Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Lelaki dalam Kobaran Api

Setelah ledakan bom di Kuta Oktober lalu, yang tersisa adalah reruntuhan puing jiwa dan semangat hidup bangsa ini. Tapi di antara itu terselip sosok besar bernama Haji Bambang, yang meyakinkan bahwa kebaikan masih ada.

10 November 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di antara reruntuhan puing dan mayat-mayat yang berserakan di Kuta, Bali, lahir sebuah luka besar yang menganga. Tetapi di antara rasa sakit itu, di tengah reruntuhan dan kehancuran 12 Oktober itu, lahir pula sosok besar dalam tubuh bernama Haji Bambang Agus Priyanto. Dia tak sengaja lahir, karena dia tak berpretensi ingin dilahirkan di tengah sebuah tragedi besar. Dia muncul begitu saja di antara kobaran api, setelah bom menggelegar yang menghancurkan 186 nyawa itu.

Jika majalah Time menjulukinya Rudy Giuliani dari Bali, tentu bukan karena Haji Bambang seorang politikus kota besar, tetapi lantaran ia dianalogikan dengan seorang Wali Kota New York yang aktif dan tulus menenangkan warga kota ketika dua menara kembar World Trade Center di kota itu hancur dihantam pesawat pada 11 September 2001 lalu. Bedanya, Haji Bambang hanya seorang kepala parkir di kawasan Kuta, Bali, seorang lelaki sederhana yang bersuara keras saat mengkoordinasi para relawan untuk menyelamatkan para korban.

"Saya sedang membaca koran malam itu ketika terdengar suara ledakan yang menggelegar," kata Haji Bambang kepada TEMPO. Dengan mengendarai sepeda dan menenteng handy talkie, Bambang bergerak menuju sumber ledakan. Di sana ia menemukan Legian merah dilalap api. "Saya melihat orang-orang mengerang dan menggelepar terkurung kobaran api," ceritanya. Berjalan di genangan darah bercampur air yang disemprotkan pemadam kebakaran, Haji Bambang melihat orang-orang yang kehilangan kaki dan perempuan yang kehilangan payudara. Entah dari mana, tiba-tiba ia seperti diguyur kekuatan yang luar biasa. Suara Haji Bambang malam itu memenuhi udara, memberi komando kepada semua warga Kuta lainnya dan para anggota rukun kematian Fardhu Kifayah. Ia mengevakuasi korban. Prioritas utama adalah korban yang masih hidup—entah terluka atau yang sedang mengerang menjelang ajal. Harus diingat, ketika itu penyelamatan belum terkoordinasi. Gubernur belum tiba di tempat dan para menteri masih di peraduan masing-masing. Maka, P3K alias pertolongan pertama dilakukan oleh para "malaikat" seperti Haji Bambang dan warga sekitarnya.

Apa boleh buat, para korban yang dapat ditemukan diangkut seadanya: dengan mobil, motor, atau digendong. Selama tiga jam—di antara sisa kobaran api dan ancaman ledakan susulan dari tangki gas atau tabung freon AC—semua yang masih bernapas dapat diangkut.

Sekitar pukul 2:16, ketika Haji Bambang berdiri di antara Sari Club dan Paddy's dengan kemeja yang sudah penuh darah, tiba-tiba ia merasa ada sesuatu yang menarik sepatunya. Ketika ia melihat ke bawah, di antara gorong-gorong yang sempit sepotong tangan manusia melambai-lambai minta bantuan. Ia menariknya keluar dan tubuh itu ternyata seorang perempuan yang terlempar karena ledakan. "Saya segera membawanya ke ambulans," kata Bambang. Perempuan itu diduga adalah Kaho Brown, 28 tahun, atau Ayano Saito, 30 tahun, satu dari kakak-beradik turis Jepang yang kemudian dievakuasi ke Singapura.

Selepas salat subuh, evakuasi dilanjutkan untuk mengumpulkan jenazah mereka yang tewas. Bambang, yang badannya basah-kuyup oleh keringat dan semprotan air mobil pemadam kebakaran, tak peduli bahwa setiap saat ia bisa juga menjadi korban—terluka, tersambar api, atau terkena bom susulan. "Tak ada rasa takut. Yang ada di pikiran saya hanya bagaimana membawa korban secepatnya ke rumah sakit," katanya kepada Y. Tomi Aryanto dari Tempo News Room.

Haji Bambang tak hanya sibuk malam itu. Sepekan setelah kejadian tersebut, ia masih memimpin tim relawan mencari sisa-sisa tubuh korban yang tercecer. "Ada informasi, di sebelah sana masih ada korban. Ayo kita bongkar," katanya dengan suara menggelegar. Semua relawan patuh. Tak perlu mencari upacara "pengangkatan pemimpin", Haji Bambang adalah pemimpin segala kegiatan. Orang-orang membuka jalan untuk Bambang, polisi memberi hormat. Ia menjadi bintang lapangan. Ia menjadi pahlawan.

Bambang adalah anak Jawa yang telah menjadikan Kuta sebagai tanah airnya. Kakeknya, Mas Bejo Prawiro, adalah manajer pertama Kuta Beach Hotel, hotel besar di Kuta yang kemudian menjadikan kawasan itu serbuan para turis. Ayah Bambang kemudian juga menjadi manajer di hotel itu, menggantikan Mas Bejo. Ketika Bambang lahir, orang tuanya menanam ari-ari Bambang kecil di tanah yang kemudian di atasnya dibangun menara Hotel Kuta Beach.

Datang dari Jawa pada 1925, keluarga Bambang semula berdiam di kawasan Kintamani. Pada sekitar 1955, mereka pindah ke Kuta dan menetap hingga sekarang. Bambang kemudian menikah dengan seorang perempuan Bali, Hajah Ni Made Torniari, dan kini dikaruniai dua anak.

Pada akhir dekade 1960, ayah Bambang, Agus Pranoto, bertemu dengan John Michael Boyum, anak seorang jenderal angkatan laut AS yang sedang memimpin perang di Vietnam. Perkenalan itu membawa berkah. Boyum, yang terpesona oleh keindahan Kuta, membawa serombongan peselancar dunia ke Bali beberapa bulan kemudian. Para peselancar itulah yang kemudian mempromosikan Kuta ke seantero dunia. Kuta kemudian terkenal sebagai "Hawaii" di Asia.

Bambang tak meneruskan karier orang tuanya sebagai pekerja hotel. Ia memilih menempuh pendidikan ilmu hukum dan kemudian bekerja pada Dinas Lalu-Lintas Angkutan Jalan Raya (DLLAJR) dan kini bertugas sebagai kepala parkir. Bukan pekerjaan yang mentereng dan tidak pula menghasilkan uang yang melimpah. Tapi Bambang bangga dengan pekerjaannya itu. Di saku kausnya yang lusuh, ia selalu menggantungkan kartu identitasnya sebagai petugas DLLAJR.

Di sudut Jalan Legian, kini Bambang termenung. Di kepalanya selalu terbayang tubuh yang menghitam oleh kobaran api. Ia selalu merasa tidak maksimal memberi bantuan. "Sayang, ketika itu kami tak punya ambulans. Jika saja kami punya, tentu lebih banyak korban yang tertolong," tuturnya. Seorang pahlawan tak mencoba mencari label bagi dirinya, tak sibuk mengais-ngais citra. Dia lebih sibuk membantu dan bekerja untuk keselamatan orang lain.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus