Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SAMPAI memasuki bulan kedelapan, Nanny merasa tubuh dan janin yang dikandungnya sehat-sehat saja. Namun, setelah itu, perempuan 25 tahun ini mulai sering pusing dan sesak napas. Punggung tangannya bengkak dan tekanan darahnya melonjak sampai 150-100 mm-Hg. Dokter memastikan Nanny terserang preeklamsia dan ia pun mulai menjalani pengobatan. Berhubung tensi darahnya tak kunjung turun, akhirnya sang bayi dilahirkan lewat bedah caesar dua pekan sebelum waktunya. Sang bayi lahir selamat meski bobotnya cuma 2.500 gram.
Preeklamsia—yang diartikan ”keracunan janin”—seperti yang dialami Nanny sesungguhnya bukan sesuatu yang baru, tapi tetap menakutkan para calon ibu. Selain buruk bagi perkembangan bayi, preeklamsia bisa menjurus pada stadium eklamsia yang membuat ibu mengalami kejang, koma, sampai kegagalan metabolisme yang fatal hingga menyebabkan kematian.
Di Indonesia, trend preeklamsia diperkirakan meningkat seiring dengan krisis ekonomi yang memaksa banyak keluarga mengabaikan pemeliharaan kesehatan. Data nasional pada 1998 menyebutkan pendarahan merupakan 40-60 persen penyebab kematian ibu melahirkan, sedangkan eklamsia dan infeksi sama-sama ”menyumbang” 20-30 persen. Sementara itu, angka kematian ibu di Indonesia saat ini sudah mencapai 373 dari 100 ribu kelahiran hidup—angka tertinggi se-Asia Tenggara.
Preeklamsia masih menjadi masalah besar, terutama bagi daerah—maklum, tenaga ahli medis banyak berkumpul di Jakarta. Seperti diakui Dr. Sahono, pemimpin Rumah Sakit Bersalin Permata Hati, Kudus, Jawa Tengah, banyak tenaga medis di daerah yang belum menguasai penanganan preeklamsia dengan baik. Kepada Bandelan Amarudin dari TEMPO, Sahono mengungkapkan, bila kondisi pasien sudah menjadi eklamsia, banyak dokter merasa waswas menanganinya. Sebab, eklamsia yang datangnya mendadak itu sering berlanjut dengan kegawatan seperti serangan terhadap jantung atau ginjal, paru-paru penuh air, atau pendarahan di hati. Kegawatan acap pula dialami bayi, misalnya bagian ari-ari terlepas, hingga sang orok batal menjadi penghuni dunia.
Apa penyebab preeklamsia? Masih gelap.
Sebenarnya ada banyak teori. ”Tapi belum satu pun yang sahih,” kata Noroyono Wibowo, ginekolog dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Dugaan paling kuat sementara ini, sindrom preeklamsia dipicu oleh produksi hormon prostaglandin berlebihan yang memunculkan efek berupa penciutan pembuluh darah. Hal ini memicu kenaikan tekanan darah dan membuat beberapa organ penting tubuh—seperti jantung, paru-paru, otak, dan ginjal— kekurangan pasokan darah dan oksigen. Akibatnya, organ-organ vital gagal menjalankan metabolisme.
Menurut Boyke Dian Nugraha, ahli ginekologi yang berpraktek di RS Metropolitan Medical Center, Kuningan, Jakarta, preeklamsia bisa menyergap ibu hamil dari berbagai tingkat ekonomi, tapi umumnya hanya terjadi pada kehamilan pertama. Jadi, ”Para ibu tak perlu risau terkena preeklamsia lagi pada kehamilan berikutnya,” katanya.
Agar preeklamsia tak mampir, Boyke menekankan mutlaknya pemeriksaan kehamilan secara rutin. Dokter pun harus tanggap terhadap gejala awal preeklamsia, yakni pembengkakan, tekanan darah naik tiba-tiba, pusing, mata rabun, dan nyeri ulu hati. Gejala ini harus ditangani sebelum berlanjut sampai stadium eklamsia.
Tentu saja pasien juga harus kooperatif. Soalnya, ”Pada saat preeklamsia, biasanya pasien menolak disuruh menjalani opname karena belum merasakan apa-apa,” kata Sahono tentang pasiennya di Kudus.
Di masa krisis ini, mungkin saja pasien tak sanggup bila harus berlama-lama mondok di rumah sakit. Namun, pasien mesti mempertimbangkan bahwa tak ada seorang dokter pun yang bisa meramalkan kapan preeklamsia mendadak berubah menjadi eklamsia. Sedangkan akibat fatal hanya bisa dicegah dengan pertolongan cepat dan peralatan medis yang memadai.
Mardiyah Chamim, Dwi Wiyana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo