Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Kata Hati Seorang Saksi

Sainah adalah kisah tentang seorang pembantu rumah tangga miskin yang berani mengatakan kebenaran—walau dengan penuh risiko—dalam pengadilan Tommy Soeharto.

10 November 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PADA suatu sidang pengadilan di Jakarta Pusat, Sainah binti Takrip, perempuan dari dusun miskin di Jawa Tengah itu, mencatatkan rekor dalam sejarah peradilan di Indonesia: dia melawan Tommy Soeharto ketika hampir semua saksi mendukung anak kesayangan mantan presiden Soeharto itu. Dia mengajarkan hal penting yang sudah lama menghilang dari ruang-ruang pengadilan di negeri ini—bahwa orang harus berani berkata jujur tatkala duduk di kursi saksi. Sainah melakukan itu—bukan dengan keberanian berkobar-kobar. Keringat yang mengucur membasahi tengkuknya adalah cermin rasa takutnya. Jantungnya berdebar-debar. Dia tahu dia "lancang" sebagai pembantu. Dan dia tahu risiko nyawanya yang bisa terancam. Tetapi sebagai bekas anak madrasah, Sainah lebih takut pada sumpah yang diucapkannya di hadapan Allah. Maka, dalam bahasa Indonesia yang tak sempurna, berlogat Tegal yang medhok, Sainah memilih bersaksi melawan Tommy Soeharto. "Saya mengatakan apa yang saya lihat," ujarnya. Apa yang dia lihat dan dia ketahui? Tommy Soeharto adalah pemilik berpucuk-pucuk senjata api dan puluhan peluru di Apartemen Cemara, Menteng, Jakarta Pusat—tempat Sainah bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Polisi menemukan tumpukan senjata itu di sana saat mereka menggerebek apartemen tersebut pada 4 Agustus 2001. Semua pengunjung yang menjejali Hall B2 Arena Pekan Raya Jakarta barangkali masih ingat betapa Tommy tergeragap sebelum menjawab kesaksian Sainah. "Saya tidak bertanggung jawab atas keselamatan saksi." Sidang itu—digelar pada 3 April 2002—mendakwa Tommy Soeharto tentang kepemilikan senjata api. Dan Sainah adalah saksi mata saat Tommy menggotong senjata-senjata itu ke dalam ruang apartemen milik Hetty Siti Hartika, majikan Sainah. Dia pula yang membantu Hetty menggeret tas "berbentuk tongkat golf"—yang dititipkan Tommy—ke lantai dua apartemen tersebut. Sainah mengenali wajah lelaki itu saat Tommy datang ke sana beberapa kali untuk bermalam. Dan Sainah bukannya tahu bahwa lelaki pemilik senjata itu adalah buron nomor wahid yang disayembarakan polisi dengan hadiah ratusan juta rupiah. Tapi uang ratusan juta itu tak cukup punya daya pikat bagi Sainah, yang lahir dan tumbuh dewasa dalam kemelaratan. Kedua orang tuanya, Takrip dan Suminah, adalah petani miskin yang menggarap dua petak sawah sebagai mata pencaharian mereka. TEMPO pernah menyambangi rumah keluarga itu—sebuah bangunan rapuh berdinding tripleks dengan lantai tanah. Tidak ada televisi maupun telepon. Listrik belum lama masuk ke kampung itu. Kemiskinan ini membuat Sainah bertekad untuk berangkat ke Jakarta pada 1997. Di Ibu Kota, dia bekerja di tempat Hetty Siti Hartika di kawasan Menteng. Pada akhir 1997, Sainah pindah kerja ke rumah pasangan Munadi-Farida Heriyani. Majikan barunya ini adalah karyawan Telkom. Setahun berselang, Sainah menemukan Taryono asal Brebes, tetangga desa yang kemudian menjadi teman hidupnya. Taryono bekerja sebagai penjual mi rebus di kawasan Mal Ciputra Grogol, Jakarta Barat. Keduanya pulang kampung setelah menikah. Selang tiga bulan pernikahan, Sainah dan suaminya datang lagi ke Jakarta pada awal 1999. Suaminya kembali bekerja sebagai penjual indomie. Wanita yang gesit, cekatan, tapi pendiam itu tak ingin berpangku tangan saja. Berangkatlah dia ke rumah Farida, majikan lamanya. Tapi Sainah harus mengalah kepada Kuriah, kakak perempuannya yang sudah bekerja di sana. "Saya tidak bisa menerimanya karena kakaknya sudah bekerja di sini," tutur Farida. Dalam kegalauan itu, Hetty, bekas majikannya, muncul kembali. Dia menawari Sainah menjadi pembantu rumah tangga di Apartemen Cemara No. 23, Menteng, Jakarta Pusat. Gajinya Rp 180 ribu per bulan. Celakanya, Taryono tak setuju, dia ingin Sainah menjadi ibu rumah tangga saja. Tapi wanita ini berkukuh ingin bekerja. Ketegangan itu berbuntut buruk: pasangan ini pisah ranjang selama tiga tahun. Hari-hari bekerja di apartemen Menteng, menurut Sainah, cukup menyenangkan. Hetty tidak punya anak sehingga dia bisa lebih santai. Sampai kemudian terjadilah peristiwa itu: dia mulai melihat Tommy Soeharto diam-diam sering ke situ. Kendati hanya lulusan kelas empat SD, Sainah tahu dari berita di televisi bahwa polisi akan memberi hadiah kepada orang yang tahu keberadaan "Pak Tommy". Sainah amat hafal tanda-tanda kedatangan Tommy. Mula-mula si buron ini menelepon Hetty. Kemudian Hetty meluncur pergi untuk menjemputnya sembari tak lupa berpesan kepada Sainah untuk menyiapkan makanan. Didera kemasygulan, Sainah menceritakan hal ini kepada keluarganya di kampung. Mereka mendesaknya keluar. Tapi Sainah bingung. "Ia tidak mau keluar karena takut enggak dapat pekerjaaan," tutur Kuriah. Sainah tahu, selama berada di Apartemen Cemara Tommy tak pernah keluar dari ruang nomor 1 yang terletak di ujung. "Tapi Bu Hetty melarang saya bercerita kepada siapa pun," tuturnya kepada TEMPO. Pada kedatangannya yang terakhir, Sainah ingat buron itu membawa bungkusan tas berbentuk tongkat golf. "Saya bersama Bu Hetty ikut memindahkannya dari garasi mobil, melewati tangga dan menyimpan dalam kamar lantai II. Karena berat, saya dan Bu Hetty terpaksa menyeretnya," tuturnya. Setelah polisi menggeledah tempat tersebut, Sainah baru sadar "tas golf" itu isinya beberapa senjata api laras panjang dan puluhan peluru. Hatinya menjerit. Sainah langsung hengkang dari sana. Pertengahan Maret 2002, dia pulang ke kampung. Lalu datang kabar bahwa dirinya akan dijadikan saksi sidang Tommy. Empat orang dari Polda Metro Jaya datang menjemput Sainah ke Tegal. Ditemani kakak dan suaminya—gara-gara peristiwa itu mereka langsung rujuk—Sainah datang ke Jakarta. Dia diinapkan di wisma milik Polda di kawasan Bambu Apus, Jakarta Timur. "Dia bercerita sempat dipukuli bagian paha dan kaki sewaktu dimintai keterangan," kata Kuriah. Bayangan bahwa anaknya bakal menderita akibat pemeriksaan sempat memberatkan pikiran Takrip, 75 tahun. Sepekan setelah Sainah menjadi saksi, ayahnya meninggal dunia. Padahal, kata Kuriah, sehari sebelum meninggal, ayahnya masih kelihatan segar. "Memang Bapak sudah tua, tapi masih sehat," cerita Kuriah. Kematian bapaknya mungkin membuat Sainah kian bertekad mengemukakan kebenaran. Toh, sebelum tampil di sidang, wanita itu tak kuasa menutupi kegelisahannya. "Saya bilang katakan seperti yang kamu tahu, enggak usah dibuat-buat," kata Farida, mantan majikannya. Adapun Kuriah, 35 tahun, yakin bahwa adiknya tak bakal mengkhianati suara hatinya sendiri. "Dia itu anaknya pendiam, polos, dan jujur," ujarnya. Kuriah benar. Kalimat-kalimat yang meluncur dari adiknya yang lugu itu adalah sebuah keberanian langka di dunia peradilan kita—karena Sainah bahkan sulit berlindung pada Undang-Undang Perlindungan Saksi, yang tak pernah berjalan baik di negeri ini. Apa pun risikonya, Sainah memilih berjalan terus. Dia memberikan kesaksian dengan jujur. Dia memberikan alasan kuat kepada Hakim Amiruddin Zakaria untuk mengetukkan palu vonis "bersalah" bagi Tommy tanpa ragu-ragu. Di dalam ruang pengadilan itu Sainah seolah "menegakkan benang basah" ketika mengucapkan kebenaran yang kemudian melemparkan anak seorang presiden yang pernah maha-berkuasa di negeri ini—ke bui selama 15 tahun. Dia melakukan itu sendirian, pada saat orang berbondong-bondong mendukung Tommy Soeharto.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus