Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Seorang Hakim yang Langka

Asep berangkat-pulang kerja naik mikrolet. Dia tak ragu mengirim pengedar narkotik ke depan regu tembak.

10 November 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HUKUM di negeri ini sudah lama takluk oleh kuasa, uang, dan bedil. Pengadilan sudah lama berubah dari tempat mencari keadilan menjadi "neraka" bagi si tak berpunya. Dan mencari hakim dan jaksa yang bersih dari suap dan sogok mungkin sama sulitnya dengan memasukkan unta ke lubang jarum.

Ribuan hakim dan jaksa kita punya. Benarkah tak ada seorang pun yang mempertahankan hati nuraninya untuk tidak ditukar dengan duit?

Mungkin tidak ada lagi. Tapi mungkin juga yang tersisa tinggal Hakim Asep Iwan Iriawan—atau sedikit yang lain. Di antara koleganya yang bermobil bagus dan berumah nyaman, Asep adalah makhluk yang langka. Lihatlah dia.

Ketika matahari baru mengintip di ufuk timur, pukul enam pagi, pria berkaca minus bulat ini sudah berangkat dari rumahnya. Berjalan kaki, ia menuju halte di depan gedung bekas pusat perkulakan Goro, di Jalan Raya Pasar Minggu, Jakarta. Setelah itu ia meloncat ke metromini jurusan Tanah Abang, berganti mikrolet jurusan Kota, dan turun persis di depan kantornya, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, di Jalan Gajah Mada. Setiap hari dia bergelayutan di angkutan umum sambil berdesakan, bertukar peluh, menghirup bau keringat orang-orang kecil.

Padahal Asep telah mengenakan toga sejak 15 tahun lalu—masa kerja yang biasanya sudah mendatangkan banyak harta bagi yang lain. Dia bukanlah seperti kebanyakan hakim yang punya deposito miliaran rupiah atau rumah mentereng, seperti yang dipertontonkan para anggota majelis perkara Manulife yang kini tengah diperiksa karena diduga telah memakan suap. Sehari-hari Asep tampil sederhana. Tak tampak pakaian bermerek atau arloji emas yang melekat di tubuhnya. Mobilnya cuma sebuah Escudo, itu pun ia berikan ke adiknya. "Saya tidak bisa menyetir," ujar hakim yang bertugas di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat ini. Asep merasa gajinya yang Rp 3,5 juta sebulan cukup buat hidup layak seorang bujangan seperti dirinya.

Lelaki Sunda ini lahir di keluarga yang serba berkecukupan 40 tahun lalu. Ayahnya, Abidin Sukarjo, adalah seorang pensiunan perwira di Komando Distrik Militer Siliwangi, Jawa Barat. "Walaupun Asep anak orang kaya, ia tak ingin menunjukkan kekayaannya. Sampai sekarang dia tetap jujur, tapi kalau sudah memutus perkara dia tanpa tedeng aling-aling. Kalau salah ya dihukum berat, tanpa kompromi," kata kawan satu kampus Asep yang kini sama-sama bertugas di pengadilan Jakarta Pusat.

Kerasnya ketukan palu Hakim Asep mulai jadi pembicaraan ketika bersama dua koleganya, Satria U.S. Gumay dan Prim Haryadi, ia tanpa ragu menjatuhkan hukuman mati terhadap lima pengedar heroin di Pengadilan Negeri Tangerang, Agustus 2000. Tiga di antaranya adalah kakak beradik warga Indonesia—Meirika Franola alias Ola (30 tahun), Rani Andriani (25 tahun), dan Deni Setia Maharwan (28 tahun), yang tertangkap basah ketika berupaya menyelundupkan 3,5 kilogram heroin dan tiga kilogram kokain ke London, Inggris, lewat Bandara Soekarno-Hatta. "Ola adalah perempuan Indonesia pertama yang dihukum mati dalam kasus narkotik," kata Asep. Sebelumnya, ia juga telah mengirim dua terdakwa sejenis untuk dihadapkan ke depan regu tembak. Mereka adalah Nar Bahadur Tamang dan Bala Tamang, dua lelaki berkebangsaan Nepal yang dicokok aparat dengan 1.750 gram heroin di tangan.

Sikap tanpa kompromi ini bukannya tanpa pertimbangan. Menurut alumni Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, majelis telah memikirkannya masak-masak. "Karena kesalahannya berat, hukumannya juga harus berat. Hukuman maksimal yang bisa dijatuhkan adalah hukuman mati. Karena itu kami menjatuhkan hukuman mati, sesuai dengan kehendak masyarakat yang ingin para pengedar narkotik dihukum seberat-beratnya," katanya.

Keberaniannya mengangkat bendera perang tinggi-tinggi terhadap setiap pengedar bubuk setan melejitkan karir Asep. Tak lama setelah vonis fenomenalnya itu, pada tahun 2000 ia ditarik masuk Jakarta menjadi hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sekaligus di Pengadilan Niaga.

Di tempat barunya, kekerasan hati Hakim Asep kembali ditunjukkan. Di ruang sidangnya, sejumlah terdakwa dengan nama besar yang memiliki pengaruh mahaluas dan dompet teramat tebal, tanpa ragu dia vonis bersalah. Salah satunya, ketika ia memutus perkara kepemilikan senjata api gelap dengan terdakwa Hutami Endang Adiningsih alias Mamiek, Desember 2000. Putri bungsu mantan presiden Soeharto ini dihukumnya 10 hari kurungan.

Setahun kemudian, Maret 2002, giliran Gubernur Bank Indonesia Syahril Sabirin yang merasakan kerasnya palu Hakim Asep. Dinyatakan turut terlibat dalam perkara korupsi senilai Rp 546 miliar dalam skandal Bank Bali yang terkenal itu, pejabat tertinggi otoritas moneter ini dihukumnya tiga tahun penjara—sebelum kemudian dibebaskan majelis pengadilan tinggi. Konglomerat pun tak luput. Hendra Rahardja, bos Bank Harapan Santosa yang menyelewengkan Rp 3,4 triliun dana nasabah lalu buron, diadilinya secara in absentia. Hasilnya: Hendra divonis seumur hidup.

Asep pun bukan hakim yang dengan gampang disetir pengacara. Dalam sebuah sidang perkara kakap ia bahkan pernah mengusir seorang pengacara terpandang yang ia nilai telah bertingkah di luar batas. Padahal, nama besar si advokat biasanya selalu membuat ciut nyali hakim mana pun. Buntutnya, Asep balik diadukan ke Mahkamah Agung. Tapi ia tak ambil pusing. "Biar saja dia melapor, MA tahu kok, yang mana yang salah mana yang benar," jawabnya kalem.

Integritas dan ketegasan itulah yang menerbitkan hormat dari banyak kalangan. Salah satunya datang dari mantan Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Bambang Widjojanto. "Asep salah satu hakim baik yang kita miliki. Dia hakim yang langka, di tengah citra buruk hakim saat ini," ujarnya.

Toh Asep bukan superman. Penembakan Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita, yang diduga dilakukan kawanan Tommy Soeharto, tak urung membuat Asep waswas. Apalagi ia kerap menangani perkara genting yang melibatkan bandar narkotik, pengusaha kaya, ataupun pejabat tinggi. "Kami hakim di Jakarta Pusat takut dan berhati-hati. Bagaimanapun, profesi hakim rentan dari ancaman," Asep berterus terang.

Sejak itulah ia selalu mengubah-ubah rute berangkat dan pulang kantor. Saat pulang, Asep selalu memilih jalur yang berbeda. Atau kalau ia pulang menumpang kendaraan temannya sesama hakim, Asep pun tak pernah mau diantar sampai ke depan rumah. Biasanya dia turun di jalan yang agak jauh dan berkeliling dulu sebelum masuk ke rumah. Karena itulah ia mati-matian menolak saat diikuti dan ditanya alamat rumahnya oleh TEMPO.

Ia merahasiakan alamat rumah untuk keselamatan dan komitmen tak menerima tamu di luar jam kerja, apalagi di rumah. "Rumah hanya tempat untuk istirahat. Selain di kantor, saya tidak pernah menerima tamu. Bahkan ibu saya belum pernah menginjakkan kakinya di rumah saya," ujarnya. Kenapa? "Saya takut dituduh macam-macam. Sekarang kan tudingan hakim menerima suap sangat kencang," kata hakim yang kini tengah mengambil program master di bidang hukum bisnis itu.

Tapi "dituduh macam-macam" itu rupanya tak terhindarkan. Apalagi belakangan Asep banyak mengadili kasus perbankan yang bergelimang uang. Ia, misalnya, sempat diisukan termakan uang suap Rp 30 miliar dari pihak Bambang Sutrisno, mantan Direktur Utama Bank Surya yang membobol Rp 1,63 triliun dana bantuan Bank Indonesia. Namun hingga sekarang tak ada hal yang membuktikan aib itu, juga tak ada yang mempercayainya.

"Tidak mungkin, sejak kuliah saya tahu Asep orangnya jujur dan tegas," kata kawannya sesama hakim itu. Asep juga tegas membantah, "Kalau memang menerimanya, saya rela dihukum seumur hidup." Buktinya gampang saja, kata Asep lagi, kalau benar telah disuap sebesar itu, mestinya ia tak akan menjatuhkan hukuman berat seperti yang selama ini telah dilakukannya terhadap Hendra Rahardja ataupun para pengedar narkotik.

Kala diterpa suara miring seperti itu, juga tiap kali usai menjatuhkan sebuah hukuman berat, Hakim Asep punya caranya sendiri untuk menenangkan hati. Bukan dengan mengayunkan stik golf atau menenggak anggur di hotel berbintang seperti banyak koleganya, Asep memilih "mengasingkan diri" ke Cipanas, Jawa Barat, ke tempat ibu yang sangat dicintainya. "Bersama Ibu saya merasa tenteram," katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus