Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Tak ada masa depan di belfast

Kerusuhan-kerusuhan yang diorganisasi oleh teroris ira, pertentangan antar kelompok agama di irlandia utara, pengangguran & kemiskinan menyebabkan generasi muda di belfast brutal & tak acuh pada masa depan.

3 Oktober 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEAN Nolan masih berumur 6 tahun waktu itu--12 tahun yang lalu. Ketika itulah, polisi keamanan Irlandia Utara--dikenal dengan nama Royal Ulster Constabulary atau RUC-menembaki rumah susun tempat ia tinggal. Menghindari peluru yang berdesingan, Sean bersama kawannya, Patrick Rooney, menyusup ke kolong ranjang. Tapi nasib tak bisaditawar: sebuah peluru nyasar menyambar masuk, menghantam kepala Patrick Rooney. Tembus. Inilah pertama kalinya Sean Nolan menyaksikan sebuah kematian--dan kekerasan. Dua tahun kemudian, ia kembali dipaksa menyaksikan kematian Yan lain. Kali ini giliran empat tentara Inggris dari RUC sendiri. Pasukan sial itu disambut bom di tangga utama rumah susun Sean pula--ketika mau menyerbu gedung. Empat prajurit yang berjalan di muka ringsek diremuk bom. "Anggota tubuh mereka terpencar-pencar," tutur Sean kepada John Conroy, wartawan free lance yang menuliskan laporannya di The New York Times Magzine. "Kakinya satu di sini, satu di sana." Waktu itu Sean menangis. Dan dia tidak sendirian: para penghuni rumah susun yang bergerombol menonton korban yang berserakan, juga menangis. "Sampai sekarang tangga itu diberi nama penduduk 'tangga menangis'," kata Sean menjelaskan. Tapi sesudah dua kejadian itu, Sean tak lagi menanis menyaksikan kematian. Maut dan kekerasan lainnya bukan lagi hal aneh. Sean kini jadi bagian dari kekeruhan di Irlandia Utara. Hatinya tegar sudah. Sean Nolan tinggal di bagian barat Belfast, kota Yan didiami 363.000 penduduk --1/4 rakyat Irlandia Utara--dan yang paling rusak dimakan kerusuhan. Pusat Perbelanjaan Belfast terletak di Distrik Divis--pertokoan yang diusahakan baik oleh para pengusaha Katolik maupun Protestan. Lebih mirip kamp tawanan, karena dikelilingi pagar kawat berduri yang tinggi. Beberapa kilometer dari situlah terdapat perkampungan Divis, daerah miskin yang ditinggali penduduk Katolik. Termasuk ke dalamnya adalah rumah susun tempat keluarga Sean turut berdiam. Rumah susun, itulah gambaran muram generasi muda Irlandia Utara. Sebagian besar isinya, yang 2.700 jiwa, adalah anak-anak. Boleh dikatakan tanpa orang tua, sebab sebagian besar kepala rumah tangga di situ tak lagi ada. Rata-rata mereka anggota IRA yang kini mendekam di penjara. Sedang yang tersisa umumnya penganggur--kurang lebih 40%. Di malam hari, daerah sekitar itu gelap gulita. RUC telah mencabut penerangan umum di situ--mencoba mengurangi keganasan para penembak liar di malam hari yang memanfaatkan cahaya lampu. RUMAH susun itu sendiri berada dalam keadaan serunyam-runyamnya. Jauh lebih pengap dari slums di Amerika Serikat yang sudah terkenal jorok. Dinding-dindingnya sudah sukar dikenali warnanya, penuh corat-coret perjuangan. Tikus berseliweran, dan bau busuk merayap ke semua penjuru. Istimewa bau pesing, karena di malam hari, para pemabuk pada seenaknya kencing di tangga. Di tempat seperti itulah Sean Nolan dibesarkan. Di tempat itu pula ia dan kawan-kawan sebayanya biasa dihajar habis-habisan oleh ayah-ayah mereka yang putus asa. Dan di tempat itu pula Sean akhirnya terbiasa dengan peristiwa tembak-menembak. Sebab Perkampungan Divis tak sepenuhnya dikuasai RUC. Di sana terdapat kekuasaan Provos pula--singkatan dari Provisional, tangan paling ekstrim dari pasukan pembebasan Irlandia IRA. Bila RUC datang untuk menangkap seorang teroris yang dicurigai, tak ayal perang terjadi. Sean Nolan kini remaja 18 tahun. Dengan rambut potong pendek, ia sebenarnya bukan anak yang terlalu brengsek. Bukan pemadat obat bius, bukan pemabuk. Ia datang dari keluarga besar--16 orang. Tapi sebagian besar abang dan kakaknya entah di mana. Beberapa bisa dipastikan ada di penjara--sebab semua abang Sean diketahui sebagai anggota IRA dan terlibat beberapa peristiwa teror. Hanya ada ibunya di rumah susun pengap itu. Dan kendati tak punya pekerjaan tetap, Sean punya penghasilan juga--sekitar Rp 30.000 seminggu-dan itu jumlah yang kecil. Rp 20.000 diberikannya kepada ibunya. Sean sebenarnya bukan tak mau bekerja. Hanya saja, "begitu mereka tahu saya dari rumah susun di Divis, saya segera ditolak melamar," kisahnya kepada John Conroy. "Saya pernah bekerja sebagai mekanik di sebuah bengkel. Akhirnya keluar: mereka tak suka orang Katolik." Ia juga tak lama duduk di bangku sekolah--cuma beberapa tahun, sebelum kerusuhan menjadijadi di Irlandia Utara. "Tapi itu bukan soal," katanya. "Saya tahu banyak teman saya yang bisa sekolah lebih lama, sampai tingkat yang lumayan. Toh mereka tak bisa kerja." Orang Katolik di Irlandia Utara memang merasa terkena diskriminasi. Sebagai minoritas, mereka terjepit. Dan itulah salah satu picu meletusnya kerusuhan yang berlarut-larut. Tapi, khusus untuk orang dari Distrik Divis, terutama orang muda dan remajanya, mereka ditolak bekerja bukan hanya oleh majikan Protestan saja. Tapi juga oleh juragan Katolik sendiri. Alasannya gampang. Mereka dikenal sebagai bajingan, pembuat onar dan maling. Atau anggota IRA--yang bisa merepotkan perusahaan. Mereka berumur antara 14 dan 25 tahun. "Yang besaran tercatat melakukan perampokan bersenjata ke gudang-gudang," tulis John Conroy. "Yang kecil-kecil mencuri ke rumah-rumah, toko-toko. Tapi yang paling sering dilakukan mencuri mobil." Berbagai kejadian gila dan aneh terjadi di sini. Seorang pengusaha di Divis sediri tidak lagi bisa minta ganti rugi ke perusahaan asuransi, karena sudah terlampau sering kemalingan. 53 kali toko minumannya dibongkar. "Saya sebenarnya bisa dicatat di Guinnes Book of World Record, " kata pemilik toko itu. Entah nekat atau kepepet: anakanak itu, menurut John Conroy, memang gila-gilaan dalam mencuri. Sampai-sampai batang timah penangkal petir di atap kantor polisi mereka sikat. Samasekali tanpa motivasi politik: memang sudah biasa mereka mencuri timah penangkal petir. Kantor polisi hanya giliran selanjutnya saja. "Moralitas sudah mengerut di sini. Semua orang tak lagi punya kendali. Mereka mencari jalan termudah. Dan bila seseorang berhasil menjual hasil curiannya, semua orang bisa ikut berpesta. Itu soalnya," tutur Frank Shiels, seorang pengurus Gelanggang Remaja. "Kehidupan mereka adalah hari ini. Tak ada rencana masa depan." Sean Nolan sendiri, kalau dilihat dari segi ini, tak syak termasuk pencoleng. Ia sebenarnya jagoan mencuri mobil--sudah sejak umur 15 tahun ia ahli menggaet mobil dengan kunci master atau pisau lipat. Malah menurut pengakuannya, sudah kurang lebih 200 mobil digasaknya. Tapi jangan kira ia kemudian bisa menjadi pedagang mobil--dan kaya raya. Uang terbanyak yang pernah dilihat matanya, bernilai kira-kira cuma Rp 100.000. Waktu itu ia menemukan sejumlah besar rokok dan wiski di mobil yang dicurinya. Dan memang begitulah kurang lebih mobil curian memberi penghasilan: dipreteli, diambil barang-barang berharga di dalamnya, kemudian dijual di perkampungan Divis. Kendati cuma sebegitu yang diambil, seluruh mobil digaet. "Kalau saya melihat sebuah mobil, apalagi yang bagus, rasanya sukar menghindar. Tanpa saya sadari betul mobil itu akhirnya saya curi," kata Sean Nolan. Menurut catatan polisi, di Belfast Barat tahun ini saja tercatat 1.850 mobil hilang. Sedang menurut Sean, kurang lebih 100 di antaranya disikat anak-anak perkampungan Divis. Jadi jelas bukan cuma anak Divis yang maling--meski kelompok terbesar bermukim di sini. "Mereka mencuri seperti cuma menghilangkan rasa bosan," tulis John Conroy. Buktinya: sering mobil yang disabet hampir tidak diapaapakan. Cuma dipakai kebut-kebutan --dan kalau bensinnya habis, sederhana saja, mereka menyabet mobil lain. Begitu. Membuat onar, itu barangkali manfaatnya. Sebab salah satu kesenangan anak Belfast dalam kegiatan yang satu ini adalah kejar-kejaran dengan polisi, dan akhirnya menabrakkan mobil ke salah satu pos penjagaan. Biasanya memang jatuh korban dalam "olahraga yahud" ini. Dalam 18 bulan terakhir tercatat 10 kematian. Seorang pengusaha Katolik di Belfast, suatu kali mencoba mengalihkan semangat mengemudi gila-gilaan ini ke olahraga balap mobil yang sebenarnya. Ia mengorganisasi sebuah lomba ketangkasan mengemudi, dan juga balapnya sendiri. Usahanya tak disambut. Hampir tak ada anak muda Belfast yang mau ikut. "Saya harus menyelenggarakan olahraga menembak orang, baru mereka tertarik," kata pengusaha itu kesal. "Kematian--itu yang sebenarnya mereka sukai." Mobil yang dicuri pun tak dipandang bulunya. Sampai-sampai mobil polisi RUC--bahkan, gila, mobil perang IRA. Cuma satu jenis mobil yang hampir selalu dihindari: mobil sport Releigh RS 2000. Menurut kepercayaan anak-anak bengal itu, mobil ini membawa sial. Pernah seorang gadis tertembak mati di dalamnya. "Saya pernah mencoba mencuri mobil jenis ini. Nyatanya sial betulan. Saya menabrak seorang gadis dan mampus," kata Sean Nolan. Akhir-akhir ini, sejak kerusuhan akibat matinya Bobby Sands, RUC mendapat wewenang resmi untuk menyeret anak-anak ke pengadilan, bahkan menghukumnya sendiri. Setahun yang lalu, ulah anak-anak Belfast masih dianggap sekedar kenakalan remaja --bagaimanapun gilanya. Tapi, bagi Sean Nolan dan rekan-rekannya, dianggap kenakalan atau dihukum benarbenar tak terlalu banyak bedanya. "Rasa takut muncul waktu melihat laras senapan ditujukan kepada kita," kata Sean. "Tapi kalau sudah terdengar letusan, ketakutan hilang. Itu cuma berlangsung beberapa detik." Dan anak-anak belasan tahun itupun tak jera, bisa dipastikan. Dalam jangka waktu sebulan, dua kawan Sean tertembak mati. Seorang laki-laki, Paul Moan, dan seorang lagi cewek, Georgi na Mauginess. Seorang kawan lagi, Seamus Magill, tertembak di pundaknya, dan kini cacat. Sean sendiri pernah tertembak dua kali--tak parah. Tapi yang paling maut, Egger. Ia tertembak di paru-parunya. Mampus. Dan anakanak itu masih juga nyolong. DILIHAT dari sisi anakanak ini, militansi teroris IRA dan pertentangan antarkelompok agama di Irlandia Utara bisa baur. Anak-anak di Belfast sendiri contoh paling nyata. Kendati rasa permusuhan antargolongan agama memang nampak, dan nasionalisme sering diucapkan dengan garang, tak jelas anak-anak ini membela siapa sebenarnya. Sebab mereka ini lebih jelas sebagai bajingan--baik yang Katolik maupun Protestan. Boleh dipukulrata semuanya. Cuma saja anak-anak Protestan-yang tinggal di Belfast Timur--agak mendingan. Kehidupan di sana lebih normal. Selain frekuensi kerusuhan agak kurang, pengangguran juga hampir tak ada--tua maupun muda. Di Belfast Timur umpamanya terdapat industri galangan kapal yang punya 25.000 pegawai tetap dan 7.000 pekerja lepas. Meski begitu, ya, anak Belfast Timur juga maling-maling militan. Orang tua di sana pun pusing menghadapi mereka. RUC, polis yang resmi itu, bukan satu-satunya penjaga keamanan. Juga Provo, pasukan keamanan IRA. Sebab masih ada lagi Ulster Defense Association (UDA), pertahanan sipil bersenjata yang diorganisasi kelompok Protestan. Semuanya punya hukum sendiri-sendiri. RUC dikenal dengan kebiasaannya memenjara penjahat tanpa menyidangkannya sama sekali--dan Amnesti Internasional berulang kali mempro tes ini. Tapi bagi penduduk Belfast, hukum pasukan keamanan resmi ini termasuk yang paling ringan. Dan karena itu "anak-anak itu tak bakal jera," kata mereka. Lagipula pemerintah Inggris sendiri yang dirugikan. Jumlah penghuni bui Irlandia Utara kini tertinggi di seluruh Eropa: 2.500 orang, 220 di antaranya anak-anak di bawah umur. Hukuman UDA dan Provo lebih mengerikan. Keduanya menjalankan hukum tradisional Irlandia bagi anak-anak nakal: menembak lutut dan sikut. Dalam soal seperti ini pertentangan golongan agama seperti tiba-tiba terlupakan. Katolik menembak Katolik, Protestan menembak Protestan. Sukar membayangkan pelaksanaan hukuman ini--entah mereka ditembak langsung, atau diserempet dengan peluru atau bagaimana. Tapi yang jelas, dr. James Nixon, ahi ortopedi dari Rumah Sakit Umum Belfast menyebutkan, 10% dari korban hukuman tembak lutut akhirnya harus diamputasi. Menurut catatan polisi, terdapatkurang lebih 1.000 anak yang kena hukum tembak lutut dalam 5 tahun terakhir ini. Jadi kurang lebih 100 di antaranya invalid, berjalan tainpa kaki. "Saya selalu ingin menangis bila melihat seorang anak timpang," kata seorang pendeta di Belfast. "Memang mereka mungkin saja lahir cacat, atau terjatuh, atau mendapat kecelakaan, tapi saya tak bisa menghindarkan persangkaan anak yang timpang itu pernah ditembak lututnya." Tapi ia tak berkuasa. Seorang tokoh Partai Sinn Fein-tempat Provo bernaung--yang dihubungi John Conroy, mencoba membela hukuman jenis tersebut. "Kami melakukan itu pada anak-anak di atas 16 tahun," kata McCauley, si tokoh. "Di bawah umur itu cuma kami pukuli." "Tapi menghajar bisa sama kejamnya," kata John Conroy. Tak jarang anak kecil yang dihajar pulang dengan cacat. "Ah Anda cuma memikirkan anak 9 tahun yang anda lihat. Kami harus memikirkan ribuan anak yang ada di Belfast," kata McCauley ketika didebat. "Saya memang bisa membawa seorang anak nakal ke orang tuanya. Tapi apa yang bisa mereka lakukan? Mereka hidup di sebuah rumah yang terdiri dari dua kamar 4 x 4 meter, bersama enam, tujuh anak lainnya. Saya cuma akan menghadapi keputusasaan dan kekonyolan mengontrol anak-anak. Apa yang harus saya perbuat kemudian?" katanya, agak berang. Dikatakannya pula, hukuman lutut itu tak sampai dijatuhkan bila kejahatannya tidak keterlaluan. Ketika John Conroy menanyakan kasus Jim Devlin, kawan Sean Nolan yang akhirnya cacat, McCauley menyebut kasus J im memang berat. Anak 18 tahun itu melakukan perampokan bersenjata, pencurian, dan penganiayaan. Tapi sungguh-sungguh luar biasa: anak-anak itu tak jera. "Mati saja bukan persoalan besar bagi kami. Apalag cuma ditembak di lutut," kata Sean Nolan. Nolan tak cuma omong besar. Kenyataannya memang begitu. Eamon Kelly, seorang kawannya, pernah ditwari Provo: dihukum tembak di lutut atau dihukum harus membersihkan rumah susun di Divis. Edan--si Eamon menyerahkan lututnya untuk ditembak. Dan ia gembira karena menerima ganti rugi dari pemerintah Inggris sebesar kira-kira Rp 4 juta, sebagai korban terorisme sampai cacat. Sepulangnya dari rumah sakit, di kursi roda, ia mengajak kawan-kawannya berpesta dan mabuk-mabukan. Provo sebenarnya tak punya urusan dengan pendidikan anak-anak Irlandi Utara. Mereka sebetulnya tak begitu peduli keonaran apa pun yang diperbuat anak mereka. Malah semakin rusuh keadaan di Irlandia Utara nampaknya semakin baik bagi perjuangan. Hanya saja, keributan yang dibuat anak-anak bengal ini sering sekali mengganggu program politik mereka. Dengan alasan mencari anak-anak nakal, tak jarang RUC--musuh mereka--jadinya menyerbu perkampungan kaum Katolik di Divis itu misalnya. Hampir semua hukuman yang dijatuhkan Provo kepada anak-anak, menurut catatan John Conroy, senantiasa punya hubungan dengan kericuhan yang lebih besar. Hanya saja ketegangan antara Provo dan anak-anak bengal Belfast jadinya tak bisa disangkal. "Mereka (IRA) boleh membuat onar, melempari polisi dengan batu, merampok, mengapa kami tidak?" kata anak-anak itu dengan bodohnya. Yang lebih parah--dasar bocah-anak-anak yang pernah ditahan di penjara rata-rata tak keberatan untuk jadi informan RUC menghadapi terorisme IRA, dengan bayaran kira-kira Rp 10.000 sehari. Dan kalau persoalan sudah sampai di sini, kekejaman IRA pun tak bisa dibendung. Hukuman mereka cuma satu: bunuh. JUNI yang lalu Vincent Robinson, penduduk Distrik Andersonstown, ditawan RUC. Sembilan hari kemudian dilepaskan. Dan hari itu juga tubuhnya ditemukan di onggokan sampah. Mati--ditembak di kepala. IRA mengakui membunuh Robinson dengan dalih punya bukti-bukti: Vincent Robinson bersedia jadi mata-mata RUC. Ketegangan Provo yang IRA ini dengan anak-anak Belfast ditambah lagi karena IRA ternyata juga jadi pelindung sebuah daerah pertokoan di Belfast yang disebut Castle Street. Padahal daerah pertokoan adalah sasaran anak-anak begundal, bukan? Sean Nolan sendiri, dengan pikirannya yang sederhana, tak punya pendapat yang jelas tentang IRA. Tapi keyakinan dasarnya ada. "Apa anda takut dan benci kepada tentara Amerika?" katanya balik bertanya. "Tidak, bukan? Nah saya pun tak takut pada IRA. Mereka tentara kami." Dan ia tetap merasa seorang nasionalis. Ia akan tetap, dengan bersemangat, ikut dalam setiap kerusuhan yang diorganisasi IRA. Benarkah ia tahu perjuangan kelompok Katolik Irlandia Utara? Perjuangan Sinn Fein, dan sasaran terorisme IRA? Sean Nolan tampak awam dalam segala urusan yang menyangkut masa depan--apakah itu persatuan Irlandia atau kemerdekaan Irlandia Utara atau berdirinya sebuah negara baru. Sedang masa depannya sendiri tak digubrisnya. Sebodo amat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus