-lahan di Porsea dan sekitarnya memang terkenal subur. Apalagi di sana mereka juga bisa beternak babi, ayam atau kambing. Atau menangkap ikan di Danau Toba atau di Sungai Asahan. Ketika pindah ke Si Oma-oma, Ompu Dogor hanya membawa enam kaleng bibit padi, dua kaleng beras, delapan lembar tikar pandan, dua cangkul dan satu garu. Rumahnya kini sempit, ukuran 30 m2, berdinding papan beratap seng. Betapa pun Bupati Salmon Sagala enggan menyebut proyek pemukiman di Si Oma-oma gagal. Proyek itu disebutnya belum rampung karena dana yang terbatas. "Untuk menggarap 1 ha mestinya tersedia dana Rp 1 juta. Itu standar nasional. Tapi di Si Oma-oma hanya tersedia Rp 500.000/ha," katanya. Padahal dana untuk proyek itu cukup banyak: Rp 200 juta dari PT Inalum (perusahaan pengolahan aluminium di Proyek Asahan) ditambah Rp 65 juta dari APBD Provinsi Sum-Ut. Tapi uang sebanyak Itu rupanya tidak cukup untuk membiayai seluruh proyek pemukiman Si Oma-oma dengan berbagai sarananya. Mulai dari jembatan, jalan beraspal, irigasi, perumahan. Akan halnya sawah yang tidak siap tanam, menurut Camat Frans Walsink Gultom menjadi tanggungjawab CV Pakpahan Service. Perusahaan ini semula menyanggupi mencetak 100 ha sawah dan 100 ha ladang dengan biaya Rp 17 juta lebih. Tapi, menurut Pakpahan, kontraktor tersebut, baru menyelesaikan 80 ha sawah dan 15 ha ladang. Pihak Pakpahan sendiri mengaku telah menyelesaikan 200 areal yang menjadi tanggungjawabnya itu. "Tapi rupanya ada ketidakcocokan pengukuran antara perusahaan saya dengan pihak agraria," kata Pakpahan. Cuma soal ukuran?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus