SEAN Nolan masih berumur 6 tahun waktu itu--12 tahun yang lalu.
Ketika itulah, polisi keamanan Irlandia Utara--dikenal dengan
nama Royal Ulster Constabulary atau RUC-menembaki rumah susun
tempat ia tinggal. Menghindari peluru yang berdesingan, Sean
bersama kawannya, Patrick Rooney, menyusup ke kolong ranjang.
Tapi nasib tak bisaditawar: sebuah peluru nyasar menyambar
masuk, menghantam kepala Patrick Rooney. Tembus. Inilah pertama
kalinya Sean Nolan menyaksikan sebuah kematian--dan kekerasan.
Dua tahun kemudian, ia kembali dipaksa menyaksikan kematian
Yan lain. Kali ini giliran empat tentara Inggris dari RUC
sendiri. Pasukan sial itu disambut bom di tangga utama rumah
susun Sean pula--ketika mau menyerbu gedung. Empat prajurit yang
berjalan di muka ringsek diremuk bom. "Anggota tubuh mereka
terpencar-pencar," tutur Sean kepada John Conroy, wartawan free
lance yang menuliskan laporannya di The New York Times
Magzine. "Kakinya satu di sini, satu di sana."
Waktu itu Sean menangis. Dan dia tidak sendirian: para penghuni
rumah susun yang bergerombol menonton korban yang berserakan,
juga menangis. "Sampai sekarang tangga itu diberi nama penduduk
'tangga menangis'," kata Sean menjelaskan.
Tapi sesudah dua kejadian itu, Sean tak lagi menanis
menyaksikan kematian. Maut dan kekerasan lainnya bukan lagi hal
aneh. Sean kini jadi bagian dari kekeruhan di Irlandia Utara.
Hatinya tegar sudah.
Sean Nolan tinggal di bagian barat Belfast, kota Yan didiami
363.000 penduduk --1/4 rakyat Irlandia Utara--dan yang paling
rusak dimakan kerusuhan.
Pusat Perbelanjaan Belfast terletak di Distrik Divis--pertokoan
yang diusahakan baik oleh para pengusaha Katolik maupun
Protestan. Lebih mirip kamp tawanan, karena dikelilingi pagar
kawat berduri yang tinggi.
Beberapa kilometer dari situlah terdapat perkampungan Divis,
daerah miskin yang ditinggali penduduk Katolik. Termasuk ke
dalamnya adalah rumah susun tempat keluarga Sean turut berdiam.
Rumah susun, itulah gambaran muram generasi muda Irlandia Utara.
Sebagian besar isinya, yang 2.700 jiwa, adalah anak-anak. Boleh
dikatakan tanpa orang tua, sebab sebagian besar kepala rumah
tangga di situ tak lagi ada. Rata-rata mereka anggota IRA yang
kini mendekam di penjara. Sedang yang tersisa umumnya
penganggur--kurang lebih 40%.
Di malam hari, daerah sekitar itu gelap gulita. RUC telah
mencabut penerangan umum di situ--mencoba mengurangi keganasan
para penembak liar di malam hari yang memanfaatkan cahaya lampu.
RUMAH susun itu sendiri berada dalam keadaan serunyam-runyamnya.
Jauh lebih pengap dari slums di Amerika Serikat yang sudah
terkenal jorok. Dinding-dindingnya sudah sukar dikenali
warnanya, penuh corat-coret perjuangan. Tikus berseliweran, dan
bau busuk merayap ke semua penjuru. Istimewa bau pesing, karena
di malam hari, para pemabuk pada seenaknya kencing di tangga.
Di tempat seperti itulah Sean Nolan dibesarkan. Di tempat itu
pula ia dan kawan-kawan sebayanya biasa dihajar habis-habisan
oleh ayah-ayah mereka yang putus asa. Dan di tempat itu pula
Sean akhirnya terbiasa dengan peristiwa tembak-menembak.
Sebab Perkampungan Divis tak sepenuhnya dikuasai RUC. Di sana
terdapat kekuasaan Provos pula--singkatan dari Provisional,
tangan paling ekstrim dari pasukan pembebasan Irlandia IRA. Bila
RUC datang untuk menangkap seorang teroris yang dicurigai, tak
ayal perang terjadi.
Sean Nolan kini remaja 18 tahun. Dengan rambut potong pendek, ia
sebenarnya bukan anak yang terlalu brengsek. Bukan pemadat obat
bius, bukan pemabuk. Ia datang dari keluarga besar--16 orang.
Tapi sebagian besar abang dan kakaknya entah di mana. Beberapa
bisa dipastikan ada di penjara--sebab semua abang Sean diketahui
sebagai anggota IRA dan terlibat beberapa peristiwa teror.
Hanya ada ibunya di rumah susun pengap itu. Dan kendati tak
punya pekerjaan tetap, Sean punya penghasilan juga--sekitar Rp
30.000 seminggu-dan itu jumlah yang kecil. Rp 20.000
diberikannya kepada ibunya.
Sean sebenarnya bukan tak mau bekerja. Hanya saja, "begitu
mereka tahu saya dari rumah susun di Divis, saya segera ditolak
melamar," kisahnya kepada John Conroy. "Saya pernah bekerja
sebagai mekanik di sebuah bengkel. Akhirnya keluar: mereka tak
suka orang Katolik."
Ia juga tak lama duduk di bangku sekolah--cuma beberapa tahun,
sebelum kerusuhan menjadijadi di Irlandia Utara. "Tapi itu bukan
soal," katanya. "Saya tahu banyak teman saya yang bisa sekolah
lebih lama, sampai tingkat yang lumayan. Toh mereka tak bisa
kerja."
Orang Katolik di Irlandia Utara memang merasa terkena
diskriminasi. Sebagai minoritas, mereka terjepit. Dan itulah
salah satu picu meletusnya kerusuhan yang berlarut-larut. Tapi,
khusus untuk orang dari Distrik Divis, terutama orang muda dan
remajanya, mereka ditolak bekerja bukan hanya oleh majikan
Protestan saja. Tapi juga oleh juragan Katolik sendiri.
Alasannya gampang. Mereka dikenal sebagai bajingan, pembuat onar
dan maling. Atau anggota IRA--yang bisa merepotkan perusahaan.
Mereka berumur antara 14 dan 25 tahun. "Yang besaran tercatat
melakukan perampokan bersenjata ke gudang-gudang," tulis John
Conroy. "Yang kecil-kecil mencuri ke rumah-rumah, toko-toko.
Tapi yang paling sering dilakukan mencuri mobil."
Berbagai kejadian gila dan aneh terjadi di sini. Seorang
pengusaha di Divis sediri tidak lagi bisa minta ganti rugi ke
perusahaan asuransi, karena sudah terlampau sering kemalingan.
53 kali toko minumannya dibongkar. "Saya sebenarnya bisa dicatat
di Guinnes Book of World Record, " kata pemilik toko itu.
Entah nekat atau kepepet: anakanak itu, menurut John Conroy,
memang gila-gilaan dalam mencuri. Sampai-sampai batang timah
penangkal petir di atap kantor polisi mereka sikat. Samasekali
tanpa motivasi politik: memang sudah biasa mereka mencuri timah
penangkal petir. Kantor polisi hanya giliran selanjutnya saja.
"Moralitas sudah mengerut di sini. Semua orang tak lagi punya
kendali. Mereka mencari jalan termudah. Dan bila seseorang
berhasil menjual hasil curiannya, semua orang bisa ikut
berpesta. Itu soalnya," tutur Frank Shiels, seorang pengurus
Gelanggang Remaja. "Kehidupan mereka adalah hari ini. Tak ada
rencana masa depan."
Sean Nolan sendiri, kalau dilihat dari segi ini, tak syak
termasuk pencoleng. Ia sebenarnya jagoan mencuri mobil--sudah
sejak umur 15 tahun ia ahli menggaet mobil dengan kunci master
atau pisau lipat. Malah menurut pengakuannya, sudah kurang lebih
200 mobil digasaknya. Tapi jangan kira ia kemudian bisa menjadi
pedagang mobil--dan kaya raya. Uang terbanyak yang pernah
dilihat matanya, bernilai kira-kira cuma Rp 100.000. Waktu itu
ia menemukan sejumlah besar rokok dan wiski di mobil yang
dicurinya. Dan memang begitulah kurang lebih mobil curian
memberi penghasilan: dipreteli, diambil barang-barang berharga
di dalamnya, kemudian dijual di perkampungan Divis. Kendati cuma
sebegitu yang diambil, seluruh mobil digaet.
"Kalau saya melihat sebuah mobil, apalagi yang bagus, rasanya
sukar menghindar. Tanpa saya sadari betul mobil itu akhirnya
saya curi," kata Sean Nolan.
Menurut catatan polisi, di Belfast Barat tahun ini saja tercatat
1.850 mobil hilang. Sedang menurut Sean, kurang lebih 100 di
antaranya disikat anak-anak perkampungan Divis. Jadi jelas bukan
cuma anak Divis yang maling--meski kelompok terbesar bermukim di
sini. "Mereka mencuri seperti cuma menghilangkan rasa bosan,"
tulis John Conroy. Buktinya: sering mobil yang disabet hampir
tidak diapaapakan. Cuma dipakai kebut-kebutan --dan kalau
bensinnya habis, sederhana saja, mereka menyabet mobil lain.
Begitu.
Membuat onar, itu barangkali manfaatnya. Sebab salah satu
kesenangan anak Belfast dalam kegiatan yang satu ini adalah
kejar-kejaran dengan polisi, dan akhirnya menabrakkan mobil ke
salah satu pos penjagaan. Biasanya memang jatuh korban dalam
"olahraga yahud" ini. Dalam 18 bulan terakhir tercatat 10
kematian.
Seorang pengusaha Katolik di Belfast, suatu kali mencoba
mengalihkan semangat mengemudi gila-gilaan ini ke olahraga balap
mobil yang sebenarnya. Ia mengorganisasi sebuah lomba
ketangkasan mengemudi, dan juga balapnya sendiri. Usahanya tak
disambut. Hampir tak ada anak muda Belfast yang mau ikut. "Saya
harus menyelenggarakan olahraga menembak orang, baru mereka
tertarik," kata pengusaha itu kesal. "Kematian--itu yang
sebenarnya mereka sukai."
Mobil yang dicuri pun tak dipandang bulunya. Sampai-sampai mobil
polisi RUC--bahkan, gila, mobil perang IRA. Cuma satu jenis
mobil yang hampir selalu dihindari: mobil sport Releigh RS 2000.
Menurut kepercayaan anak-anak bengal itu, mobil ini membawa
sial. Pernah seorang gadis tertembak mati di dalamnya. "Saya
pernah mencoba mencuri mobil jenis ini. Nyatanya sial betulan.
Saya menabrak seorang gadis dan mampus," kata Sean Nolan.
Akhir-akhir ini, sejak kerusuhan akibat matinya Bobby Sands, RUC
mendapat wewenang resmi untuk menyeret anak-anak ke pengadilan,
bahkan menghukumnya sendiri. Setahun yang lalu, ulah anak-anak
Belfast masih dianggap sekedar kenakalan remaja --bagaimanapun
gilanya. Tapi, bagi Sean Nolan dan rekan-rekannya, dianggap
kenakalan atau dihukum benarbenar tak terlalu banyak bedanya.
"Rasa takut muncul waktu melihat laras senapan ditujukan kepada
kita," kata Sean. "Tapi kalau sudah terdengar letusan, ketakutan
hilang. Itu cuma berlangsung beberapa detik."
Dan anak-anak belasan tahun itupun tak jera, bisa dipastikan.
Dalam jangka waktu sebulan, dua kawan Sean tertembak mati.
Seorang laki-laki, Paul Moan, dan seorang lagi cewek, Georgi na
Mauginess. Seorang kawan lagi, Seamus Magill, tertembak di
pundaknya, dan kini cacat. Sean sendiri pernah tertembak dua
kali--tak parah. Tapi yang paling maut, Egger. Ia tertembak di
paru-parunya. Mampus. Dan anakanak itu masih juga nyolong.
DILIHAT dari sisi anakanak ini, militansi teroris IRA dan
pertentangan antarkelompok agama di Irlandia Utara bisa baur.
Anak-anak di Belfast sendiri contoh paling nyata. Kendati rasa
permusuhan antargolongan agama memang nampak, dan nasionalisme
sering diucapkan dengan garang, tak jelas anak-anak ini membela
siapa sebenarnya.
Sebab mereka ini lebih jelas sebagai bajingan--baik yang Katolik
maupun Protestan. Boleh dipukulrata semuanya. Cuma saja
anak-anak Protestan-yang tinggal di Belfast Timur--agak
mendingan. Kehidupan di sana lebih normal. Selain frekuensi
kerusuhan agak kurang, pengangguran juga hampir tak ada--tua
maupun muda. Di Belfast Timur umpamanya terdapat industri
galangan kapal yang punya 25.000 pegawai tetap dan 7.000 pekerja
lepas. Meski begitu, ya, anak Belfast Timur juga maling-maling
militan. Orang tua di sana pun pusing menghadapi mereka.
RUC, polis yang resmi itu, bukan satu-satunya penjaga keamanan.
Juga Provo, pasukan keamanan IRA. Sebab masih ada lagi Ulster
Defense Association (UDA), pertahanan sipil bersenjata yang
diorganisasi kelompok Protestan. Semuanya punya hukum
sendiri-sendiri.
RUC dikenal dengan kebiasaannya memenjara penjahat tanpa
menyidangkannya sama sekali--dan Amnesti Internasional berulang
kali mempro tes ini. Tapi bagi penduduk Belfast, hukum pasukan
keamanan resmi ini termasuk yang paling ringan. Dan karena itu
"anak-anak itu tak bakal jera," kata mereka.
Lagipula pemerintah Inggris sendiri yang dirugikan. Jumlah
penghuni bui Irlandia Utara kini tertinggi di seluruh Eropa:
2.500 orang, 220 di antaranya anak-anak di bawah umur.
Hukuman UDA dan Provo lebih mengerikan. Keduanya menjalankan
hukum tradisional Irlandia bagi anak-anak nakal: menembak lutut
dan sikut. Dalam soal seperti ini pertentangan golongan agama
seperti tiba-tiba terlupakan. Katolik menembak Katolik,
Protestan menembak Protestan.
Sukar membayangkan pelaksanaan hukuman ini--entah mereka
ditembak langsung, atau diserempet dengan peluru atau bagaimana.
Tapi yang jelas, dr. James Nixon, ahi ortopedi dari Rumah Sakit
Umum Belfast menyebutkan, 10% dari korban hukuman tembak lutut
akhirnya harus diamputasi. Menurut catatan polisi,
terdapatkurang lebih 1.000 anak yang kena hukum tembak lutut
dalam 5 tahun terakhir ini. Jadi kurang lebih 100 di antaranya
invalid, berjalan tainpa kaki.
"Saya selalu ingin menangis bila melihat seorang anak timpang,"
kata seorang pendeta di Belfast. "Memang mereka mungkin saja
lahir cacat, atau terjatuh, atau mendapat kecelakaan, tapi saya
tak bisa menghindarkan persangkaan anak yang timpang itu pernah
ditembak lututnya." Tapi ia tak berkuasa.
Seorang tokoh Partai Sinn Fein-tempat Provo bernaung--yang
dihubungi John Conroy, mencoba membela hukuman jenis tersebut.
"Kami melakukan itu pada anak-anak di atas 16 tahun," kata
McCauley, si tokoh. "Di bawah umur itu cuma kami pukuli."
"Tapi menghajar bisa sama kejamnya," kata John Conroy. Tak
jarang anak kecil yang dihajar pulang dengan cacat. "Ah Anda
cuma memikirkan anak 9 tahun yang anda lihat. Kami harus
memikirkan ribuan anak yang ada di Belfast," kata McCauley
ketika didebat. "Saya memang bisa membawa seorang anak nakal ke
orang tuanya. Tapi apa yang bisa mereka lakukan? Mereka hidup
di sebuah rumah yang terdiri dari dua kamar 4 x 4 meter, bersama
enam, tujuh anak lainnya. Saya cuma akan menghadapi keputusasaan
dan kekonyolan mengontrol anak-anak. Apa yang harus saya perbuat
kemudian?" katanya, agak berang.
Dikatakannya pula, hukuman lutut itu tak sampai dijatuhkan bila
kejahatannya tidak keterlaluan. Ketika John Conroy menanyakan
kasus Jim Devlin, kawan Sean Nolan yang akhirnya cacat, McCauley
menyebut kasus J im memang berat. Anak 18 tahun itu melakukan
perampokan bersenjata, pencurian, dan penganiayaan.
Tapi sungguh-sungguh luar biasa: anak-anak itu tak jera. "Mati
saja bukan persoalan besar bagi kami. Apalag cuma ditembak di
lutut," kata Sean Nolan.
Nolan tak cuma omong besar. Kenyataannya memang begitu. Eamon
Kelly, seorang kawannya, pernah ditwari Provo: dihukum tembak
di lutut atau dihukum harus membersihkan rumah susun di Divis.
Edan--si Eamon menyerahkan lututnya untuk ditembak. Dan ia
gembira karena menerima ganti rugi dari pemerintah Inggris
sebesar kira-kira Rp 4 juta, sebagai korban terorisme sampai
cacat. Sepulangnya dari rumah sakit, di kursi roda, ia mengajak
kawan-kawannya berpesta dan mabuk-mabukan.
Provo sebenarnya tak punya urusan dengan pendidikan anak-anak
Irlandi Utara. Mereka sebetulnya tak begitu peduli keonaran apa
pun yang diperbuat anak mereka. Malah semakin rusuh keadaan di
Irlandia Utara nampaknya semakin baik bagi perjuangan. Hanya
saja, keributan yang dibuat anak-anak bengal ini sering sekali
mengganggu program politik mereka. Dengan alasan mencari
anak-anak nakal, tak jarang RUC--musuh mereka--jadinya menyerbu
perkampungan kaum Katolik di Divis itu misalnya. Hampir semua
hukuman yang dijatuhkan Provo kepada anak-anak, menurut catatan
John Conroy, senantiasa punya hubungan dengan kericuhan yang
lebih besar.
Hanya saja ketegangan antara Provo dan anak-anak bengal Belfast
jadinya tak bisa disangkal. "Mereka (IRA) boleh membuat onar,
melempari polisi dengan batu, merampok, mengapa kami tidak?"
kata anak-anak itu dengan bodohnya.
Yang lebih parah--dasar bocah-anak-anak yang pernah ditahan di
penjara rata-rata tak keberatan untuk jadi informan RUC
menghadapi terorisme IRA, dengan bayaran kira-kira Rp 10.000
sehari. Dan kalau persoalan sudah sampai di sini, kekejaman IRA
pun tak bisa dibendung. Hukuman mereka cuma satu: bunuh.
JUNI yang lalu Vincent Robinson, penduduk Distrik Andersonstown,
ditawan RUC. Sembilan hari kemudian dilepaskan. Dan hari itu
juga tubuhnya ditemukan di onggokan sampah. Mati--ditembak di
kepala. IRA mengakui membunuh Robinson dengan dalih punya
bukti-bukti: Vincent Robinson bersedia jadi mata-mata RUC.
Ketegangan Provo yang IRA ini dengan anak-anak Belfast ditambah
lagi karena IRA ternyata juga jadi pelindung sebuah daerah
pertokoan di Belfast yang disebut Castle Street. Padahal daerah
pertokoan adalah sasaran anak-anak begundal, bukan?
Sean Nolan sendiri, dengan pikirannya yang sederhana, tak punya
pendapat yang jelas tentang IRA. Tapi keyakinan dasarnya ada.
"Apa anda takut dan benci kepada tentara Amerika?" katanya balik
bertanya. "Tidak, bukan? Nah saya pun tak takut pada IRA.
Mereka tentara kami." Dan ia tetap merasa seorang nasionalis. Ia
akan tetap, dengan bersemangat, ikut dalam setiap kerusuhan yang
diorganisasi IRA. Benarkah ia tahu perjuangan kelompok Katolik
Irlandia Utara? Perjuangan Sinn Fein, dan sasaran terorisme IRA?
Sean Nolan tampak awam dalam segala urusan yang menyangkut masa
depan--apakah itu persatuan Irlandia atau kemerdekaan Irlandia
Utara atau berdirinya sebuah negara baru. Sedang masa depannya
sendiri tak digubrisnya. Sebodo amat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini