Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Kelewang pun Ia Ganti Pena

Sanus bergerilya menyebarkan gagasan zona damai—yang jauh lebih sulit ketimbang meluaskan zona perang.

10 November 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SANUS, begitu warga Desa Passo, Ambon, ini biasa disapa. Usianya 32 tahun. Ada yang khas dalam penampilannya: ia tak bisa lepas dari kelewang di pinggang. Sebagai Panglima Laskar Anugerah, ia memimpin 40 orang pemuda usia belasan tahun. Ia pemimpin kelompok yang ditakuti. Sudah berbagai medan perang ia jalani. Seusai menerima jabatan Panglima Laskar Anugerah, pada April 1999, Daniel Mariolkossu—begitu nama asli Sanus—dan anak buahnya segera terjun. Mereka berbekal kelewang, senjata api, bom rakitan, busur dan anak panah. Dalam perang, disiplin nomor satu. Tidak ada anggota yang boleh menenggak alkohol, terlibat perselingkuhan, atau main judi. Jika disiplin dilanggar, anggota akan dipecat dari Laskar Anugerah. Selain disiplin, nyali juga penting dipompa. Beberapa saksi mata menuturkan, Daniel pernah terlihat dalam pertempuran di Desa Waai, Suli, Haruku, Galala, hingga kawasan Pohon Pulle. Keberhasilan Daniel memimpin pasukan merah membuat namanya melambung di kalangan warga Kristen. Nama Daniel pun cukup dikenal di kalangan para panglima dan pasukan lawannya. Seorang pemuda muslim asal Batu Merah, Husin Tapitapi, yang pernah menjadi tetangga Daniel di Desa Passo, mengaku pernah melihat Daniel memimpin Pasukan Kura-Kura, yang terlibat baku tembak dan saling lempar bom rakitan di kawasan Pohon Pulle. Tapi semua itu ingin dikuburnya dalam-dalam. Dengan sopan ia menolak menjawab berapa jumlah korban dari pihak muslim yang pernah tewas akibat tebasan kelewangnya. "Itu semua masa lalu," ujarnya singkat. Ia mengaku belum mampu melupakan bayang-bayang ratusan mayat atau korban luka-luka yang terus bergelayut di kelopak matanya. Apalagi, Daniel mengakui, "Yang menjadi korban perang adalah sesama warga Maluku." Sejak setahun silam, ia yakin bahwa penggunaan kekerasan tidak akan mewujudkan perdamaian di pulau kaya rempah-rempah tersebut. Keyakinan ini terasa menemukan momentum yang pas ketika awal Juli lalu Pengadilan Negeri Ambon melayangkan panggilan kepada dirinya untuk mulai bertugas. Daniel pun berpamitan kepada para anggota Laskar Anugerah dan pemuka Kristen di Desa Passo. Tak ada lagi kelewang tersandang di pinggang. Senjatanya berganti: pulpen yang terselip rapi di balik seragam hijau yang membungkus rapat tubuhnya. Tapi, pindah profesi bukan berarti menjauhi daerah konflik antar-umat beragama. Selepas jam kantor, kesibukannya malah meningkat. Alumni Universitas Pattimura ini turun ke daerah konflik, mengajak "mantan" seterunya dari kubu muslim dan rekannya dari kalangan Kristen untuk membentuk zona damai. Zona damai merupakan sebuah titik pertemuan antar-umat beragama. Misalnya di Desa Nania dan Pasar Mardika. Di tempat ini warga dari kedua belah pihak yang sejak Januari 1999 terseret dalam konflik berdarah—yang menelan ribuan korban jiwa—melupakan perseteruan di antara mereka. Di zona damai itu pula warga kedua belah kubu bisa bertransaksi dagang dengan aman. Pilihan sikap Daniel menanggalkan kelewang semula dicaci rekan se-gengnya habis-habisan, terutama dari sejumlah warga yang belum mampu menghilangkan dendam di dadanya. Bekas anak buahnya, sesama pemimpin laskar merah, sulit menerima perubahan sikap Daniel. Ia tidak lekas patah arang. Ia paham bahwa perang berlarut-larut, kehilangan sanak saudara, memompa dendam tak berkesudahan. Daniel berusaha menghadapi perlawanan dari umatnya dengan berlapang dada. "Perlahan-lahan kita ajak mereka melupakan masa lalu dan membangun kesadaran hidup bersama." Hidup bersama. Dua kata ini yang dipakai Daniel untuk meninggalkan medan perang dan bergerak dalam gerakan Baku Bae—gerakan untuk menciptakan perdamaian di Maluku—sejak tahun lalu. "Umat Kristen Ambon tak bisa hidup tanpa warga muslim, begitu pula sebaliknya," begitu selalu dakwahnya di kalangan yang masih bertikai. Selepas jam kantor, ia tak langsung bergegas kembali ke rumahnya di Desa Passo. Ia melangkah ke berbagai tempat, menjumpai komunitas yang ingin ia ajak mendukung gerakan damai. Sekali waktu ia terlihat di Hotel Amboina. Di lobi hotel, sejumlah pemuda seusia dirinya dari komunitas muslim telah menunggu. Di antaranya tampak Mahfud Nuhkuhehe, tokoh pemuda muslim dari Desa Seith di Jazirah Lehitu, Maluku Tengah. Tanpa canggung Daniel mengulurkan tangan menyapa Mahfud dan dibalas teman-temannya dengan hangat. Di lain kesempatan Daniel ganti menggarap teman-teman seagamanya. Misalnya di dalam acara kerohanian bagi warga kampungnya di Passo atau kampung yang lain. Tugas Daniel tak gampang. Ia mengaku canggung untuk mengkampanyekan perdamaian. Maklumlah, orang tak mudah lupa bahwa dialah jawara Passo yang pernah memimpin pasukan laskar merah Kristen. Selama ini Daniel menyelesaikan persoalan dengan kepalan tangan atau senjata tajam, tapi kini ia harus duduk tenang dan meyakinkan orang, kalau perlu bersilat lidah, bahwa damai itu sebaik-baik hal di bumi. Kegigihan Daniel mendatangkan simpati, di antaranya dari dua lembaga swadaya masyarakat, Joint Committee dan Yayasan Inovasi. Kedua lembaga itu mendukung terwujudnya gerakan perdamaian di Ambon. Keduanya yakin Baku Bae bakal sukses jika para bekas panglima perang seperti Daniel sepakat tidak pernah membicarakan kembali masa lalu yang berlumuran darah. Daniel sangat mendukung kesepakatan "tutup buku" itu. Dengan begitu ia lebih leluasa membantu sejumlah workshop warga di zona damai. Ia juga merasa mudah diterima dan "tidak pernah dimusuhi", walau bertemu dengan bekas seterunya dari kubu muslim. Daniel juga tak segan-segan meminta rekan-rekannya dari kelompok Kristen agar tidak membicarakan masa lalu pentolan masyarakat muslim yang terlibat Baku Bae. Sambutan positif terhadap perubahan sikap Daniel juga datang dari pemuka adat dan pemuka masyarakat Passo. Ibu Raja Passo, Nyonya W. Maitimu, yang disegani oleh warga setempat, menaruh hormat kepada upaya Daniel. Padahal dulu Waitimu termasuk yang aktif mengelu-elukan Daniel ketika berangkat ke medan perang dengan bendera Laskar Anugerah. Damai yang permanen di Ambon akhirnya bergantung pada upaya yang dilakukan orang-orang seperti Daniel ini. Dia adalah satu dari sedikit orang yang yakin bahwa dialog dan diskusi jauh lebih penting ketimbang "bicara" dalam bahasa kelewang dan panah yang membinasakan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus