Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Panglima Perang Menggantung Bedil

Abubakar Riry memberi contoh bahwa dendam hanya membawa nestapa lebih dalam.

10 November 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tiga tahun lalu, ia adalah seorang panglima perang. Memimpin ratusan anggota pasukan dan menyandang bedil, ia merambah pedalaman hutan di Pulau Seram, Maluku: memerangi warga Kristen, membunuh dengan kemarahan yang membubung. Tiga tahun lalu, Abubakar Riry adalah representasi dari aura perang yang membakar. "Kami mendapat kepuasan jika membantai," katanya. Abubakar berubah 180 derajat. Hari ini ia adalah sosok yang santun dan mengobarkan bendera putih perdamaian. Tokoh yang kerap dipanggil "Buce" itu kini adalah aktivis "Baku Bae", sebuah lembaga yang mengupayakan penghentian konflik berdarah di Maluku. Di sana, tiga tahun terakhir perang antar-agama menelan lebih dari 2.000 korban tewas dan terluka. Buce bersalin rupa. Wajahnya trendi dengan rambut dan kumis yang dipotong rapi. Sehari-hari ia kerap bercelana jins dan mengenakan kemeja lengan pendek. Ke mana-mana ia selalu menyandang ransel penuh berisi berbagai dokumen. Apa yang dilakukan Abubakar Riry kini jauh dari bayangan banyak orang tentang panglima perang pasukan Huamoal dari Desa Luhu di Pulau Seram, Maluku. Dulu, kata "damai" tak ada di kamusnya. "Keponakan saya tewas tertembak dalam peristiwa kekerasan di daerah Fardes. Saya marah, sangat marah," kata Abubakar, yang datang dari kelompok muslim. Ia lalu memimpin pasukan. Ia memegang kendali atas 165 orang yang selain berperang juga merekrut sebanyak mungkin anak muda yang mau bertempur melawan "musuh". Lebih dari sekadar pemberani, Buce juga mengantongi restu dari banyak pihak. "Kepala desa, kepala adat, kepala pemuda, dan tokoh agama mendukung saya," kata Buce. Kepala desa mempercayakan pengiriman pasukan pada Abubakar. Kepala adat memberikan pengesahan atas posisinya sebagai kepala pasukan. Kepala pemuda memberikan dukungan moral. Tokoh agama memberikan doa keselamatan dalam acara pengangkatan Buce sebagai panglima perang. Selanjutnya adalah darah, darah, dan darah. Tujuan perang tak lagi jelas. "Tak ada tujuan memperluas wilayah. Kami telah saling dendam," kata Abubakar. Karena terus diburu dendam, semula Buce menampik setiap upaya dialog. Bujukan seorang ulama muslim, Abdullah Ely, agar Buce mau datang dalam rekonsiliasi Baku Bae di Bali ditanggapinya dengan sinis. "Kata damai terasa mengandung tipuan. Saya tidak percaya. Ratusan orang terbunuh di depan mata kepala saya sendiri," katanya. Apalagi Buce punya pengalaman buruk dengan dialog. Dulu, pernah ia menghadiri upacara perdamaian yang dipimpin seorang Panglima TNI. Orang-orang datang ke Lapangan Merdeka di Ambon. Sang panglima tentara berpidato, lalu perwakilan tiap kelompok diminta meneken akta perdamaian. "Karena jenderal bintang empat yang memerintahkan, mana berani kami tak ikut tanda tangan," katanya. Setelah itu, semua orang tahu, perang tak kunjung reda di tanah Maluku. Beruntung orang seperti Abdullah Ely tak mudah menyerah pada kekerasan sikap Abubakar Riry. Sampai akhirnya, pada suatu titik, Abubakar melunak. "Oke saya coba, barangkali ada hasilnya," kata Abubakar. Dan Baku Bae di Bali ternyata mengubah diri Buce. Meski tak sepenuhnya berhasil menelurkan kesepakatan damai, ia sadar bahwa perang tak banyak gunanya. "Sepulang dari Bali, saya bubarkan pasukan saya," katanya. Ia lalu menjadi aktivis Baku Bae. Itu tak mudah karena tidak semua orang sadar bahwa dendam hanya membawa nestapa. Dua orang pelaksana jajak pendapat yang diadakan lembaga Baku Bae—untuk mengukur kehendak warga Ambon menempuh jalan damai—tewas diterjang peluru. "Di Ambon, kata damai selalu berarti kematian," kata Buce. Baku Bae yang dijalankan di Yogyakarta beberapa bulan kemudian nyaris gagal karena peserta marah akibat kesalahpahaman. Sikap saling curiga merebak. Tak cuma di kalangan penduduk, tapi juga merambah ke pejabat sipil dan militer. Pernah suatu ketika Buce menghadap seorang petinggi militer di Ambon untuk mendiskusikan dialog Baku Bae. Sang jenderal berujar sinis, "Kalau berhasil, kalian dapat nama. Lalu saya dapat apa?" "Semua nama, Bapak boleh ambil. Kami tidak perlu nama," kata Abubakar mengutip seorang kawan yang bersamanya menghadap sang jenderal. Konflik memang telah mereda di Ambon, meski percikan pertikaian masih kerap muncul dan berpotensi meledak menjadi rusuh yang lebih luas. Abubakar Riry tak hanya mencegah perang muncul kembali. Ia juga mengupayakan pekerjaan untuk para serdadu yang menggantung bedil. "Ada yang kami salurkan menjadi kuli kapal di pelabuhan. Bekerja sama dengan donatur Belanda dan Universitas Pattimura, kami akan membuat sekolah khusus untuk melatih mereka menjadi pelaut," kata Abubakar. Abubakar Riry mungkin hanya mengupayakan setitik harapan. Tapi dari sanalah api lilin yang menerangi kegelapan mulai membesar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus