Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Kejahatan Perang dan Kemanusiaan?

22 Oktober 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Oleh Todung Mulya Lubis*)
*) Dosen Hak Asasi Manusia di Fakultas Hukum UI

Nullum crimen sine lege.

Tak ada kejahatan tanpa hukum, demikian kira-kira arti kalimat itu. Ungkapan ini dihidupkan kembali menjelang Nuremberg Trial, yang mengadili penjahat Perang Dunia II, sebagai penolakan terhadap upaya-upaya mengadili penjahat perang. Dalam hukum pidana, asas legalitas memang dianut dengan ketat. Sekolah hukum selalu mengajarkan bahwa hukum tidak berlaku surut. Dan pada akhir Perang Dunia II, rezim hukum hak asasi manusia yang baru saja tumbuh itu belum lengkap. Dengan segala polemik yang timbul, para penjahat perang akhirnya diadili meski pihak yang diadili menganggap yang terjadi adalah Victor's justice (keadilan bagi pemenang perang—Red.).

Para hakim memang mencari dasar hukum pada hukum kebiasaan internasional (international customary law) dengan antara lain mengutip keberadaan The Hague Convention on Laws and Customs of War on Land (1899). Dan sekarang pun para hakim di Mahkamah Internasional ataupun pengadilan nasional sering menggunakan hukum kebiasaan internasional sebagai pembenaran bahwa kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan tersebut harus dikenai hukuman. Dalam khazanah rezim hukum hak asasi manusia yang sangat kaya, kini bisa dikatakan bahwa banyak sekali convention (konvensi atau perjanjian—Red.) dan covenant (komitmen—Red.) yang sudah diratifikasi oleh mayoritas negara bangsa di dunia, dan dengan demikian menjadi bagian dari hukum internasional yang mengikat, setidaknya sebagai international customary law. Jadi, seharusnya seorang hakim yang kreatif dan berani tak akan pernah kekurangan dasar hukum untuk mengadili penjahat perang dan kemanusiaan.

Seusai Perang Dunia II, misalnya, masyarakat internasional diperkaya dengan empat dokumen penting yang dikenal sebagai Geneva Convention (1949). Keempat convention inilah yang sering dijadikan dasar untuk menilai apakah suatu kejahatan perang telah terjadi atau tidak pada situasi perang (armed conflict), baik pada perang antarnegara maupun perang internal. Keempat convention ini sangat komprehensif, sehingga kemampuan menjerat penjahat perang menjadi sangat mudah. Jadi, apabila para tentara tidak dibekali dengan pengetahuan memadai mengenai keempat convention ini, kemungkinan terjebak menjadi penjahat perang yang memperlakukan musuh, baik militer maupun sipil (termasuk wanita dan anak-anak), secara tidak manusiawi akan terbuka lebar.

Masyarakat internasional tidak akan toleran terhadap alasan ketidaktahuan. Sebab, setiap anggota tentara sudah by definition dianggap tahu mengenai batas-batas perbuatan perang yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan.

Belakangan ini, hal yang lebih terangkat ke permukaan adalah crime against humanity dan per definisi cakupan kejahatan terhadap kemanusiaan ini jauh lebih besar dan tentu juga mencakup apa yang termasuk dalam kejahatan perang. Komisi Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia (KPP HAM) Timor Timur, misalnya, mempersalahkan setidaknya 40 anggota tentara, birokrasi, dan milisi yang telah melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan menjelang dan sesudah jajak pendapat di Timor Timur. Dan laporan KPP HAM Timor Timur itu tengah ditindaklanjuti dalam bentuk penyidikan oleh pihak Kejaksaan Agung. Pertanyaan kita adalah apakah mereka akan dibawa ke pengadilan. Dan kalau demikian, pengadilan mana yang berwenang mengadili penjahat kemanusiaan tersebut?

Ketika KPP HAM Timor Timur bekerja, ada anggapan bahwa me- reka yang diduga melakukan keja- hatan kemanusiaan akan diadili di pengadilan hak asasi manusia yang dibentuk melalui peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) tempat asas retroaktif (berlaku surut—Red.) itu diberlakukan. Tapi perpu tersebut telah dicabut dan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengadilan Hak Asasi Manusia yang tengah dibahas oleh DPR sekarang ini tidak memberlakukan asas retroaktif tersebut. Lebih jauh lagi, perubahan kedua UUD 1945 telah secara tegas melarang diberlakukannya asas retroaktif. Ini berarti peraturan perundangan hanya akan berlaku sejak tanggal diundangkan atau tanggal yang dinyatakan berlaku. Konon, ada kompromi yang dicapai bersama DPR: dalam kasus tertentu, penggunaan asas retroaktif itu dapat dimungkinkan dengan persetujuan DPR.

Terus terang, sukar untuk membayangkan bahwa di masa yang akan datang akan ada pengadilan terhadap penjahat kemanusiaan. Siapa pun yang menjadi pengacara bagi penjahat kemanusiaan akan berdalih bahwa perubahan kedua UUD 1945, sebagai hukum dasar tertinggi, berlaku mutlak melarang peraturan perundangan berlaku surut. Para hakim yang kebanyakan konservatif akan setia kepada asas legalitas yang hanya akan mengadili perkara atas dasar hukum positif yang berlaku. Jadi, semua KPP HAM yang bekerja dalam kasus Timor Timur, Aceh, Maluku, dan Tanjungpriok tak usah berharap bahwa tak akan ada pelanggar hak asasi manusia tersebut yang akhirnya lepas tanpa hukuman dan mata rantai impunity akan tak pernah putus.

Harus diakui bahwa jaringan kekuatan para pelanggar hak asasi manusia itu masih cukup kuat dan termasuk pada elite politik yang berkuasa. Tapi kegagalan menyeret pelaku pelanggaran hak asasi manusia ke pengadilan akan mengundang masyarakat internasional untuk menuntut janji pemerintah Indonesia. Tuntutan itu jelas akan dikaitkan dengan paket bantuan ekonomi yang dialirkan ke pemerintah Indonesia. Dalam perkiraan saya, nantinya masalah itu akan digiring untuk mencari formula pengadilan model Kamboja, yang merupakan gabungan antara pengadilan nasional dan pengadilan internasional, yang sebagian anggota majelis hakimnya berasal dari masyarakat internasional. Kompromi ini mungkin akan jauh lebih dapat diterima ketimbang menyerahkan para penjahat kemanusiaan ke Mahkamah Internasional seperti yang terjadi di eks Yugoslavia dan Rwanda.

Pada akhirnya, kita tak akan bisa lagi menggunakan dalih nullum crimen sine lege karena ditolaknya asas retroaktif pada perubahan kedua UUD 1945 dan RUU Pengadilan Hak Asasi Manusia. Para hakim internasional akan mengatakan bahwa rezim hukum internasional kebanyakan telah menjadi hukum kebiasaan internasional yang mengikat dan dengan demikian menjadi bagian dari hukum nasional (law of the land). Lebih jauh, para hakim internasional akan mengatakan bahwa menurut Convention on the Non-Applicability of Stationary Limitations to War Crimes and Crimes Against Humanity (1968), semua kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan tidak mengenal kedaluwarsa. Perlu dicatat bahwa convention ini telah diratifikasi oleh mayoritas negara bangsa anggota PBB meski Indonesia belum termasuk di dalamnya.

Nasib penjahat perang dan penjahat kemanusiaan pada akhirnya akan bergantung pada forum pengadilan tempat mereka diadili. Forum pengadilan nasional akan sangat mungkin bersifat konservatif dan legalistis, sementara forum pengadilan internasional akan bisa menyeret penjahat perang dan penjahat kemanusiaan ke penjara. Milosevic, agaknya, tengah berjuang untuk bertahan (diadili) di negaranya karena masih ada secercah harapan ketimbang dia diadili di Mahkamah Internasional.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum